"Acara tadi akan disambung malam ini, dan Allah masih memperlakukan acara ini dengan lancar. Berarti benar. Sepertinya rumus ikhlas sudah seharusnya diterapkan," batin Husain yang telah duduk bersama keluarganya kembali.
Berbagai macam hidangan seharusnya membuat acara itu tampak membahagiakan. Meski, ia telah mengusahakannya sebaik mungkin, tetap hasilnya sama saja. Hatinya itu seakan telah pergi dari jiwanya sendiri.
Husain disodorkan sebuah cincin lengkap dengan wadahnya.
"Untuk apa?" tanyanya lirih.
"Ana tidak dapat menyentuh tangan yang bukan mahram ana, Buya," sambung Husain.
Kyai Amin dan semuanya mendengus senang, ia menjawab,
"Yang memasangkan bukan Husain, tetapi mahramnya Wiyah, Husain. Tugas Husain, hanya memberikannya saja," jelas Ayahnya.
Husain menghela napas lega.
"Boleh dimulai sekarang saja Buya?" tanyanya lagi. Ia hanya ingin segera usai. Itu saja.
"Silahkan…" Semua orang tampak sangat bergelora, tidak sabar menunggu acara inti itu.
Hati Husain justru dalam puncak kesenduannya.
Ia mendekati Kyai Sa'ad, dan Kyai Sa'ad tersenyum.
Segera saja, Husain ingin buru-buru memberikan cincin itu.
"Sebentar–" tahan Kyai Sa'ad.
"–Abi tidak mau kalian menikah, namun tidak saling mengenal. Abi tidak mau ada penyesalan yang nantinya akan timbul sebab pernikahan yang dilakukan.
Jadi, Abi mau, kalian saling ta'aruf lebih dulu, karena Abi juga tahu, kalian baru benar-benar bertemu lama hanya hari ini, bahkan belum pernah bertukar pembicaraan. Abi ingin kalian saling mengenal," jelas Kyai Sa'ad, saat menghentikan tangan Husain.
"Husain? Ada yang mau lebih dahulu ucapkan?"
"Atau mungkin Alawiyah?"
"Tidak ada Abi, Wiyah setelah Husain saja."
"Baik, Husain boleh memulai," pinta Kyai Sa'ad.
"Saya, Muhammad Nurin Husain Yusuf al-Hadad, anak ke 5 dari 5 bersaudara, dan beginilah pribadi saya, tidak ada yang membanggakan," papar Husain, merendah
Alawiyah menahan tawa.
"Husain banyak kekurangan juga. Dia sedang berusaha menyelesaikan hafalan Al-Qur'an nya bulan ini," tambah Kyai Amin.
"Saya Alawiyah Sa'adun Syihab. Putra Abi Sa'ad, anak pertama dari satu bersaudara, saya sudah pernah hafidz Al-Qur'an. Alhamdulillah, sudah mengkhatamkan banyak kitab-kitab juga," papar Alawiyah, bergantian.
"Ya. Alawiyah juga banyak kekurangan. Saya ingin jujur saja, Alawiyah belum lama dapat istiqomah berhijrah. Masa lalu yang buruk tidak perlu dibahas. Yang terpenting, sekarang, Wiyah juga masih agak pemalas, dan jorok. Hehe…" sambung Kyai Sa'ad lirih, dengan nada bicara yang tidak begitu serius.
"Ya Allah… apakah itu benar? Apa pun. Semoga saya dapat mengubah Alawiyah jika dia benar-benar telah menjadi istri saya. Aamiin," batin Husain.
"Ih, Abi apaan sih, kenapa harus beneran disebutkan aib-aib aku?! Awas aja kalau sampai aku gagal nikah sama Husain!" sungut Alawiyah dalam hati.
“Bi, tadi Husain bilang apa? Eh maksudku Kak Husain, dia belum hafidz, Bi? bisik Alawiyah pada Ayahnya.
"Kenapa? Tidak apa-apa Alawiyah. Memangnya kenapa jika belum?"
"Hehe gak papa sih, masalahnya Wiyah, kan, sudah." Wiyah cengengesan.
Ucapan itu terdengar, masuk pada telinga Husain. Ia tidak senang diucap demikian.
