Ya, Suatu Saat Nanti

Asya Ns
Chapter #26

Istighosah dan Puasa

Zayn sebenarnya terus memikirkan panggilan Din yang seperti burung memutari kepalanya.

Seharusnya Din mengerti. Tapi gadis itu sepertinya terlalu polos untuk memahami hakikat hati, apalagi masalah percintaan. Zayn sengaja menjaga jarak dengannya. Zayn pikir dari ruang dan jarak itulah yang akan membuatnya memilah kembali keputusan yang benar.

Meski sebenarnya dia sudah sangat tidak tahan untuk menggoda Din, menjahilinya atau membantunya membersihkan masjid. Benar, sih, semua itu menyusahkannya. Tetapi Zyan lelaki, dan lelaki suka direpotkan.

"Zayn!" Din memanggilnya yang hendak menuju tempat parkir.

Zayn pura-pura tidak mendengar.

"Sendal jepit! Sendal jepit!!" Din terus berteriak seperti memanggil pedagang sayuran.

Kali ini, tekad Din adalah dia harus berhasil membuat Zayn tertawa. Dia yakin dengan kepiawaiannya, kali ini tidak akan gagal.

"Sendal jepit! Hem… Sendal jepit baru!" Din memikirkan lagi perkataannya.

"Eh salah. Maksudku, sendal jepit, Ah! Sekarang Zayn loh udah ganteng, berarti nggak jepit lagi. Oke? Zayn naik tingkat sekarang jadi… eum… Se-lo-mo! Sendalmu, sendalku, sendal kita bersatu…." Padahal Din tahu, sengaja saja Swallow jadi Selomo. Masih belum ke salomay.

"Eak! Eak! Iya ga? Iya ga?" Din menaik-naikkan alisnya.

Zayn tidak mengerti Din bicara apa, menganulir entah sampai mana.

"Iyalah! Udah.. pasti iya, udah toh, iya. Aku loh udah tau iya, iya, kan? Iyalah. Iyain loh Zayn! Iyain!" paksa Din, terus membuntuti Zayn yang tidak hirau.

"Hm," jawab Zayn sangat malas.

"Kan, bener. Ihir... Jadi kita?..." Din melihat Zayn belum juga tertawa. Kini ia harus berusaha lebih giat, meracau.

"Eum… jadi kita? Itu! KITA KITA DI DINDING. DIAM-DIAM NGAPAIN. DATANG SEEKOR GURU! HAP!–" Din melihat sekarang shift Pak Emen yang menjaga gerbang keluar. Nyanyiannya terhenti.

"A! BISA MAA-TI AKU! Zayn maap, ya, Zayn… hari ini gagal dulu, dilanjut besok lagi... Da-dah Sendal jepit baru ...." Din lari terbirit-birit tidak jadi ikut ke parkiran.

Usahanya sebenarnya tidak gagal. Gayanya melucu yang luar biasa bobrok. Membuat Zayn tidak mampu lagi menahan gelak tawa dari tadi. Akhirnya ia terkekeh, setelah Din enyah.

"Haha.. ha!" Apalagi membayangkan wajah Din yang ketakutan melihat Pak Emen. Zayn tertawa lebih kekeh lagi. Mungkin, Din berpikir Pak Emen akan segalak itu kelihatannya.

"Haduh!" Lelah Zayn tertawa ngakak.


✧༺♡༻✧

Hidup di lingkungan yang minim agama. Membuat sikap dan pengetahuan Din juga minim.

Dua hal yang teramat berbeda, antara dasar yang buruk dapat berubah baik dalam lingkungan yang baik. Atau dasar yang baik akan berubah buruk dalam lingkungan yang buruk. Kesimpulan dari penetapan kehidupan adalah satu, bahwa ajar tidak akan dapat mengubah dasar.

Jika apa pun sudah didasari oleh Allah seperti itu, maka ia akan tetap menjadi seperti itu.

Malam itu Din kembali teringat ibunya, tidak hanya ibu. Tetapi semua penderitaannya. Entah mengapa rumah itu baginya adalah neraka duka yang tidak pernah padam. Bagaimana memadamkannya? Din tidak pernah punya cara. Apinya selalu saja melahap satu persatu asa yang dimilikinya.

Din tidak membutuhkan apa pun. Ia tidak butuh dinasehati jika malam menggelayuti seperti itu, Din hanya berharap ada sebuah tangan yang mampu menggenggamnya, ada sebuah hati yang mampu mengerti dirinya dan telinga yang mau mendengarkannya. Hanya itu. Kemudian, berlalu. Tidak pernah terjadi.

Ia ingin menorehkan kejadian hari itu sebenarnya. Tetapi? Ia sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan menulis ceritanya.

Din menekuk mukanya kusut. Mengambil sebuah pena lengkap dengan buku. Ia berpikir, sepertinya buku-buku itu akan mau meminjamkan telinganya untuk sementara ini—mendengarkannya.

[Aku tahu ketidakmungkinan itu, dan itu cita-citaku. Merubah sebuah dasar. Merubah sebuah ketidakmungkinan.

Mengapa kata mereka tidak bisa?

Semua dasar dan ajar itu sama bukan? Mereka tidak akan ada harganya dihadapan kebiasaan. Bukan begitu?

