"Bi, tadi, ada apa?" Ummi Saha bertanya lembut pada Ayah Husain.
"La syai' ⁵¹, Ummi… Husain ikut lomba pidato bahasa Arab. Satu kabupaten, alhamdulillah dia menang juara satu. Lantas, pulangnya kesorean, dan tidak ada pilihan lain. Husain tadi pagi, kan, tidak bawa motor. Jadi, dia juga kasian sama itu, siapa nama gadisnya?"
"Din?"
"Nah, itu, Din.... Ya itu, terus sama Din diminta diantarkam pulang kemari. Cuma itu sebenarnya. Tapi, sekecil apa pun maksiat, ya, tetep maksiat, Mi. Abi juga hanya menasehati. Abi senang dengar kalau mereka tidak aneh-aneh, tidak ada kabar bahwa mereka pacaran juga," papar Kyai Amin.
"Husainku memang tidak pernah pacaran, Abi..." sergah Ummi Saha.
"Hmm... Ummi selalu saja memanjakannya, apa karena dia anak bungsu?"
"Anak bungsu biasanya malah yang paling mengerti keluarganya, Bi. Kan, kakaknya jelas udah pada berkeluarga semua."
Kyai Amin tidak membalas.
"Bi."
"Iya... ada apa lagi, ya Zauzati…⁵²"
"Tapi Abi harus janji tidak boleh marah-marahin Husain lagi."
"Haha. Abi tidak marah, kok. Tidak marah. Tanya Husain saja kalau tidak percaya," bela Kyai Amin.
"Bahkan setelah mendengar hal ini."
"Iya..."
"Dari gelagat kita muda dulu. Dari tingkah Husain, sepertinya, anak kita itu suka sama Din, gadis itu."
"Ah, Ummi bilang apa, sih. Abi tahu, kewajiban Husain sebagai lelaki adalah ketika suka, datangilah rumahnya. Begitu, kan, maksud Ummi? Ummi benar, tapikan… Husain baru saja mau lulus SMA tahun ini, Mi. Sudah, tidak usah dipikirkan."
"Huh... Iya, sih, Bi. Umi percaya kok pada Abi. Didikan dan keputusan yang Abi berikan, selalu tidak pernah mengecewakan ummi selama ini." Ummi Saha tersenyum. Keduanya seakan kembali dalam kasmaran. Saling bertukar pendapat dan mentolerir perbedaan yang menimbulkan masalah. Ketenangan itu yang selalu membuat Ummi Saha dapat bertahan. Mengelabuhi bahtera rumah tangga bersama Kyai Amin. Selain itu, dasar mereka menikah juga adalah murni cinta. Bukan, sebab nafsu belaka.
"Kalau begitu, coba sekarang Ummi, buatkan Abi qohwa⁵³, sama makanan ringan, ya?" titah Kyai Amin.
Ummi Saha mengangguk, segera bergegas pergi; patuh pada perintah suaminya.
"Farhan...." Tak berselang beberapa saat dari teriakkan. Santri yang bernama Farhan itu bak menghilang dan sekarang sudah berada di hadapan Kyai Amin.
"Na'am, Yai…"
"Kamu yang kemarin mengantarkan gadis yang pulang bareng Husain itu?"
"Balaa, Yai," jawabnya takzim.
"Kamu tahu rumahnya, kan? Tahu tentang keluarganya tidak?"
"Hehe, tidaklah, Yai. Ana hanya mengantarkan. Gak aneh-aneh, kok, sampe cari-cari, hehe," jawabnya lirih.
"Kenapa gak cari? Ya sudah, kamu tak tugasin sekarang, buat cari semuanya. Tentang gadis itu. Cari yang detail. Kamu tahu seperti fi'il pada bacaan Al-Qur'an. Cari seperti itu. Maknai, sampai dasarnya. Fahimtum, kan, Ya Farhan?"
Farhan hanya menjawab "Iya." dengan membukukkan badannya, lantas menyalami, dan pergi.
Ia tidak banyak bertanya. Yang terpenting apa pun yang diperintahkan Kyai-nya itu ia yakin baik. Bukanlah separuh dari cara mengagungkan Guru ialah dengan cara memuliakan anak dan orang-orang yang memiliki hubungan dengan Guru tersebut. Jadi, Farhan lebih memilih patuh saja.