Ia hanya berpikir, apakah akhlak Wiyah telah mencerminkan orang-orang yang memuliakan Al-Qur'an dengan hafalannya? Apakah ilmu mengaji kitabnya sudah bermanfaat? Mengapa dia begitu sombong?
"Sekali lagi, jika aku dapat mengatakan. Aku masih tidak menyukainya," batinnnya.
"Saya memang belum. Tetapi, tidak apa, jangan khawatir, wahai Wiyah, saya hanya tinggal 2 surat terakhir, kok, juz 29. Sebelum bulan ini selesai, saya yakin sudah dapat memastikan bahwa akan menyelesaikannya," sahut Husain
"Oh, syukurlah…"
"Sudah- sudah jangan berdebat. Kalian semua sama-sama orang hebat. Jadi jangan begitu, hehe…." ucap Kyai Sa'ad berusaha mencairkan suasana.
"O iya, Husain. Inikan hanya perjodohan. Setelah ini, kalian masih boleh melanjutkan harapan, mimpi dan cita-cita kalian yang belum terwujud. Apa rencana Husain setelah ini?"
"Eum… kalau Wiyah, mah, cuma mau jadi wanita yang baik aja, Abi. Mau melanjutkan sekolah, untuk apa ya, kan? Sekolah tinggi itu bukan kewajiban seorang wanita.
Karena, ya wanita itu wajibnya mendidik anaknya dirumah. Wanita yang baik itu yang tidak selalu keluar rumah. Bahkan, jika ada seorang wanita yang keluar rumah tanpa izin suaminya itu sama saja membangunkan satu gedung di neraka, kan? Buat suaminya. Nah, Wiyah gak mau jadi istri yang malah bangunin gedung terus-terusan buat Husain. Hehe…." Alawiyah menyerobot pertanyaan.
Semuanya orang yang mendengarkan jawaban Alawiyah, tersenyum. Menurut mereka itu romantis, tetapi, tidak dengan Husain. Ia sangat tidak setuju akan pendapat Alawiyah. Apa yang ia katakan itu, semuanya bertentangan dengan apa yang Husain pikirkan.
Menjadi seorang ibu memang tidak memiliki pendidikan? Lantas bagaimana dia dapat mendidik anak-anaknya kelak?
Pendidikan agama memanglah penting. Tetapi, akan lebih baik lagi, jika mampu menyelaraskan keduanya.
"Nah, Husain sendiri bagaimana? apa yang akan Husain lakukan setelah ini?"
"Atau mungkin Wiyah mau kuliah, Bi. Bagaimana kalau kita kuliah bareng di Malang?" ajak Alawiyah.
Husain terdiam beberapa saat, hinga Kyai Sa’ad menanyakannya ulang, baru ia menjawabnya,
Husain tersenyum, "Wiyah ini gadis yang sangat baik. Tetapi maaf, saya belum tau mau kemana. Saya harus memikirkan setiap keputusan yang saya ambil itu baik-baik. Bahkan untuk acara hari ini sekalipun."
"Jadi bagaimana?"
"Belum, belum ada."
"Husain, kan laki, yah, laki tuh, harusnya bisa buat keputusan. Laki kok labil, nanti bagaimana coba? Hahahaha…" Alawiyah kembali tertawa keras.
Tidak ada yang ikut tertawa dalam cekikikannya kali ini. Hanya Alawiyah sendiri.
Ya! Seketika semua keluarga mengerti, bagaimana sikap Alawiyah yang dapat dinilai dari kualitas bicaranya.
Kyai Amin ikut terkejut, hatinya bergejolak, tiba-tiba ia merasa bersalah kepada putranya itu. Sekarang, nasi telah menjadi bubur. Berseberangan dari tempat duduk mereka, sudah ada lengkap keluarga Kyai Sa'ad.
"Wiyah, jaga ucapanmu!" seru Kyai Sa'ad yang menyadari kesalahan putrinya.
"Tidak apa, Sa'ad," timpal Kyai Amin ikut bicara.
"Husain?" Ibunya memanggil, berusaha menenangkan. Ia sangat paham sikap anaknya itu. Ia sangat mengerti apa yang Husain sukai atau benci.