Percakapan sore itu berlangsung di sudut Starbucks cabang Grand Indonesia. Firman memesan Americano panas, Gideon menyesap es kopi susu favoritnya, dan Greyzia memilih hot chocolate. Tiga gelas tersusun rapi di meja kayu yang mulai terasa hangat oleh sinar matahari sore yang menyeruak dari jendela besar.
Di luar, awan menggantung rendah. Cuaca serasa mendung, tapi bukan oleh hujan. Obrolan Firman, Greyzia, dan Gideon, itulah mungkin penyebabnya.
"Aku kadang nggak tahu harus mulai dari mana," ucap Firman, tangannya menggulung-gulung sachet gula kosong. “Bicara soal Israel-Palestina tuh kayak masuk ke sumur tanpa dasar. Banyak suara, tapi nggak tahu siapa yang bener.”
Gideon mengangguk, lalu berkata pelan, “Tapi kan bukan berarti kita diem aja, Man. Diam juga sikap politik. Diam bisa jadi bentuk ketidakpedulian.”
Greyzia mengangguk. "Dan, mungkin yang kita bisa lakukan saat ini cuma memperluas empati kita."
Firman tersenyum tipis. Ia sekonyong-konyong teringat kejadian Jumat Agung 2024 lalu, di gereja. Ia bahkan bisa mencium kembali aroma bunga sakura yang ia genggam saat itu, dan rasa getir di dada saat melihat Greyzia dan Gideon tertawa bersama. Di mata Firman, mereka terlalu dekat, terlalu nyaman. Firman begitu cemburu. Siapa yang tidak cemburu, saat kekasihnya terlihat sedang bermesraan dengan laki-laki lain. Apalagi laki-laki itu sahabatnya.
“Siapa melakukan zinah dengan perempuan, tidak berakal budi; orang yang berbuat demikian merusak diri,” bunyi Amsal 6:32 berputar-putar di benaknya. Ayat itu membungkus kecemburuan dengan lapisan rohani, tapi tetap saja itu tidak bisa menambal hati Firman yang sudah retak. Retak karena orang-orang yang ia percaya paling dalam terlibat dalam momen yang tidak seharusnya terjadi.
Namun, hari ini, semua terasa lebih ringan. Mungkin karena waktu. Atau mungkin karena ia sudah memilih untuk melepaskan dendam, sebagaimana Yesus telah lebih dulu mengampuni.
“Gue udah nggak dendam lagi, Bro,” ucap Firman akhirnya, memecah jeda. “Gue tahu lu orangnya suka bercanda. Tapi waktu itu, candaan lu kelewatan. Dan gue... yah, gue terluka.”
Gideon menunduk. Sisa es dalam kopinya bergoyang saat tangannya sedikit gemetar.
“Aku tahu. Dan aku menyesal, Man,” katanya pelan. “Sejak saat itu aku jaga jarak sama Greyzia. Bukan karena nggak mau ngobrol, tapi karena tahu batasan. Greyzia itu sudah punya pacar. Pacarnya sahabat gue. Dan, gue mau lu percaya lagi sama gue. Anyway, gue juga berterima kasih karena hari ini lu masih mau ajak ngobrol gue.”
Greyzia hanya menatap keduanya bergantian, lalu berkata, “Kalau aku boleh jujur, waktu itu aku juga ngerasa bersalah. Aku ngerasa udah biarkan momen itu terjadi. Tapi aku sayangnya sama Bang Firman doang. Dari dulu sampai sekarang. Semoga Kak Gideon bisa ketemu jodohnya."
Firman mengangguk pelan. “Aku tahu, Zia. Makanya aku nggak mau terjebak dalam masa lalu terus. Kita punya hari ini--juga masa depan. Dan kita bisa jadi bagian dari sesuatu yang lebih besar yang sudah Tuhan persiapkan buat kita."
Percakapan mereka lalu mengalir ke topik yang lebih luas.