"Lumayan, kan, dapat sekalian cuci mata, keluar pesantren, haha," batin setan di hati Farhan.
✧༺♡༻✧
Kenaikan kelas sudah dijumpai lagi.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan.
Musim telah berguguran, bersemi, memanas dan mendinginkan udara yang ada di sekitar.
Setelah kemarin Husain berhasil menyabet juara pertama pidato bahasa Arab. Kini, ia telah menyelesaikan tugasnya sebagai pelajar. Kelulusan akan segera diumumkan.
Husain sebenarnya bisa menorehkan banyak prestasi, meski ia tidak niat sekalipun. Berbeda dengan Din. Sudah biasa baginya kata kekalahan dalam setiap lomba. Entah apa sebabnya, sering kali ia berusaha, niat sudah, doa apalagi. Tetapi, tetap saja dia tidak beruntung, menoreh nama pada sertifikat harapan saja tidak pernah.
Meski begitu kata Alhamdulillah, tetap tak pernah luput, terlantun dari bibirnya. Karena, sudah 2 tahun berturut-turut dia masuk peringkat 5 besar di kelas, pada semesternya. Ia tengah berebut posisi dengan Zayn. Keduanya selalu naik turun peringkat. Ketika Zayn sedang dalam posisi bandel, malas belajar, dia akan berada satu tingkat dibawah Din. Tetapi, jika ia giat, tiba-tiba prestasinya meroket, menjadi 2 tingkat di atas Din.
Sikap Zayn sudah biasa saja pada Din. Dia sudah kembali sering bertanya soal permasalahan agama; ketika tidak paham pada suatu hukum—agama. Sebab, ia malu dan tidak tahu, tidak ada yang bisa memberikan saran sebaik Din, baginya.
Zayn juga bersahabat dekat dengan Heera. Bahkan, Heera sering masuk ke kelasnya sekarang, duduk bersama Zayn dan dua teman lainnya. Hanya untuk membahas OSIS atau sekedar berbincang hal asal semata.
Melihat keduanya yang semakin dekat. Entah bagaimana merasa sedikit sakit. Mungkinkah itu sebab kehilangan akan kebiasaan jahil Zayn? Tetapi, Din tidak pernah iri. Keberadaan Fatma dan Dila yang terus setia di sisinya, membuat Din tidak butuh lagi pada kata 'pacar'.
Saat pulang sekolah. Din tertegun di teras masjid. Ia melihat Zayn berboncengan dengan Heera.
"Mereka semakin dekat saja," batin Din.
Din kira mereka telah berpacaran. Tetapi, mengapa kerapkali Din diberi tahu Dila, jika Heera masih sedih, dia sering menyatakan singgungannya melalui sebuah snap WhatsApp.
— Sekarang aku bahkan tidak mengerti di mana posisiku di hatimu. Aku katakan terserah sekali lagi. Aku tidak mau berlomba-lomba untuk membuktikan siapa yang salah dari semua ini. Bahkan, ketika aku diam pun, aku merasa seolah olah aku yang salah dalam rasaku sendiri. Baiklah, terserah kamu sekali lagi.—
Begitulah tulisan Heera kala itu. Mungkin mereka masih berusaha mengatasi kesalahpahaman antara satu sama lain. Masalah yang lebih penting, sekarang kondisinya telah berubah. Husain akan lulus tahun ini. Ia sudah menjajaki kelas 12. Bahkan, persiapan kelulusan pun sudah mulai direncanakan.
"Secepat itukah waktu berjalan. Kayaknya baru kemaren, deh, aku daftar sekolah, mengucap salam, mencari daftar nama di MPLS, dan sekarang? Eh, tiba-tiba sudah kelas 12 saja," gumam Din sebelum berakhirnya kelas.
Akhirnya, masa penuh kebimbangan dan kepusingan akan ditutup. Sesegera mungkin orang di luar sana pasti akan banyak bertanya. Beberapa membahas, kemana? Apakah dia harus menjawabnya dengan bekerja? Atau melanjutkan kuliah?Atau mungkin malah menikah? Ah, tidak. Pilihan terakhir terlalu cepat. Untung saja baru semester pertama, pikir Din. Kali ini ia juga masih dapat bernapas lega.
Bazar PORDSEMAN (Pekan Olahraga dan Seni, Madrasah Aliyah Negeri). Diadakan hari ini. Bazar itu adalah persembahan yang disajikan untuk kelulusan kelas 12.
