Zayn telah sampai di Cafe Claudia.
“Hai Bro, akhirnya lo mau dateng juga!” seru Rendi teman yang sering mengajak Zayn nongkrong.
“Ada apa, sih? Maaf gue kemarin malem itu gak bisa nerima tawaran lo buat ke alun-alun.”
“Gak papa, sih. Btw, lo juga, udah banyak berubah. Udah makin jarang main sekarang.”
Zayn tidak menjawab, dia mengikuti langkah temannya menuju lokasi yang dituju.
“Wah, Bre… ini hiasan, banner, dan rame banget, mau buat apa?” Zayn mengamati ruangan cafe, yang tampaknya sudah di booking itu.
“Ayo kesini,” ajak Rendi.
Zayn tertegun melihat hampir semua anggota osis berada di sana, bahkan para yang alumni.
"Hai Dek! Ini temanmu, Ren?" seru kakak Rendi.
Mereka berdua bersitatap.
"Oh, kamu yang namanya Zayn, aku bukan anggota osis, sih. Jadi... maybe kamu asing sama aku, ya? Aku Somad, Abangnya Rendi," ujarnya, memperkenalkan diri.
Zayn menanggapinya dengan senyuman. Ia seperti sering melihat Somad sebelumnya. Tetapi, baru kali ini, dia jelas tahu namanya. Ia juga baru tahu bahwa Rendi yang bandel itu, punya abang sepolos Somad.
Zayn lantas menjabat tangan Somad, mengambil tempat duduk untuk ikut membantu mempersiapkan acara.
"Hay Zayn…" sapa Heera yang juga ada di sana.
"Lho, Ra? Kami juga di sini?" tanya Zayn semakin keherananan.
"Iya… semua anggota OSIS ada di sini, lihat?"
"Hallo Zayn…" sapa mereka bersamaan.
"Suwer aku gak ngerti, Ra. Ini ada apa, sih?"
"Udah, tho, ngikut aja, nantikan kamu tahu sendiri."
"Rendi, gimana? Udah dapet pengisi acaranya apa? Nyanyi atau siapa gitu?" tanya Somad pada Rendi.
"Gimana, Zayn? … gue kasih tugas itu ke dia, Bang?" Rendi menatap Zayn penuh tanya.
Zayn yang ditatap linglung.
"Oh! Penyanyi? Udah, udah kok. Udah ada, aku udah bilang sama Din, suruh kesini juga, nanti nyusulin," timpal Zayn.
"Oh, Din yang mau nyanyi? Emang sih, suara dia khas banget. Apalagi kalau nyanyi sholawat apa India," sahut Heera, di samping Zayn.
"Lho, kamu kok tahu?"
Heera berpikir sejenak, Zayn tidak tahu, bahwa akhir-akhir ini mantannya itu juga sedang dekat dengan Din.
Heera sudah lebih dulu mencari tahu banyak tentangnya.
"Tahulah, hehe…" Heera nyengir.
Padahal, yang aslinya tidak tahu adalah Heera, ia tidak tahu bahwa kedekatan Husain dan Din sudah berada lama diluar kepala Zayn.
"Sebenarnya ada apa, sih? Kok aku malah kayak jadi orang bodoh banget di sini. But, kayaknya mau ada kejutan besar, nih," pikir Zayn.
✧✧
"Terlambat. Sudah tidak ada waktu lagi Sein! Ah…. Gimana Ya Rabb? Jadi inilah petunjukmu? Baik, hamba terima. Siapapun dan bagaimanapun rencanamu, pasti itulah yang terbaik."
Husain melamun di kamarnya. Ia diperintahkan bersiap untuk pertunangan hari itu.
Jaket hitam seperti perpisahan itu, sudah melekat pada tubuhnya.
Siap atau tidak. Ia harus menerimanya sekarang. Karena, dia tidak dapat membuktikan atau membuat alibi apa pun lagi, untuk menolak Alawiyah; pertunangan itu.
Semua keluarganya pun pasti telah berkumpul sekarang. Husain sangat-sangat malu. Hatinya belum siap untuk diperintah berlapang dada menerima gadis itu.
"Tenang, Sein. Ini hanya tunangan, dan selesai. Oke…." Husain berusaha keluar kamar dengan tenang.
Di halaman pondoknya tampak sangat ramai. Di teras seluruh keluarga Husain juga sudah lengkap.
“Mengapa ada banyak sekali wanita? Bukankah ini hanya pertunangan? Siapa yang mengundang wanita-wanita itu?” pikir Husain.
Keluarga Kyai Sa’ad berbincang hangat dengan keluarga Husain.
Alawiyah tampak hadir dalam perkumpulan wanita-wanita itu.
“Itu pasti teman-temannya,” batin Husain.
“Kalian tahu engga, masak Abiku tadi bilang aku suruh cepet dinikahin aja, biar ada yang bimbing. Soalnya takut aku nyeleweng lagi katanya,” ucap Alawiyah, bercerita kepada teman-temannya.
“Ya, kamu memang begitu. Sekarang yakin, nih? Udah beneran taubat? Nanti tiba-tiba baper lagi, keluar grup kayak kemaren? Haha...” sindir temannya.
“INSYA ALLAH, Ukhty… saya sudah siap.…” Alawiyah menundukkan kepalanya, seperti setengah menjura, layaknya memberikan sebuah hormat pada lawan bicaranya.
Temannya mengikuti gerakannya, berdiri.
Semuanya tersenyum bahagia.