Acara di rumah Husain hancur berantakan. Semuanya telah pulang, Kyai Amin bersama Ummi Saha kembali ke dalam ruangan rumahnya yang kini telah sepi.
"Apakah Abi yang manusia ini tidak boleh salah Ummi? Abi tidak mungkin selalunya benar, kan?" tanya Kyai Amin lesu.
"Tidak Abi, Abi jangan menangis. Kesalahan itu tidak apa, yang tidak boleh itu adalah, tidak mau mengakui bahwa kita salah."
"Tapi, Ummi! Abi secara tidak langsung tidak mau mengakui bahwa Abi telah salah. Abi sudah memaksa Husain untuk bertunangan dengan gadis yang tidak dia sukai." Kyai Amin mengkupkan tangannya pada muka.
"Abi… . sudahlah. Semuanya masih dapat diperbaiki," ucap Ummi Saha, menenangkan, memegangi bahu suaminya itu.
"Abi tidak tahu, Ummi. Sesungguhnya benar, hanya Allah-lah yang maha tahu. Abi adalah manusia rendahan yang tidak tahu apa-apa, Mengapa Abi harus sok tahu di hadapan Husain?" Kyai Amin menunduk dalam, sakan menahan gejolak sakitnya.
"Abi…"
"Apakah Ummi tahu? Bahwa tadi, Farhan berkata kepada Abi…"
Kyai Sa'ad membayangkan kembali kejadian saat Farhan berlari ngos-ngosan menghampirinya, tadi.
"Ya Farhan, ada apa?" tanyanya kala itu.
"Itu Yai... eum.. punten ya, Yai, jangan keluarkan saya gara-gara hal ini…"
"Bicara yang benar…"
"Jadi begini Yai... ma-maaf sekali…" Farhan masih tampak gugup.
"Ada apa?"
"Yai, saya baru dapat info. Kali ini Aya yakin Insya Allah akuarat. Langsung dari sumbernya. Ceritanya panjang Yai. Tapi, intinya, waktu saya bertanya mengapa sikap kakaknya Din—Lisya, dan Din sangat berbeda, ternyata sebabnya adalah, Lisya itu bukan saudara kandung Din, Yai.
Lisya adalah anak angkat yang ibu Din asuh sejak bayi. Ya, benar, Lisya dan Din memang tinggal bersama sejak lama. Karena kesalahpahamannya dia bekerja di luar negeri dan pulang dalam keadaan hamil. Itu semua bukan salah Din atau keluarganya Yai. Itu salah kakak Din sendiri."
Kyai Amin mendelik, ia menelan ludah berat. Tidak menyangka jika akan menjadi serumit ini.
"Kok bisa kamu salah informasi?" serunya agak berang.
"Afwan, Yai, saya tidak tahu. Saya baru tahu dan ingin langsung mengatakannya pada panjenengan…"
"Sudahlah! Tidak apa, percuma saya mau marah juga. Sudah-udah antum boleh pergi."
"Afwan ya, Yai…"
"Sudahlah…"
Farhan angkat kaki, ia sangat menyesali kesalahannya dan kembali bersama teman-temannya. Ia takut hanya akan tambah memperkeruh suasana hati gurunya itu, jika terlalu lama berada di sana.
✧
Ummi saha, tersentak, "Astagfirullah… Abi? Berarti?"
"Iya Ummi… Din dan keluarganya, meski bukan ahli agama. Kita telah salah menilai Ummi. Eh bukan kita, tetapi Abi saja. Abi telah salah menilainya Ummi. Keluarga Din tida tercemar. Jika itu hanya kakak angkatnya saja. Dia tidak akan mempengaruhi apa pun dalam silsilah keluarga Din."
"Abi benar. Gadis itu juga tampak sangat ingin merubah keluarganya, menjadi yang lebih baik. Dia anak yang baik, sopan dan cantik," tambah Ummi Saha.
"Ummi... Abi telah berdosa. Husain kemana sekarang?"
"Tidak tahu Abi, Husain keluar pakai motor, kelihatan sangat terburu-buru tadi, setelah menerima telepon itu," jawab Ummi Saha.
"Abi ingin bicara padanya Ummi…."
"Ummi juga tahu Abi. Kita akan menjelaskan pada Husain nanti, kita akan bicarakan padanya baik-baik. Husain pasti mengerti.
Abi? Bukankah lebih baik, kita sholat dahulu, kita mohon ampun pada Allah atas kesalahan kita hari ini?"
"Ummi benar. Semoga Husain juga tidak bertindak gegabah dalam kondisi marahnya di jalanan," doa Kyai Amin.
"Alawiyah katanya juga mengikuti Husain Abi…"
"Dia?"
"Entahlah, Ummi hanya dapat berdoa, semoga Allah juga merencanakan yang terbaik untuk Husainku."
"Aamiin… tsumma Aamiin Ummi, Ya mujibassailin. Mari Ummi…." ajak Kyai Amin. Mereka Sholat bersama.
✧✧
"Oh Ya robb… jika hamba banyak bersalah kepadamu, maafkanlah hamba. Hamba harus sebegitu buruk terhadap orang-orang di sekitar hamba.
Setelah ayah hamba, menjadi anak durhaka dan su'ul adab. Sekarang hamba harus bagaimana? Apakah Din benar-benar kecelakaan? Semoga lukanya tidak parah, kasian dia ..."
Husain menambah kecepatan motornya.
"Hamba tidak salah, kan, Ya Robb?....
Kata Nabi, wanita itu dinikahi dengan empat alasan. Yakni, kecantikannya, hartanya, keluarga, dan dari agamanya.
Nah, hamba tahu bagaimana. Bahwa pilihan terakhir inilah yang membuat hamba melakukan itu. Pilihan terakhir inilah yang paling penting kata Nabi.
Apakah saya harus sependapat dengan orang-orang yang selalu mengatakan dan mengartikan bahwa wanita yang beragama itu selalu dinilai berdasarkan keluarganya, marganya, cara berpakaiannya, cara ibadah spritualnya, dan lainnya.
Apakah hamba harus seperti itu? Atau menanggalkan bahwa bagi hamba wanita beragama itu tidak mesti begitu, karena yang begitu juga bisa jadi hakikatnya pribadinya kurang beragama.