Din tidak langsung pulang sekolah hari itu. Percaya atau tidak dia sudah hampir satu tahun menjabat sebagai ketua Rohis.
Iya, dia terpilih untuk itu. Din tidak pernah menyangka, bahkan, Zayn dan beberapa murid lainnya mengejekinya. Karena, sikap bar-bar Din.
Tapi memilih Din menjadi ketua rohis bukanlah ide yang buruk. Ke-randoman sifatnya justru banyak membuat anggotanya cepat memahami apa pesan yang Din sampaikan. Untuk ketidakjelasannya, hanya berlaku untuk teman-teman dekatnya. Berbeda jika sedang berorganisasi. Din akan berusaha bersikap layaknya yang diperlukan. Sesekali menjadi yang paling bijak. Membagikan apa pun ilmu yang ia pernah terima waktu mengaji di TPQ yang sekarang sudah menjadi sebuah pondok pesantren. Din ikut bangga mendengarnya.
Ia duduk sendirian. Di paling depan. Dijadikan seorang pimpinan itu bukan hal yang mudah, sedikit saja ia mengusung kesalahan pada anggotanya, maka, Dinlah yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat.
"Hari ini kita kedatangan ustadzah yang akan mengajari kita semua cara berpidato. Beliau akan mengajarkan dan memberikan ilmu juga kepada kita semua. Kemarin, kan, kita sudah belajar bahasa Arab, dilanjut MTQ, kaligrafi, dan jadwal minggu ini adalah belajar pidato. Gimana, nih, pada siap engga? Hehe....
"Siap, Kak…" jawab semua adik kelas Din serentak. Sekitar beberapa waktu lagi, masa jabatannya akan segera habis.Din akan melepas tanggung jawab itu bersama dengan kelulusannya.
"Kepada Ustadzah Dewi… waqtan wamahallan tafadhol,⁵⁹" hatur Din mundurkan sedikit lokasi duduknya, dan memberikan mic.
"Terima kasih, Mba Din," ucapnya.
Ustadzah itu mulai membuka pembicaraan. Kemudian, di selingi sedikit pertanyaan dan juga candaan, hingga penjelasan cara berpidato yang baik.
Tema yang dibahasnya hari itu adalah 'Mencintai Orang-orang Sholeh'.
Din ikut menyimak dengan takzim, didampingi wakil, dan beberapa devisi Rohis kelas 12 lainnya.
"Cinta di dalam hadits yang telah kakak bacakan tadi itu, terbagi ke dalam 2 hal. Yang pertama adalah : kecintaan keagamaan, yaitu mencintai karena perkara agama dan yang kedua adalah tentang keyakinan (aqidah). Maka, barang siapa yang mencintai orang sholeh karena kesholehan mereka, dan mencintai apa yang ada pada mereka. Seperti, ketaqwaan dan agamanya. Kemudian, dia berharap kelak Allah akan mengumpulkan mereka bersama di dalam surganya.
Itu dapat saja terjadi, kita masuk surga bersama dengan mereka.
Sama halnya, jika kita mencintai orang-orang kafir karena kekafiran mereka, karena keyakinan mereka. Nah itu, maka hal itu juga dapat menjadi sebab dimasukkannya kita kedalam neraka bersama mereka.
Nauzubillah tsumma nauzubillah…
Lantas, jika orang-orang yang kita cintai itu menyuruh kita untuk berbuat syirik kepada Allah. Maka, jangan kita taati. Meskipun, toh, itu adalah orang tua kita sendiri. Sebab, kita akan dikumpulkan bersama orang-orang sholeh, bukan dengan dia, atau ornag tua kita sekalipun. Meskipun kedua orang tua kita itu adalah manusia yang paling dekat dengan kita saat di dunia. Tetap saja, kita gak akan kumpul bareng mereka. Kenapa? Karena ya, itu, sesungguhnya seseorang akan dibangkitkan pada hari kiamat bersama yang dia cintai, yaitu cinta dalam hal agama, dan karena ini Allah SWT berfirman 'Dan orang-orang yang beriman akan kami masukkan bersama orang-orang sholeh'."
"Ustadzah izin bertanya, boleh kah, ustadzah?" ucap salah satu siswi yang memberanikan dirinya.
"Iya. Boleh… Siapa namanya?"
"Saya Halimah ustadzah, izin bertanya, kalau seumpama kita mencintai artis-artis, atau selebgram itu bagaimana ustadzah? Apakah kita akan dikumpulkan bersama mereka juga?"
