Yabes

Nuel Lubis
Chapter #54

Chapter 53: Obrolan tentang Marthin Luther dan Ignatius Loyola

Suasana restoran cepat saji di BSD Square itu agak lengang, karena hari sudah mulai sore dan banyak keluarga baru saja selesai misa. Firman duduk menghadap tiga sahabat lamanya sambil menyeruput kopi susu hangat. Aroma ayam goreng dan kentang menyebar di udara, menyatu dengan obrolan hangat mereka tentang iman, masa lalu, dan masa depan.

David membuka topik dengan pelan, setelah sebelumnya mereka membicarakan Greyzia dan proyek lagu rohaninya. David berjanji akan membantu Firman terkait promosi single tersebut.

“Bro, gue habis nonton film dokumenter soal Martin Luther semalem. Gue jadi mikir, apa mungkin sekarang kita ini hidup dari hasil keputusan dia waktu itu?”

Mario mengangguk pelan. “Lo ngomongin soal 95 Tesis itu?”

“Gini, Mar, tapi bayangin aja,” timpal David sambil mencelupkan kentangnya ke saus. “Dia ini kan biarawan Katolik, yah. Tapi waktu lihat dosa dan penyimpangan di dalam tubuh Gereja, kayak penjualan indulgensi dan korupsi imam-imam, dia cenderung frustrasi. Yang di balik rasa frustrasinya, ada kejujuran."

Aceng mencibir. “Yah, dia emang jujur, tapi menurut gue, meledak juga, Vid. Yang sampai memicu perpecahan. Ujung-ujungnya, malah lahir ribuan denominasi. Gue malah suka gaya Santo Ignatius dari Loyola. Yang minjem pepatah Jawa, Ignatius Loyola itu ibarat alon-alon asal kelakon. Dia masuk dari dalam, terus memperbaiki dengan doa dan disiplin.”

“Setuju yang dibilang Aceng,” kata Wilkie. “Ignatius itu teladan banget. Menurut gue, dia ibarat prajurit yang tobat. Begitu disiplinnya dia, yang sampai bikin Serikat Yesus dan langsung menyasar beberapa visi kayak pendidikan, misi, sama pembinaan rohani. Yang berdampak gede banget. Eh, tapi inget, baik Marthin Luther dan Ignatius Loyola, mereka sama-sama lahir dari luka yang sama.”

Firman diam sejenak, memperhatikan teman-temannya. Dia tahu topik ini sensitif. Mereka semua Katolik taat, tapi cukup terbuka pada sejarah dan perbedaan.

“Gue jadi mikir, deh,” ucap Firman pelan. “Luther itu ibarat orang yang lihat rumahnya bobrok, terus keluar, bangun rumah baru. Tapi rumah barunya ini malah jadi kompleks, yang isinya ratusan rumah dengan bentuk beda-beda.”

David mengangguk, lalu menjawab, “Sementara Ignatius kayak orang yang bilang, ‘Gue nggak mau ninggalin rumah ini. Gue akan benerin dari dalam, pelan-pelan, tapi dengan setia.’”

“Analogi yang mantap, Vid,” kata Mario. “Tapi inget juga, Luther awalnya nggak mau keluar. Dia diekskomunikasi karena nggak tunduk ke otoritas gereja.”

Aceng menyela, “Iya, karena dia ngenalin konsep kayak Sola Scriptura, yang dalam prakteknya ngilangin otoritas Gereja dan Magisterium. Alkitab jadi satu-satunya otoritas. Tapi masalahnya, tafsirnya bisa beda-beda untuk setiap denominasi. Itu yang bikin makin banyak pecahannya.”

Wilkie berdecak. “Bahkan Yesus aja nggak hidup cuma dari Kitab Suci. Dia juga jalanin tradisi Yahudi. Disunat, Bar Mitzvah, makan roti tak beragi waktu Paskah. Berarti intinya sih, tradisi itu penting juga, asal nggak melenceng.”

Mario menimpali, “Gue inget waktu Yesus nyentil ahli Taurat dan Farisi. Dia nggak nolak Taurat. Tapi Yesus malah bilang, ‘Kamu seharusnya melakukan yang ini tanpa mengabaikan yang lain.’ Dia mau mereka jalanin hukum Tuhan dengan hati, bukan cuma formalitas.”

David manggut-manggut. “Yesus juga bilang Sabat itu untuk manusia, bukan manusia untuk Sabat. Jadi hukum dan tradisi tetap dijalani, tapi harus mengarah pada kasih dan kebenaran.”

Firman mulai merasa suasana berubah. Obrolan mereka makin dalam, makin eksistensial.

Lihat selengkapnya