Allahu akbar! Allahu Akbar!
Suara adzan berkumandang, tanpa permisi masuk ke dalam hati para insan. Hewan-hewan berhenti bersuara. Memantik mereka berganti menyeru kepada Tuhannya—Allah.
Dengan wajah lesu, Din menatap segelas air putih bersanding nasi dengan tempe yang kecoklatan; telah digoreng.
"Alhamdulillah," ucap Din setelah meneguk beberapa mili air.
Din mengambil wudhu, lalu sholat Maghrib terlebih dahulu. Setelahnya, sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyantap makanan.
Twing!
HP Din berbunyi. Ia mengurungkan laju sendok ke mulutnya, lebih dahulu membukanya.
Sebuah nomor yang belum sempat di-save-nya kemarin. Yakni, nomor Pak Hasan.
Bukan, nomor itu bukan lagi milik Pak Hasan, tetapi milik?
"Uhuk! Uhuk!" Din tersedak sendiri.
Bersegera membuka pesan itu.
Dek
Iya, Kak?
Selamat berbuka puasa,
maaf buat yang tadi.
Iya, Kak.
Makanannya dimakan.
"Astagfirullah! Iya. Aku, kan, diberi nasi kotak, kok aku bisa sampe lupa, sih, Ya Allah." Din membuka lemarinya.
Iya, Kak. Terima kasih.
Jangan lupa lihat cermin
Ha? Buat apa, ya, Kak?
Alhamdulillah, sepertinya
saya sudah sadar diri, kok, Kak
Serius amat, Dek. 😂
Bukan itu maksud Kakak.
😐
Walaupun nasi tadi telah dingin, karena Din lupa panaskan. Dengan senang hati Din tetap akan bersedia memakannya. Ia mulai menikmatinya sembari terus menatap layar ponsel. Tidak ada yang memprotesnya. Rumy sedang asyik berebut channel TV bersama kakeknya di ruangan tengah.
"Kung! Itu TV-nya dipindah, loh! Yang kartun-kartun tadi," pinta Rumy bersungut-sungut.
"Pindah kemana to, Rum?" jawab kakeknya santai.
"Yang tadi itu, loh, Kung! Dipindah loh," rengeknya.
"Orang ini udah bener ada diruangan sini, kok, masak harus dibawa ke dapur."
Rumy mendengus. Dia mengalah saja pada kakeknya dan menerima menyaksikan konser entah apa itu.
Rumy mengambil sebuah buku, "Udahlah, kalau gitu Rumy mau ngerjain PR ajah!."
"Kecilin TV-nya kalau gitu."
"Gak bisalah, orang TV ukurannya segitu kok, mau dikecilin gimana, to?" jawab Kakeknya kasual.
"Ishh...! Kakung, mah!"
Mereka terus saja berdebat, membuat Din yang sedang makan, menggelengkan kepala; bahagia mendengarkannya.
Beberapa saat kemudian.
Di hadapan layar ponselnya, Husain menjadi bingung. Mengapa dia tersenyum-senyum tidak jelas seperti orang gila saat mengetik pesan itu.
Apakah Dia harus membalasnya lagi atau tidak? Jarinya ingin kembali menekan papan keyboard.
Bukan itu maksud kakak, Dek.
Maksud kakak tadi itu, coba,
kamu sekarang ngaca, deh.
Udah, Kak.
Husain terkejut. Apakah Din di sana benar-benar menuruti ucapannya?
Coba, senyum.
Udah, Kak.
Suruh ngapain, sih, Kak.
Ana belum buka puasa…
Ya udah buka-lah.
Ngapain malah berdiri di depan kaca, senyum-senyum lagi.🤣
Din berapi-api, mendengus marah. Ia sudah menanggalkan piringnya. Melakukan tindakan bodoh, yang dia semestinya sudah tahu akan begini akhirnya. Otaknya mengejek dirinya sendiri.
Twing! HP-nya berbunyi lagi.
Udah lihat kaca? Udah senyum?
Ya udah, itu. Kan, kalau buka puasa itu... sunnah-nya lihat yang manis-manis. Eakk..
Din memperhatikan layar ponselnya lamat-lamat. Terhening beberapa detik. Ia membacanya lagi, lebih dekat. Benar! Din mengecek nomornya lagi. Benar!
"Oh, ya Tuhan…. Kak Husain bucinin aku!" teriak Din dalam hati.
Din menahan senyumnya yang berasa ingin meledak-ledak itu. Dia segera minum air. Minum lagi. Minum terus, matanya tidak pindah sekejap pun dari benda kotak itu.
Bercanda, He!🤣
Pesan terakhir Husain, menyiram habis kebahagiaan Din.
Husain tertawa-tawa dari kamarnya. Ia suka sekali menganggu gadis yang lemah, macam tidak ada perlawanan seperti ini.
"Kak Husain belum tahu! Lihat aja, nanti," tekad Din dalam hati.
Udahlah, Kak. Habis ini
Jadwalku baca kitab.
Din masih membalas pesan Husain. Benar, saat malam dia harus belajar sendiri. Meski Din tahu, itu sama sekali tidak baik. Belajar agama secara otodidak, itu sama halnya berguru dengan syaitan. Tapi, Din hanya belajar membaca kitab-kitab. Jika dia tidak tahu, dia akan bertanya kepada yang lebih tahu, seperti guru agama atau Pak Bandi; ketika di sekolah. Jika untuk pemahaman umum, Din bisa melihat kajian di YouTube. Tentunya, dengan memilih ustadz-ustadz yang dapat dipercaya olehnya. Yang satu aliran juga.
Din juga tidak terlalu buta. Ia sudah mengaji sejak kelas 4 SD. Bersama gurunya ketika di Lampung, dahulu. Jadi, dia sudah dapat memilah mana yang bisa dipercaya, dan mana yang harus dia cari lebih dalam; kebenarannya.
Din sudah mengerti, mana yang harus diamalkan, dan mana yang menimbulkan perbedaan. Ia pun hanya berusaha mengulas beberapa kitab yang ia pernah kaji dulu. Membacanya lagi. Lalu, menghafal beberapa hadis sebelum tidur.
Kitab apa?
Husain melanjutkan pertanyaannya, setelah sempat keluar dipanggil Abuya tadi. Sepertinya, peperangan chat itu akan sangat mengasyikkan.