Yabes

Nuel Lubis
Chapter #48

Chapter 47: Bertemu Editor Mentari Sorgawi

Di sebuah sudut lantai lima Grand Indonesia, Firman Tambunan dan Greyzia Gunawan berjalan beriringan melewati toko-toko bermerek yang lampunya gemerlapan. Mereka tak banyak bicara. Ada ketenangan dalam kebersamaan mereka. Itu benar-benar jenis keheningan yang justru menandakan kedekatan yang mendalam. Firman membawa tas ransel berisi draft naskah renungan yang akan ia diskusikan bersama Pendeta Andrey Montolulu, salah seorang pendeta di gerejanya. Andrey ini memiliki kenalan yang seorang editor di penerbitan Mentari Sorgawi, sebuah renungan harian Kristen.

Greyzia sesekali melirik ke arah Firman. "Deg-degan, Bang?" tanyanya sambil mengangkat alis.

Firman menghela napas. "Nggak juga. Tapi agak bingung aku, Zia. Ini pertama kalinya aku nulis renungan yang bakal dibaca ribuan orang. Harus bijak, kan?"

"Harus tulus, bukan hanya bijak," jawab Greyzia lembut. "Renungan itu bukan debat. Tapi ajakan pulang ke Tuhan."

Mereka pun sampai di Hoshino Coffee, tempat janji temu. Di sana sudah menunggu Pendeta Andrey, lelaki yang hampir sebaya dengan Firman, berperawakan ramping dengan klimis dan suara yang lembut tapi agak berat. Ia menyambut mereka dengan senyum lebar. Ia sudah bersama seseorang

"Shalom, Firman, Greyzia!" seru Andrey Montolulu. "Nah, ini nih yang aku kenalkan ke kalian. Dia editor Mentari Sorgawi. Namanya Freddy. Dulunya teman SMA aku.

Firman menjabat tangan sang editor. "Firman."

"Freddy."

Mereka semua langsung duduk. Tak lupa, mereka memesan terlebih dahulu. Setelah menyebutkan pesanan ke pelayan, barulah Firman menyerahkan draft tulisannya ke Freddy.

"Oke, ini saya baca dulu," ucap Freddy yang mulai membaca sambil sesekali menyeruput es teh manis.

Sembari membaca, Freddy mulai membuka obrolan. Yang dimulai dengan membahas konten renungan yang Firman tulis. Firman menulis tentang kisah Yusuf di penjara dan bagaimana Tuhan memakainya untuk menyelamatkan banyak orang. Namun, pembicaraan dengan cepat melebar ke isu-isu global yang sedang hangat.

"Firman," ujar Andrey, menyesap kopinya, "aku juga sama tertariknya dengan Fred ini. Tertarik ketika kamu mengutip Mazmur 122:6, yang berbunyi, ‘Berdoalah untuk damai Yerusalem’. Tapi, ada yang menuduh ayat itu hanya dipakai untuk membenarkan pembelaan buta terhadap Israel. Bagaimana tanggapanmu, Firman?"

Firman tersenyum tipis. "Saya percaya Israel adalah bagian penting dari sejarah keselamatan, tapi saya juga percaya bahwa keadilan Tuhan itu universal. Berdoa untuk Yerusalem tidak berarti membenarkan penindasan terhadap Palestina. Kita harus bisa mencintai kebenaran lebih dari ideologi."

Greyzia menimpali, "Aku pribadi tidak paham politik, tapi menyalahkan satu pihak dan memaafkan yang lain sepenuhnya tanpa melihat konteks, itu nggak adil. Apalagi jika dibumbui semangat kebencian agama."

Freddy mengangguk, tersenyum lebar--juga memberikan acungan jempol. "Kalian berdua punya cara pandang yang sehat. Gereja hari-hari ini perlu orang muda macam kalian. Yang mau berpikir, merenung, dan berdialog."

Kemudian Andrey bercerita tentang konklaf di Vatikan, tentang betapa menariknya dinamika pemilihan Paus dalam dunia Katolik. Firman mengaku sering penasaran. "Seandainya gereja Protestan punya sistem sekompleks itu, mungkin akan lebih terorganisir, tapi juga bisa lebih politis," candanya.

"Atau lebih berantakan," timpal Greyzia sambil tersenyum geli. "Kadang suka kesal dengan satu-dua gereja yang ngotot soal teologi kemakmuran."

Freddy tertawa. "Hahaha... saya juga agak senewen soal satu gereja yang persembahannya banyak betul. Macam organisasi nirlaba saja. Perasaan organisasi nirlaba juga tidak menarik untung yang bagaimana."

Lihat selengkapnya