Ya, Suatu Saat Nanti

Asya Ns
Chapter #29

Kegemparan di Pesantren

"Kakak pu-pulangnya gimana?" Din memberanikan diri untuk bertanya. Tangannya masih mencengkram erat tas Husain.

Tas itu lagi, tas yang sempat menyelamatkan isi otaknya.

"Ga- eum. Gak papa, kamu nanti lurus aja, turunin kakak di pertigaan. Biar kakak suruh orang ru- Khem! Rumah buat jemput." Husain juga semakin menggigil sekarang.

Jalanan senyap. Mereka juga senyap. Hanya rinai hujan yang semakin beringas turun.

Laju motor yang disetir Husain semakin melamban, saat sampai di pertigaan. Ia ingin menghentikan motornya.

"Belok, Kak."

"Ha?"

"Belok! Aku mohon Ka- kakak, belok!" Husain menurut, dia berbelok ke kanan. Terus melaju lurus. "Ini mau kemana?"

"Ja-jangan berhenti, ka-ka-lau belum sampai di rumah kakak, huh…" Din kembali mengeluarkan udara. Agar pemanasan ditubuhnya semakin meningkat.

Husain bingung hendak apa. Dia ingin berhenti di halaman pondok. Tetapi, dia tidak dapat membiarkan Din pulang sendirian. Malam sudah larut, jarak rumah Din ke sekolah jelas tidaklah dekat. Namun, pada jam setelah Maghrib seperti ini, para santri pria biasanya masih ramai mengaji. Kini akan sangat sulit baginya, untuk membuat keputusan.

Laju motor semakin mendekati pesantren. Husain berpikir, Din pasti akan menolak, ketika seandainya ia nanti menyuruhnya untuk masuk sendiri ke dalam pondok. Sebelumnya, menurunkan Husain dahulu di pintu masuk. Husain yakin Din pasti tidak mau.

"Duh… Ya Robb…. Bagaimana?" Hati Husain berkecamuk.

Husain tidak dapat menghentikan waktu. Akhirnya ia tiba di halaman pondok. Pikirannya tidak menemukan jawaban, selain itu, sudah malas juga jiwanya untuk berhenti dahulu di tengah jalan. Lebih baik ia melesat saja masuk ke halaman pondok, menuju parkiran mobil.

Din yang sedari tadi menunduk, merasakan Hujaman air hujan sudah tidak lagi menyentuh tubuhnya.

"Huhu… hu… huhu…" Masih itu yang Din lakukan.

"Lihat! Itu Lora Husain," pekik salah seorang santri Ayahnya.

"Dia baru pulang?"

"Dia sama siapa?"

"Dia sama cewek! Hoy! Ra Husain bawa cewek!"

Sekejap semuanya langsung beranjak dari tempat duduk mereka, mereka mengamati dari pinggir teras yang masih aman dari hujan. Berseru bising hingga membuat Kyai Amin tertegun—tidak percaya.

"Sutth…. Kalian ini..." Husain melepas jaket kulitnya, menaruhnya pada motor kepunyaannya.

Din berangsur ikut turun dari motor.

Ia benar-benar menjadi es batu sekarang. Bergeming, membeliakkan matanya dengan sia-sia.

Kyai Amin keluar dari masjid, membuat perbincangan riuh menjadi hening seketika. Semua santri yang berdiri, perlahan mundur, duduk ke tempat semula.

"Husain, udzhul!⁴⁶" titah Abunya, masuk ke dalam ndalem⁴⁷.

Ia tahu setiap pilihan akan memiliki konsekuensi. Husain juga siap, dengan tatapan Abuya yang demikian kecewa. Sebisa mungkin, ia tetap akan berusaha untuk menjelaskan semuanya tanpa kebohongan.

Husain mengikuti langkah ayahnya, meninggalkan Din, di sana.

"Ghoiri malabisk.⁴⁸" Husain tunduk, ia lekas mengganti pakaiannya yang basah.

Din tahu, ia mengerti bagaimana kerasnya lingkungan pesantren. Dengan datang kemari seperti ini, ia telah membawa petir kehancuran. Berjuta kata 'seharusnya' dalam konteks penyesalan memenuhi memorinya.

"Mari, Nak, masuk." Sebuah gelombang suara menyadarkan lamunannya.

Din mendongakkan kepalanya, Ia ber-hah.

Lihat selengkapnya