Firman melirik jam tangannya. Sudah lewat lima belas menit dari janji awal, tapi wajar saja. Ini bukan temu bisnis atau janji formal, hanya pertemuan empat sahabat lamanya di restoran bakmi favorit mereka di Teraskota. Tempat yang seolah tak pernah berubah, masih dari bangku kayu, lampu kuning remang-remang, sampai wangi kaldu ayam yang menyeruak setiap kali pintu dapur terbuka.
"Firman, Bro!" suara lantang Aceng memecah keheningan. Sosok berkemeja flanel itu langsung merangkul Firman dari belakang.
"Lo masih hidup, Ceng?!" Firman tertawa, memukul pelan punggungnya.
Tak lama, menyusul David dan Mario, dan terakhir Wilkie dengan senyuman malasnya yang khas. Mereka semua sudah bekerja kini, dengan kehidupan yang sibuk dan opini yang semakin keras. Namun, tawa mereka, candaan sarkastik, dan cara mereka duduk membentuk setengah lingkaran di meja panjang, semuanya tak berubah sama sekali.
Mereka memesan makanan tanpa basa-basi. Bakmi spesial, kwetiau goreng, dan minuman dingin. Pembuka obrolan datang dari Mario, seperti biasa.
"Lo liat nggak yang trending seminggu ini? Yang soal cewek di badan cowok?"
David langsung menyambut, "Yang seleb itu, kan? Bilangnya dia cowok dari kecil, tapi ngerasa cewek."
"Ah, bullshit," potong Wilkie sambil menyeruput es teh manis. "Gue tuh ya, kalau denger begitu, langsung kesel. Emang Tuhan bisa salah nyiptain?"
Firman hanya diam. Ia tahu, obrolan ini bakal panjang dan rawan konflik.
"Menurut gue," kata Aceng, berusaha netral, "ada orang yang ngerasa jiwanya nggak cocok sama fisiknya. Tapi apakah itu berarti kita harus normalisasi semuanya?"
David mengangkat bahu. "Tergantung lo tanya ke siapa. Kalo ke WHO, itu udah nggak dikategorikan sebagai penyakit. Tapi kata Paus, yah, jelas, itu dosa."
Mario mengetuk-ngetukkan sumpitnya ke mangkuk. “Menurut gue, kita hidup di zaman di mana semua bisa didefinisikan ulang. Seksualitas, identitas, bahkan kebenaran.”
"Ya makanya makin gila dunia ini," Wilkie mendengus. “Nggak ada itu jiwa cewek di badan cowok. Lu cowok ya cowok, cewek ya cewek. Mau dibolak-balik tetep aja realitanya sama.”
Firman akhirnya angkat suara, "Tapi kita juga gak bisa menutup mata, Wil. Ada orang yang dari kecil emang ngerasa beda. Bisa jadi itu luka batin, bisa jadi pengaruh lingkungan. Yang menurut gue, bukan berarti kita bisa main hakimi juga."
"Hahaha..." David menunjuk Firman. "Ini dia. Si Firman udah mulai moderat. Efek udah nggak ngejomlo lagi!"
Mereka tertawa, namun mendadak Wilkie menyela dengan serius, "Eh, ngomong-ngomong soal itu... Lo kapan nikahin Greyzia, Man?"
Firman langsung tersedak bakminya. “N-nikah?”
"Iya, ajak married, dong. Jangan kelamaan pacaran," ujar Wilkie dengan wajah serius yang langka.
Firman tertawa canggung. "Masih nabung, Wil. Nggak usah buru-buru juga."