"Bagaimana tidak boleh sakit Ummi? Sekarang apa Husain harus menentang Abi. Padahal, sebelumnya Husain tidak pernah melakukan itu Ummi, huh," jawab Husain, ia menarik bibirnya ke bawah, bangkit, lalu duduk bersila.
"Husain sudah dewasa. Husain boleh ambil keputusan mana yang menurut Husain baik," ujar Ibunya, berusaha menenangkan.
"Ummi…"
"Putraku, kemarilah, Nak." Husain mengalihkan posisi tidurnya. Ia bersandar pada bahu Ummi Saha.
"–Abimu hanya berhak menjodohkan. Tetap saja, perihal jodoh semuanya berada di tangan Tuhan. Walaupun Husain dijodohkan, bukan berarti dia jodoh Husain juga, kan?"
Husain mengangguk. Ia mengerti.
Umminya benar. Dia dapat bicara baik-baik pada Abunya. Menjelaskan isi perasaannya.
Akhirnya, Husain keluar kamar, dengan baju berbeda, bersama Umminya.
Kyai Amin tersenyum, "Husain setuju?" tanyanya lagi.
Husain berusaha ikut tersenyum, "Setuju Abi. Tapi, jangan besok, berikan Husain waktu untuk berpikir. Biarkan Husain mempersiapkan diri," pintanya.
"Tapi itu hanya bertunangan Husain, tidak sampai menikah, untuk apa persiapan terlalu matang? Menunda-nunda waktu baik, bukan hal baik," tungkas Kyai Amin.
Kyai Sa'ad hanya menyimak, bersama Bunda Rubi dan Alawiyah.
Husain sentak terdiam. Ia menunduk sangat dalam.
Kyai Amin menjadi tidak tega melihatnya begitu. Ia mewajarinya.
Yang terpenting baginya adalah Husain sudah setuju. Waktu tidak akan mengubah apa pun. Selagi, orang tersebut tidak mau melakukan apa pun.
"Na'am ya Husain. Abi beri antum waktu 2 Hari, bagaimana?"
Husain menengadah, ia tersenyum ikhlas sekarang.
Mengangguk penuh kebahagiaan.
Hanya 2 hari waktunya. Ayahnya pasti tidak akan memberikannya tambahan lagi.
Bagaimanapun Husain harus siap. Dia harus bisa meyakinkan dirinya, atau memohon kepada Allah untuk menunjukkan jalan yang terbaik.
Ia harus memohon kepada Allah untuk membuka apa yang ditutupi. Jika Allah tidak berkehendak, maka, rumus dipaksa, terpaksa, terbiasa, harus ia ikhlaskan. Karena, apa pun yang Allah berikan. Husain lebih dari kata yakin, bahwa itu adalah yang terbaik dari tertutupnya gerbang gaib yang ada.
✧༺♡༻✧
Husain sudah lulus sekarang. Tidak ada lagi yang lebih menyibukkannya selain membaca kitab, menghafalkan Al-Qur'an, dan, mengaji dengan Abuya.
Ia tidak sering lagi bertemu teman-temannya, lagi rapat organisasi, atau konser di kelas, pun menonton anime di ruangan OSIS.
Husain merindukan semua itu. Ia ingin menggoda dan membantu para guru lagi. Hingga waktu membuatnya sadar, bahwa semua itu telah berlalu.
Malam itu, Husain menutup kitabnya. Ia sudah bosan. Hanya diam saja seperti itu apa akan ada hasilnya? Berharap Allah membantu tanpa kita berusaha itu sama saja memancing di samudra. Bisa, namun kesempatannya kecil.
Iaa masih mencintai orang yang sama. Sosok yang menerjang hujan dengannya. Gadis itu sekarang, sudah kelas 12.
"Din sedang apa, ya?" pikir Husain, mulai membuka layar ponselnya.
"Apa dia buat status Wa?" Husain mengeceknya, dan ternyata tidak ada.
"Apa aku saja yang buat? Tapi alay gak, sih, laki-laki buat snap buat ngode seseorang. Iya, kalau dia nanti balas, kalau engga?! Ah…" Husain berupaya membuang pikiran itu jauh-jauh.
Ia berdecak. Bolak-balik munculkan papan ketik yang tak kunjung dijamahnya dari tadi.
"Oke, ketik aja." Suara keyboard mulai memenuhi ruangan yang hening dan gelap itu.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
Dek! Bantuin aku
Din juga sedang bermain ponsel, ia sedang merekam suara, dan pesan masuk itu mengganggunya.
Din mendengus, vote note yang sudah ia rekam 3 menit harus diulangi dari awal.
"Siapa, sih?" gumamnya.
"Astaghfirullah lupa."
Assalamualaikum, Dek.
Husain menambahi tulisannya.
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Hai, Kak Husain, iya, ada apa?
Belum tidur?
Husain sok basa-basi.
Belum, kak. Kakak juga belum tidur?
Belum, mau nanya serius.