"Para calon alumni yang akan diluluskan, diperintahkan untuk duduk pada kursi kehormatan." Suara pembawa acara menggema di pagi yang cerah itu.
Semua teman seangkatan Husain berdandan cantik-cantik, mereka tampak luar biasa.
Husain juga mengenakan style yang berbeda. Jas hitam bergaris lembut silver hitam, yang dipadu sweater turtleneck putih, membuat ia tampak gagah berbeda.
Ia berjalan dengan sarung hitam bermotif warna bendera Palestina. Sarung favoritnya, ia mendapatkannya; kiriman pertama Muta Indonesia dari selebrate 20 ribu followers di instagram. Tak lupa juga mengenakan bersepatu hitam.
Langkahnya membuat, puluhan pasang mata tidak mengerjap menatapnya.
Husain dan teman-temannya tengah menikmati berbagai macam penampilan. Penampilan itu disuguhkan dari perwakilan setiap kelas.
✧✧
"Bagaimana Farhan? Informasi apa yang sudah kamu dapat selama ini, tentang gadis itu?" tanya Kyai Amin menghampiri Farhan.
Mengumpulkan seluruh informasi yang akurat itu, tidaklah mudah bagi Farhan. Kyai Amin selalu mengecek perkembangan kabar yang ada.
"Itu Yai… anu, Dia anaknya, baik kok Yai, anaknya juga terkenal ramah, ceria, sopan, alim, cantik juga sih dipikir-pikir–"
"Astaghfirullah, Farhan!"
"–Na'am Yai, saporanah.⁵⁴"
"Keluarganya bagaimana?"
"Dia berasal dari keluarga yang bukan ahli agama Yai. Ibu dan ayahnya bercerai, terus apa lagi ya…. Itu Yai, dia tinggal di rumah sekarang hanya dengan Kakek dan Adiknya. Ia yang mengurusi semuanya. Intinya sempurna deh Yai, kalau dijadikan pasangan saya. EH! salah! Fuhh!! Saporanah Yai, tapi itu… berita buruknya adalah, katanya, kakaknya, hamil diluar menikah Yai. Anaknya sekarang sudah dua."
"Oke, sudah? Masih ada lagi? Nanti temui saya kalau ada yang tertinggal, ya. Sekarang Farhan boleh lanjutin baca kitabnya. Syukron jazakallahu khairan.⁵⁵"
"Na'am, Yai."
Ini akan berbahaya, orang biasa (ahwal) tidak dapat mengotori silsilah keturunan Rasulullah. Benar memang, Kakak-kakak Husain tidak ada yang menikahi Syarifah, tetapi, setidaknya mereka berasal dari anak kyai dan keluarga suci. Jalur yang suci, tidak pernah berbekas perzinaan. Kyai Amin akan menjadi orang pertama yang tidak setuju tentang hal ini. Ia harus mencari cara menyelamatkan Husain agar tidak bersama Din.
Akan tetapi, apa yang harus Kyai Amin lakukan sekarang? Husain sudah dewasa, ia tidak bisa memaksa rasa suka Husain ke orang lain. Bukan seperti itu keinginannya. Ia harus mencari jalan lain.
Ya! Sebuah penerangan hadir dalam pikiran Kyai Amin.
Ia memang tidak bisa memaksanya berpindah, tetapi, bukankah sebagai orang tua, ia dapat memilihkannya? Ya. Itu adalah ide yang terbaik, Kyai Amin akan memilihkan seorang wanita yang cocok untuk putranya. Ia akan mencarikannya.
Namun siapa dia? Gadis yang cocok dengan putra bungsunya?
"Atau mungkin…." Kyai Amin menyunggingkan senyum, di balik wajahnya tersimpan banyak sekali harapan agar dapat segera dilaksanakan.
✧✧
Rangkaian acara terus berlalu. Husain berjalan di bawah naungan pedang pora, menuju pengalungan mendali alumni, dilanjut pemberian ijazah kelulusan juga pemotretan bersama kepala sekolah.
Semua siswa kelas X dan XI tampak haru juga heboh, menyaksikan kesakralan acara hari itu.
Sekitar 200 murid dipanggil secara bergiliran. Dengan takzim Husain menolak menyalami pada guru wanita. Meski, mereka semua tetap mendoakan Husain.