Yabes

Nuel Lubis
Chapter #55

Menikah di Palestina

Suasana ruang tamu di pastoran malam itu terasa hangat. Udara Tangerang yang mulai sejuk seiring turunnya malam, menambah kenyamanan dalam percakapan yang tengah berlangsung. Firman duduk berhadapan dengan Pendeta Andrey Montolalu, yang sore itu mengenakan sweter rajut abu-abu dan celana bahan berwarna cerah nan santai. Di antara mereka ada dua cangkir teh dan tumpukan buku. Beberapa di antaranya berbahasa Inggris dan Ibrani.

"Aku nulis artikel lagi, bro. Tentang Israel dan Palestina," kata Firman membuka percakapan.

Andrey menoleh dengan senyum ramah. "Topik besar dan sensitif. Kamu mau ambil dari sisi sejarah atau teologi?"

"Keduanya, kalau bisa," jawab Firman. "Aku nggak pengen jadi orang yang sekadar repost info dari media sosial tanpa ngerti konteksnya."

Andrey mengangguk pelan. “Sikap yang bijak. Aku suka itu, Man. Dan pertanyaan kamu menunjukkan refleksi yang sangat dalam. Yahudi dan Arab Palestina sama-sama punya akar sejarah yang sah di tanah itu, Firman. Tapi sejarah bukan cuma tentang siapa duluan. Tapi bagaimana mereka bisa hidup berdampingan di realitas yang sangat rumit.”

Firman menyimak dengan saksama. Ia mengeluarkan notes kecil dari ranselnya.

“Jadi, apakah keduanya berhak atas tanah yang sama?”

“Menurut aku, ya. Secara historis dan moral, keduanya punya hak,” jelas Andrey. “Bangsa Yahudi sudah ada sejak zaman Raja Daud dan Salomo. Mereka membangun Bait Allah di Yerusalem, dan wilayah itu menjadi pusat kepercayaan Yahudi.”

Firman menulis cepat di dalam buku catatannya.

“Tapi orang Arab Palestina juga bukan orang asing di sana, deh,” tanyanya. "Yang aku telusuri, yah, gitu."

“Betul,” Andrey menyandarkan punggung. “Sejak penaklukan oleh Kekhalifahan Rasyidun sekitar abad ke-7, wilayah itu mulai masuk dalam budaya dan peradaban Arab-Islam. Penduduk lokal pun berasimilasi, menjadi Muslim dan berbahasa Arab.”

“Jadi mereka bukan hasil migrasi massal?”

“Aku bilang, bukan. Karena sebenarnya mereka hasil asimilasi. Penduduk asli wilayah itu, yang tadinya Yahudi, Kristen, atau kelompok-kelompok kecil lain, lama-lama berubah secara bahasa dan budaya. Prosesnya natural, bukan pemindahan penduduk secara paksa.”

Firman mencatat, lalu bertanya lagi, “Sebelum berdirinya negara Israel, apakah pernah ada negara Palestina?”

Andrey tersenyum tipis. “Tidak pernah dalam bentuk negara berdaulat seperti republik atau kerajaan. Tapi bukan berarti mereka tidak punya sejarah. Sebelum 1948, Palestina adalah wilayah administratif dalam Kekaisaran Ottoman selama ratusan tahun. Setelah itu dikuasai Inggris dalam Mandat Palestina. Identitas nasional Arab Palestina baru menguat di awal abad ke-20.”

“Jadi klaim eksklusif siapa yang paling berhak, menurut Bro Andrey, siapa?”

“Itu yang jadi sumber konflik. Dua identitas nasional ingin mendirikan negara di wilayah yang sama,” ujar Andrey. “Masalahnya bukan siapa lebih dulu, tapi bagaimana dua pihak yang sama-sama merasa punya hak bisa hidup berdampingan.”

Lihat selengkapnya