"Pertanyaan yang bagus, Hali. Jadi begini, dari Ibn Hajar Al-hitami dalam haditsnya menjelaskan, bahwa kita harus menjauhi dua hal, yakni, mencintai orang dzalim dan fasik (orang-orang yang berbuat keburukan) dan membenci orang-orang sholeh. Kita harus jauhi dua hal itu karena, seseorang akan bersama dengan yang ia cintai'.
Nah, seringnya itu, kan, orang kalau sudah suka, sudah fans, sudah mengidolakan artisnya itu, biasanya sampai buta, sampai fanatik banget. Ngga cuma idol Indo, Korea, atau Selebgram. Bahkan dengan ulama sekalipun. Kita harus tahu. Kita lihat, sebenarnya apa, sih, alasan kita menyukai mereka itu? Sungguh benar karena amalan yang mereka kerjakan? Atau malah, karena wajahnya yang tampan? Hayoo… ngaku…" goda Ustadzah Dewi.
Mayoritas yang mendengarkan tersenyum geli. Mereka mungkin dalam posisi yang demikian.
"Jika kita mencintai para Ulama Shaleh, dan meniru keshalihan juga ketaqwaan mereka. Itu akan membuat diri kita lebih baik, bisa masuk surga dengan itu. Nah, masalahnya, kalau kita mencintai idol-idol yang Non atau jarang ibadah, melanggar syariat, bahkan mereka saja tidak percaya Allah. Nah, itu bagaimana? Bukankah mereka itu kafir? Fasiq? Wawllahu a'lam... tapi, benar, loh, sekarang banyak yang kaya begitu, kan? Kemudian kita malah ikut-ikutan gaya mereka, sampai ngehaluin mereka secara berlebihan. Astaghfirullah... padahal mereka aja tidak perduli dengan kita, dan kita juga sudah tahu, bagaimana kondisi mereka dengan kemaksiatannya. Allah... Itu bisa jadi banget... kita malah ikut bersama mereka dalam adzabnya. Nauzubillah ya Allah... Mengerti?"
"Iya ustadzah... Kalau sukanya sama pendakwah tiktok bagaimana, hahaha..." Semua orang ikut cekikikan mendengarkan lanjutan gadis itu bertanya.
Ustadzah Dewi mendengus, " Haha... Gak papa, tapi yang bener, karena agamanya loh, bukan karena apa-apanya. Haha, walaupun itu pendakwah TikTok atau ulama dan orang baik sekalipun, jika niatnya tentang dunia. Ya... kita tidak bisa menjadi sebab dikumpulkannya dengan mereka diakhirat. Contohnya seperti, di padang mahsyar nanti. Seperti seorang ibu yang mencintai anaknya— beda agama, kalian yang mencintai teman kalian—beda agama. Itu tidak termasuk dikumpulkan bersama mereka, karena hal itu termasuk kecintaan yang sudah fitrah.
Jadi, menurut ustadzah nih, dengan mengidolakan para actor, artis, dan mereka-mereka itu, sungguh cuma ilusi dan khayalan yang tidaklah membawa apa-apa, selain membawa kita berakhlaq seperti akhlaq mereka, dan berbuat sebagaimana perbuatan mereka. Berbeda jika kita mencintai orang-orang sholeh, orang-orang yang sukses dan para penemu yang kembali kepada kemanfaatan seluruh umat manusia, kecintaan yang membawa kita pada kemajuan serta keberhasilan di dunia maupun di akhirat dengan izin Allah. Begitu."
"Tapi sebentar. Ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan. Meski kita mencintai pada keturunan Rasulullah, Habaib, dan ulama itu tetap ada batasnya, ya? Jangan serta-merta kita sebagai orang biasa, dicintai mereka, lantas kita mau saja. Apalagi seorang Syarifah, nah kita sadar diri saja, jangan mau. Masih banyak yang lain. Mereka itu orang-orang istimewa yang mendapatkan amanah melanjutkan keturunan Rasulullah. Jadi jangan kita ganggu dengan menikahi mereka secara semena-mena. Cukup diam, tiru yang baik, dan selalu doakan. Mengerti?"
Din tertampar. Mengapa penjelasan kali ini cukup rumit untuk dipahami? Berati ustad Din salah, dong? Dia, kan, hanya orang biasa. Bagaimana bisa mendapatkan cinta seorang Gus? Atau keturunan dalam garis Nabi?
"Ya Allah! Bukankah Husain juga seorang Gus? al-Hadad di akhir namanya juga menandakan bahwa dia masih keturunan Rasulullah?!" Din menelan ludahnya dalam, napasnya tersendat. Ia membenci dirinya sendiri, membenci pikirannya. Jantungnya hampir saja terkoyak tidak terima.