Lapo Yabes malam itu ramai. Asap tipis dari panggangan daging babi menyatu dengan aroma rempah-rempah khas Batak yang menguar dari dapur. Firman duduk di pojok ruangan bersama tiga pendeta: Pendeta Eddie Tjandra, Evangelis Andrey Montolulu, dan Pendeta Binsar Simatupang. Sebelum ibadah minggu dimulai, ketiga Pendeta itu memutuskan untuk berkunjung dulu ke lapo milik keluarga Tambunan untuk makan malam sambil bersantai. Di dapur, Bu Tiur, ibu Firman, sibuk mengatur porsi sambil sesekali menyapa tamu. Kakak sepupu Firman, Ester, melayani meja sambil memantau dapur.
“Andrey, jangan lagi kau bicara ngawur seperti tadi soal nikah-nikahan itu,” celetuk Eddie, sambil tertawa lepas.
“Eh, tapi, Pak, Firman kan memang lagi serius sama Greyzia?” sahut Binsar dengan nada menggoda.
Firman tersenyum malu, menyeruput teh manisnya. “Iya, tapi bukan berarti aku siap dinikahkan pagi ini juga, Ndrey.”
Andrey mengangkat gelas sopi kecilnya. “Cuma gurauan rohani, Bro. Tapi kalau Tuhan memang sudah tunjukkan, masa harus ditolak?”
Topik pun beralih ke sesuatu yang jauh lebih besar: pemilihan Paus baru. “Saya masih nggak percaya Paus bisa terpilih di tengah situasi Gereja yang seperti ini,” ujar Eddie.
“Maksud kau, situasi yang penuh tekanan modern? Teologi digoyang, budaya dikompromikan?” tanya Binsar dengan logat Batak kental.
“Ya. Lihat saja dunia sekarang. Ada krisis kepercayaan terhadap institusi. Tapi kelihatannya Paus baru ini punya gaya berbeda. Lebih vokal soal lingkungan, keadilan sosial, bahkan pernah kritik sistem kapitalisme secara terang-terangan.”
Firman menimpali, “Mungkin karena zaman ini butuh Paus yang lebih profetik, Amang. Yang bukan cuma seremonial. Kita butuh suara kenabian, kelihatannya."
"Asik gayamu sekarang, Bro Firman," Andrey terkekeh-kekeh, minum teh tawar.
Pak Eddie Tjandra menimpali, “Kalau Kristus datang hari ini, Dia mungkin tidak memilih duduk di istana Vatikan, tapi bersama para buruh migran, orang buangan, hingga anak-anak yang ditolak sistem. Injil itu keberpihakan, bukan sekadar liturgi.”
Di tengah percakapan itu, terdengar tawa kecil dari dapur. Bu Tiur sedang bercanda dengan salah satu pelanggan langganan. Tapi sesekali ia mencuri pandang ke arah Firman dan rombongannya. Hatinya diam-diam senang melihat anaknya bertumbuh dalam iman, yang dikelilingi pemimpin-pemimpin rohani juga.
*****
Sementara itu, di ruang ibadah gereja, suasana jauh lebih tenang. Greyzia duduk di bangku tengah bersama Christy, temannya dari tim pemuridan. Layar LCD besar di depan sedang menampilkan kutipan dari sebuah akun Instagram rohani yang cukup dikenal: "Injil yang tidak dihidupi akan membuat kita cenderung munafik serta berkompromi terhadap kelurusan Injil."
Christy menghela napas. “Kalimat itu bikin aku mikir. Betapa gampangnya kita jadi aktif di pelayanan, tapi hati kita malah beku.”