"Husain engga ikut makan bareng?" Seruan suara terdengar dari balik pintu.
"Na'am, Ummi–" Perkataan Husain terpotong saat ibunya menjajaki langkah masuk, membuka pintu.
"Husain nanti nyusulin–"
"Astaghfirullah Husain. Ummi, kan udah pernah bilang, kalau menaruh handuk jangan di kasur, nanti basah."
Husain melupakannya. Setelah mandi Maghrib tadi—setelah sholat tentunya. Ia malah langsung meladeni HP.
"Hehe, iya Ummi… Afwan… Husain lupa…"
Ibunya beranjak mengambilnya, lantas menggelarnya pada badan pintu, kembali berjalan keluar.
"Ummi!" Husain menghentikan langkah Ibunya itu.
"Maa Hadza? Husain bi khoir?⁴²"
"Khoir Ummi, Husain cuma mau tanya. Hehe."
Ummi Saha urung untuk keluar. Ia berdiri di samping Husain yang duduk di meja belajarnya.
"Astaghfirullah, Ummi–" dengan cepat Husain mendorong perlahan tubuh ibunya itu. Mendudukkannya pada pinggir ranjang—tempat tidur.
"–Ummi gak usah berdiri, duduk aja di sini. Sekarang dengerin Husain, ya…" Husain memasang wajah manis. Mengambil lokasi duduk di bawah kaki Uminya. Ia menatap lekat pada wanita berwajah syahdu umur 40-an itu.
"Ummi, kalau Husain suka sama lawan jenis, itu dosa, kah Ummi? Dan apa itu salah?" tanya Husain tiba-tiba.
Ummi Saha agak terkejut awalnya. Tetapi, ia mengerti. Husain bukan anak kecil lagi, yang dulu sibuk belajar beatbox. Sekarang dia hampir kelas 12. Jadi wajar jika hormon reproduksinya meningkat, di usia segitu.
"Hehe… maafin Husain, ya, ummi kalau ngga sopan."
"Engga, cinta tidak pernah berdosa, Husain. Orang-orang yang membuat cinta jadi tidak putih lagi dan ternoda," jelas Ummi Saha.
"Ummi dulu... cinta pada Abuya bagaimana?"
"Ah, putra Ummi sedang jatuh cinta tho, rupanya. Awas, loh, ya, jangan sampai berjalan pada prilaku haram." Ummi Saha mengalihkan pembicaraan.
"Ummi…"
"Hm?"
"Hati kita, kan satu ya, Ummi. Apa bisa kita mencintai dua orang sekaligus, dalam waktu yang bersamaan?" Husain terus menghujani tanya.
"Haha! Cinta? Kepada dua orang sekaligus?" Ummi Saha tertawa ringan.
"Ih, Ummi, mah… Husain jadi malu."
"Tatap Ummi–" Husain menurut. "–hati kita dapat mencintai ribuan umat manusia. Tetapi, jika cinta yang dimaksud adalah cinta secara duniawi. Cinta nonik muda, cinta ya… intinya semacam cinta Husain sekarang–" Husain memasang wajah memerah karena malu. Tapi ia harus tahu jawabannya, pertanyaan-pertanyaan itu terus bermunculan tiada henti, selain diobati oleh jawaban.
"Jika Husain mencintai dua orang dalam waktu yang bersamaan. Maka, saran Ummi, Husain pilih yang ke-dua."
"Kenapa begitu? Ummi?"
"Ya.... Karena… jika Husain benar-benar mencintai orang yang pertama, seharusnya Husain tidak pernah terperangkap dalam cinta orang yang kedua. Hal itu dapat terjadi, sebab sekarang Husain sedang mencintai orang yang hadir terakhir," papar Ummi Saha, dengan telaten menjelaskannya perlahan.
Benar, hati Husain langsung berdegup tidak karuan. Orang nomor dua yang dimaksud?
Husain tersenyum simpul, "Terima kasih, Ummi, Husain sudah mengerti."
"Mari, makan," ajak Ummi Saha kedua kalinya.
Husain menggenggam erat tangan ibunya, seperti orang yang baru kasmaran. Melekat macam cicak.
"Jadi malam ini… Husain mau ngajak Ummi aja, deh, buat ngedate makan malam. Ayo?..." Husain mempersilahkan jalan pada ibunya.
Umi Saha mengacak rambut Husain, "Jadi sekarang ibu adalah kekasih kedua, nih? Siapa ya, yang pertama?" godanya.
Puch!
Sebuah ciuman mendarat pada pipi Sang Ibu. Husain lantas berlari, "Ummi roqm wahid fi my Qolbi…⁴³" pekiknya sembari meninggalkan Ummi Saha berlari ke ruangan makan.
Ummi Saha menatap haru pada lari Husain. Ia menyeka setitik air yang menetes.
"Aku beruntung. Belum tentu semua anak lelaki pernah melakukan itu kepada ibunya. Didikkanku berhasil," ucapnya dalam hati.
✧༺♡༻✧
Satu tahun ajaran berlalu dengan cepat. Perubahan cukup luar biasa pada MAN 22 Bangkalan.
Berbagai macam perlombaan selalu menyertai pada setiap tahunnya. Banyak yang mengajukan diri, ada pula yang menawarkan agar mereka dapat mewakili sekolah.
Husain tidak pernah tertarik mengikuti hal-hal seperti itu. Jika ia mau seyogyanya cukup dengan sedikit usaha saja, dia dapat meraup kata sukses.
Tetapi, Husain hanya ingin menikmati kehidupan pada usia itu. Ia hanya ingin merasakan bagaimana wujud masa indah di waktu SMA. Ia ingin meneguknya melalui berbagai ekstrakulikuler dan organisasi, yang hampir semua telah Husain jelajahi.
Tidak ada kata jarang bertemu, baik antara Husain dengan Heera, Din dengan Zayn, atau mungkin keterbalikan ke-empatnya.
Husain dimintai salah seorang guru untuk berlomba pidato full bahasa Arab.
Ia sudah menolaknya beberapa kali. Tetapi tetap saja, guru itu berkata,
"Tidak ada lagi yang mampu menghafalkan bahasa Arab sebaik kamu Husain, waktunya sudah mepet, dan kita harus mengirimkan minimal satu siswa. Terserah, Husain mau lomba secara serius atau tidak, menang atau tidak, semua itu nanti urusan belakang. Yang terpenting, Husain mau ikut, ya?"
Husain sama sekali tidak tega sekarang.
Bayangan seorang guru yang memerintahkannya secara terhormat, seakan seperti mendonorkan seluruh kepercayaan sekolah kepadanya. Ia harus menerimanya.
"Baik, Bu, Husain akan ikut," putus Husain.
Guru itu teramat riang. Misi selanjutnya adalah mencari peserta cabang.
Din sedang memonitor guru yang menawarkan pertanyaan di depan kelas. Ia sudah menjelaskannya, tapi sayang, guru itu dikacangin. Tidak ada yang mau menjawabnya. Atau kelas itu memang tidak tahu harus menjawab apa.
"Saya tegaskan sekali lagi untuk kelas XI IPA 3. Apa masih tidak ada yang mau mengajukan kelasnya untuk mengikuti lomba yang sudah ibu tulis di papan tulis!" desak sang Ibu.