Terbiasa adalah kata ampuh yang tidak akan terkalahkan. Bahkan, kebiasaan jika disandingkan dengan iman. Ia dapat membuat kegoncangan besar. Melalang buana hingga menyentuh nirwana.]

Din sempat berpikir, "Aku tuh nulis apa, sih? Haha..."

Hati dan jemarinya seakan yang hendak mengungkapkan, bukan bibirnya.

[Seperti tidak mungkin memang, karena dasar adalah takdir, dan takdir tidak dapat diganggu gugat. Ketika kita ditakdirkan demikian. Maka, kita pun akan jadi demikian.

Ini memang tidak mungkin, ini memang bodoh dan gila. Tetapi, ini akan menjadi cita-citaku. Cita-cita tertinggi diriku. Yakni, merubah takdir. Aku akan merubah takdir keluargaku yang miskin akhirat dan dunia. Aku akan mengubah hidupku, nanti ketika aku punya kakanda. Dia harus yang dapat menuntunku masuk ke surga. Masalahnya Dia siapa?!]

Tangan Din terhenti lagi, ia mengingat kembali pesan ustadz-nya saat mengaji dulu, "Ora-orane, yo minimal entuk gus tho Din, syukur-syukur seng duwé pondok. Ora ben ngopo-ngopo, ben uripmu penak.³⁹"

Ustad-nya pernah menjelaskan itu; bahwa hakikat harga seorang wanita itu pada suaminya.

Bahkan, beliau juga mengungkapan, jika seorang suami itu masuk ke dalam syurga, istri pasti akan ikut dengannya. Tetapi, jika istri yang masuk ke dalam surga, suami harus melihat dulu bagaimana perbuatannya. Seperti, jika istri berbuat dosa, suami juga ikut menanggung dosanya, karena tidak mampu menjaga istrinya dengan baik.

Bukankah wanita itu sangat licik?

"Ah! Din kamu berpikir apa… SMA saja belum lulus! Suami! Suami!" Din berdebat dengan pikirannya sendiri.

"Tetapi… kalimat itu benar. Sejak hadirnya kalimat itu di hidupku, membuatku tidak mudah mencintai siapa pun. Jika 'dia' yang dimaksud tidak berbekal agama. Untuk apa? Kaya atau miskin hidup bersama pria yang akan meninggalkanku di neraka?

Ustadz-ku benar. Sejak saat itu, aku juga jarang berpikir, dia siapa? Dari keluarga apa? Setiap aku bertemu orang baru, pasti dipikiranku adalah, bagaimana ibadahnya? Apakah dia orang baik? Apakah dia orang yang dekat dengan Allah? Seorang teman yang bisa dijadikan panutan, mampu menuntunku dalam kebaikan? Itu yang selalu aku pikirkan duluan."

"Huh, Ustadz-ku benar-benar telah mempengaruhiku. Seandainya saja... ibuku terus mengizinkanku mengaji dan tinggal bersama beliau lebih lama, mungkin… pribadi dan akhlaq-ku bisa lebih baik lagi dari pada ini," sesal otak Din.

Din menyalakan ponselnya. Wallpaper bergambar Taj Mahal dengan sebuah quotes memenuhi layar, bertuliskan,

— MAKA BERSABARLAH KAMU DENGAN SABAR YANG BAIK —

[Surah Al Ma'arij | 5]

Bukan di sana titik fokusnya. Ia melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 01 dini hari. Beberapa hari terakhir jadwal tidurnya kacau. Jika dibiarkan lebih lama, ia bahkan bisa menjadi insomnia.

Tapi malam itu bukan masalah, bukankah orang-orang yang sukses itu adalah orang yang paling sedikit tidur? Kata orang, semakin nyenyak tidur seseorang, maka ia juga akan semakin sulit untuk sukses.

Tapi, tidur juga punya alasan. Tidak hanya bermain ponsel tanpa arah.

Begitu juga Din. Dia senang, malam itu dapat berdalih, begadangnya untuk sahur. Besok puasa Tasu'a dan puasa Asyura. Dua buah puasa yang Sunnah dikerjakan pada tanggal 9 dan 10 bulan Muharram.

Hari ini, Din tidak tahu kalau harusnya puasa Tasu'a. Jadi, dia tidak puasa. Tidak ada kata terlambat untuk beribadah.

Maka, besok ia akan ikut puasa Asyura. Apalagi ketika Din membaca sebuah buku Panduan Muslim Sehari-hari oleh Hamdan Rasyid dan Saiful Hadi El-Sutha. Katanya, keutamaan puasa hari kesepuluh bulan Muharram adalah diampuni dosanya satu tahun yang telah lalu.

"Wih, asyik, kan, puasa sehari dosa-dosa kecil kita bisa dikurangi. Ya, secara, aku juga, kan, sadar diri. Bahwa, dosa kecilku saat bercanda itu kalau dikumpulkan pasti melebihi langit dan bumi. Haha!"

Din bersiap menyantap makan sahur malam itu. Sendirian, dengan siapa lagi? Rumy jelas belum mampu untuk berpuasa. Puasa Ramadhan saja dia masih mengharap pedagang cilok lewat.

Pernah terbesit ingin sahur bersama ayah dan ibu. Lagi-lagi semua itu hanya berlalu bagi Din.


✧༺♡༻✧

Lihat selengkapnya