Yabes

Nuel Lubis
Chapter #51

Chapter 50: Obrolan Para Wanita

Foodcourt AEON Mall BSD siang itu ramai, dipenuhi oleh tawa anak-anak, suara piring dan sendok yang saling beradu, dan alunan lagu pop yang pelan terdengar dari pengeras suara. Di sudut dekat jendela, empat perempuan duduk melingkar di sebuah meja yang agak besar. Meja mereka penuh dengan makanan. Ada sushi, ramen, ayam goreng, hingga jus semangka dan es kopi susu. Namun yang paling ramai bukanlah meja mereka, melainkan obrolan mereka.

“Aduh, deh, Zia, dari tadi kita bahas sejarah, politik, tambang emas, sampai Israel-Palestina. Berasa lagi ikut acara debat politik di tivi aja. Padahal awalnya cuma nemenin teman kamu belanja kebutuhan bayinya,” canda Christy sambil mengaduk Thai tea-nya.

Nina tertawa sambil mengelus perut hamilnya yang mulai membesar. “Eh, tapi serius, aku baru tahu lho kalo gas alam Arun di Aceh itu dulu salah satu yang terbesar di dunia. Kata suami aku, si Bram yang hobi banget bahas beginian, kasus di sana malah jadi akar konflik selama puluhan tahun.”

“Padahal kita selalu diajarin di sekolah soal pentingnya pembangunan, tapi jarang ada yang bahas gimana pembangunan itu timpang,” sahut Indira sambil menyeka mulutnya dengan tisu. “Bayangin aja, uang dari Aceh dipakai buat bangun tol di Jawa, sementara di Aceh malah lahir gerakan separatis.”

Greyzia yang dari tadi lebih banyak mendengarkan, akhirnya angkat suara. “Dan yang bikin ironis, itu semua karena tekanan dari negara asing, terutama Amerika. Setelah Soekarno lengser, Soeharto langsung kasih Freeport di Papua dan ExxonMobil di Aceh. Kontraknya gila-gilaan.”

Christy mengangguk pelan. “Dulu waktu masih aktif jadi guru sekolah minggu, aku sempat debat sama salah satu orang tua murid gara-gara bahasan begini. Mereka bilang politik itu urusan dunia, gereja nggak boleh ikut campur. Itu salah satu alasan aku keluar dari sekolah minggu, Zia. Ngindar ketemu ibu-ibu kayak gitu."

“Tapi kan, kalau iman kita nggak menyentuh realita sosial, lalu gunanya buat apa?” potong Greyzia cepat. “Yesus aja marah waktu lihat bait Allah dipakai buat jualan.”

Nina menyeringai. “Wah, Zia sudah mulai berapi-api. Dulu kamu nggak segini vokalnya waktu kita masih SMA.”

Indira berdeham. "Mungkin gara-gara ayangnya, nih, yeee..."

Greyzia tertawa kecil. “Apaan sih, sebetulnya aku juga udah suka berpikir kritis, tapi lebih berani di diary aja. Kadang masih takut dicap sok tahu. Tapi makin ke sini, yah amu harus akui, ada campur tangan Bang Firman juga, dan aku sadar, perempuan juga punya ruang bersuara. Termasuk soal hal-hal yang selama ini dikira terlalu berat buat kita.”

Indira meletakkan sumpitnya dan mencondongkan badan. “Ngomong-ngomong soal Freeport, aku baca kalo sejak zaman Belanda, kandungan emas di Papua itu udah diketahui. Tahun 1936, Geolog Belanda nemu Ertsberg. Terus, ya udah, jadi incaran banyak negara. Sayangnya Soekarno bahkan nggak tahu potensi itu.”

Indira yang sebelumnya lebih suka berbicara dengan bahasa lu-gue, karena diimpit wanita-wanita yang sehari-harinya lebih suka menggunakan aku-kamu, mendadak menggunakan gaya bahasa aku-kamu. Yah, meskipun itu terdengar kaku.

“Makanya banyak yang bilang, CIA main peran gede dalam melengserkan Soekarno,” timpal Christy. “Amerika kecewa karena Soekarno nggak mau serahkan tambang ke asing. Sementara Soeharto dengan senang hati buka pintu.”

Lihat selengkapnya