Husain berdiri tepat di hadapan Din.
"Kenapa? Kenapa kakak gagalkan rencananya?"
"Karena aku…"
"Jangan bilang kakak menyukaiku."
"Kau yang menyukaiku…."
"Aku tidak menyukai kakak."
"Kau sendiri yang mengatakan padaku saat–"
"Malam itu? Ya malam itu aku berbohong! Sudah? Atau kakak masih belum percaya? Kakak tahu kebiasaan ku, kan? Semua orang, teman-teman, bahkan warga sekolah tahu, itu adalah hal lumrah yang aku lakukan. Mem-bucin pada siapapun."
Air mata Din menetes satu, tanpa nada, mengalir. Mendahului aliran itu, Din menghapusnya.
Husain terdiam. Semuanya juga terdiam.
"Aku? Aku adalah wanita munafik! Aku? Aku adalah pendusta dan pembohong terbesar dalam senyumku?! Aku? Kalian masih tidak mengerti aku? Ah! Percuma! manusia tidak akan memberikan apa pun selain kata-kata."
"Aku tahu Din. Aku tahu semua masalahmu, aku sudah membaca cerita karanganmu."
"Itu novel, Kak, novel itu hanya fiksi."
"Kau wanita yang baik Din."
Din menggeleng, "–Tidak kak, aku tidak sebaik dan se-alim yang kalian semua kira. Aku adalah wanita tidak tahu diri, tidak tahu malu. Seharusnya aku sadar diri. Dan ya… ingat, Kakak dan aku berbeda."
"Din?"
"Aku sangat membencimu, Kak Husain, sangat dan sangat membencimu. Puas?" senyumnya sakit.
"Aku juga membencimu, Din! Bila cinta tidak mampu menyatukan kita. Maka biarkan saja kita saling membenci. Siapa tahu kita dapat menyatu lewat kebencian itu. Ya! Biarkan saja dia yang menyatukan kita."
"Tidak! Aku bilang stop mencintaiku, Kak!" pekik Din.
"Kau juga! Berhenti mencintaiku!"
"Ya! Syukurlah!"
"Kenapa?"
"Alhamdulillah, kau memintaku berhenti, sebab, Aku juga sudah punya kekasih! Kakak terkejut? Ya!
Dia adalah orang yang selalu ada untukku. Tidak ada yang seperti dia. Wajah, dan akhlaknya sempurna, dia yang selalu menemani malamku jikalau kembali berubah bak pisau menyayat-nyayat tubuhku.
Dia yang akan menolongku, meskilun dia juga tahu, namaku ini hanya Din yang bukan ahli surga.
Dia tidak pernah memikirkan hal itu. Meski aku hina dan dibenci seluruh dunia! Dia ti-tidak pernah ..." Din membuang napas kasar. Ia hampir tidak mampu menjelaskannya.
"Siapa?"
"Dia! Yaa…. Tidak ada yang tahu.… Dia selalu ada dalam setiap detik duka maupun sukaku, pun setiap kosongnya pikiranku. Sosok yang tidak sebanding dengan kakak. Dan tidak akan pernah!!"
"Bagus. Sudah ku duga kau akan mengatakan itu…. Alasanmu tidak logis, Din, jika hanya gara-gara itu kau berbohong padaku."
"Aku punya alasan, Kak Sain.”
"Apa?"
"Lupakan!"
"Apa Din! Katakan!"
"Katakan!" desak Husain.
"–SEBAB AKU LEBIH MENCINTAI RASULULLAH DIBANDING DIRIMU!!!"
Gemuruh guntur terdengar kejam.
"Ya! Aku lebih mencintainya! Dia adalah kekasihku! Mengapa? Kakak ingin cemburu?! Maka cemburulah!
Kenapa? Kakak ingin membenciku? Maka bencilah!" Din melenggang pergi dengan tangisannya yang sudah tidak dapat tertahankan.
Hujan datang menyiram semua orang yang ada di sana. semuanya berteduh.
Tidak termasuk Husain dan Din, mereka masih rela kehujanan pada malam itu.
Din melenggang pulang dalam keadaan hujan lebat.
"Maafkan aku, Kak Sain. Seperti yang orang-orang katakan, 'saat wanita mengatakan benci, sebenarnya itu adalah rasa cinta yang paling dalam dan tidak dapat terungkapkan'.
Tetapi, aku tidak bisa. Maafkan, aku.... Itu juga telah menjadi kewajibanku untuk menjaga nasab Rasulullah. Sebenarnya tidak sewajib dan serumit itu. Namun, aku yakin, cinta pasti akan lupa saat sudah tidak lagi terbiasa. Semuanya hanya tentang waktu.
Seseorang akan lebih mudah beralih dan berpindah. Aku yakin ketika kita berjodoh, kita pasti akan dipertemukan lagi suatu saat nanti.
... Ya, suatu saat nanti."
Husain tidak akan mengejar Din. Kata-kata terakhir yang diucapkannya sebelum pergi, membuat Husain merasa lebih hina dibanding dirinya sendiri.
Bagaimana ia dapat berpikir lain tadi? Kekasih? Din jelas tidak akan sempat memikirkan semua itu.