Yabes

Nuel Lubis
Chapter #47

Chapter 46: Yang Sudah Memikirkan Punya Anak

Studio XXI Teraskota mulai gelap. Layar lebar menampilkan logo studio animasi ternama. Suara anak-anak tertawa. Beberapa pasangan muda berbagi jagung berondong. Di kursi tengah, dua sosok dewasa terlihat menyatu dalam hening. Mereka adalah Firman Tambunan dan Greyzia Gunawan. Pasangan dengan beda usia cukup jauh. Tak hanya usia, tapi juga secara, maaf, kesenjangan sosial.

Mereka memilih film animasi—bukan karena alurnya luar biasa, tapi karena keduanya sedang ingin sesuatu yang ringan. Setelah minggu-minggu melelahkan dengan berita seputar Gaza, diskusi tentang Israel-Palestina, dan pergulatan batin soal iman, yang belum lagi desakan dari keluarga masing-masing tentang kapan mereka menikah, mereka memilih tertawa bersama, walau hanya dalam ruang gelap studio bioskop. Yang untuk sementara waktu ini.

Firman memalingkan kepala sedikit, melihat Greyzia tersenyum saat tokoh anak laki-laki memegang teman perempuannya yang ternyata sudah berbentuk roh. Di layar, bagi Greyzia, anak laki-laki itu terlihat lucu sekali. Greyzia ngakak. Firman menyadari, dalam gelap, senyum Greyzia terlihat seperti nyala lilin kecil, tapi menghangatkan. Tidak perlu menunggu malam Natal. Sekarang saja bisa melihat gemerlap lilin.

Usai film, mereka melangkah keluar.

"Lucu juga film tadi," kata Firman sambil merenggangkan tubuh.

Greyzia mengangguk, "Yang nge-review di internet, pada jujur-jujur. Aku nggak salah pilih, kan. Dari trailer-nya aja, udah bagus banget. Nggak heran, yang katanya, film ini merupakan karya anak bangsa yang wajib tonton."

"Makan, yok, Zia. Aku lapar banget," ujar Firman dengan semangat. Firman sepertinya ogah membenarkan secara langsung opininya Greyzia.

Greyzia tertawa kecil. "Fast food lagi?"

Firman menyeringai. "Ayam goreng, Zia. Yang kulitnya kriuk banget itu. Burger di sana juga enak banget. Apalagi yang rasa keju. Beuh, kamu harus nyobain, Zia!"

Greyzia mengernyit. "Ah, Bang. Aku tuh makin ke sini makin mikir, makanan cepat saji itu kayak makanan yang bikin kita penuh dosa. Lemaknya banyak, MSG bikin tubuh kita terancam dalam bahaya. Nggak bagus banget buat tubuh. Padahal Tuhan pengin kita rawat sebaik-baiknya tubuh pemberian-Nya."

Firman mengangkat tangan, pura-pura menyerah. “Oke, oke. Jadi kita mau makan apa?”

Greyzia menoleh ke arah luar mall. "Di dekat pintu keluar mal, tadi aku lihat ada tukang nasi goreng. Di sebelah Teraskota, sih. Deket minimarket. Yang gerobaknya biru. Kamu lihat nggak waktu kita masuk tadi?"

Firman berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Yang deket minimarket itu?”

"Mending itu, Bang. Lebih murah, enak, sehat, dan kita bisa romantisan gitu. Udah lama banget aku pengin makan berdua bareng kamu, meski cuma makan di pinggir jalan. Di pinggir jalan juga nggak apa-apa sih sebetulnya. Lebih romantis gitu, kan."

Firman tertawa. “Nasi goreng pake mentega sama sosis kaleng itu sehat? Eh, tapi yang soal romantis itu rada bener kamu, Zia. Sambil makan, sambil pegangan tangan, sambil suap-suapan."

“Dih, genit kamu, ah!" tukas Greyzia, geli sendiri dengan ulah pacarnya. "Dan, seenggaknya, sepiring nasi goreng nggak mengandung dosa kapitalisme modern!"

Di pinggir jalan, suara angin dan motor-motor bersahutan. Mereka duduk di bangku plastik kecil, di depan gerobak biru. Di belakang gerobak, tampak api kompor menyala, dan aroma nasi goreng yang sedang ditumis menyusup ke hidung.

“Dua, Bang. Satu pake acar, tapi yang banyak!” kata Greyzia.

Greyzia, sejak kecil, sudah terbiasa makan sayur-sayuran. Apa pun makanannya, harus selalu ada sayur mayur. Entah itu bayam, kangkung, sawi, acar, dan... salad merupakan kesukaan Greyzia. Terutama salad buah dengan topping mayonnaise.

“Yang satunya pedes banget ya, Bang,” tambah Firman.

Lihat selengkapnya