Yabes

Nuel Lubis
Chapter #56

Minggu Advent Pertama: Membicarakan Pernikahan Lagi

Minggu sore itu, lampu-lampu hias pertama Advent mulai dinyalakan di halaman gereja. Cahaya lilin ungu bergetar lembut, seakan menyapa setiap wajah yang keluar dari ruang ibadah. Firman Tambunan berjalan pelan di antara kerumunan jemaat, menyalami beberapa orang tua yang mengenalnya sejak ia masih remaja. Jaket tipis yang ia kenakan masih menyimpan aroma dupa gereja. Sungguh harum ringan yang menenangkan Firman yang sedang kalut sejak masih mengikuti ibadah tadi.

Di belakangnya, langkah setenang embusan angin mengikutinya. Itu adalah langkah yang sudah dua setengah tahun terakhir selalu ia tunggu.

“Bang!”

Suara tersebut. Ringan dan jernih, seperti denting kaca. Firman menoleh, dan seketika senyumnya tumbuh lebih lebar. Greyzia Gunawan menghampirinya. Perempuan itu mengenakan kardigan kuning pastel yang membungkus tubuhnya membuatnya tampak seperti sepotong cahaya di tengah keramaian sore.

Wajahnya kemerahan oleh angin, dan di tangannya masih terpaut buku renungan Advent yang tadi dibagikan di gereja.

“Kamu mau langsung pulang?” tanya Greyzia, sedikit mengatur rambutnya yang tertiup angin.

Firman menggeleng. “Tadinya aku mau ngajak kamu ke Teraskota. Kamu udah makan?”

“Belum,” jawab Greyzia sambil tersenyum tipis. “Kenapa nggak di lapo kamu?"

Firman tertawa kecil. “Ada yang mau aku bicarakan di sana. Sesuatu yang penting."

“Ya udah, ayo,” tambah Greyzia.

Keduanya pun berjalan pelan menuju motor Firman. Angin sore mengibaskan beberapa daun kering di aspal, dan sinar matahari terakhir memantul di kaca-kaca gedung ruko.

*****

Restoran itu tidak terlalu ramai. Hanya beberapa keluarga yang baru selesai kebaktian dan sekelompok anak muda yang sedang tertawa keras-keras. Firman memilih meja pojok dekat jendela, di mana lampu kekuningan memantul lembut di wajah Greyzia.

Pelayan baru saja pergi setelah mencatat pesanan ketika Greyzia, tanpa menunggu lama, membuka pembicaraan.

“Kotbah tadi… berat,” ujarnya sambil menatap lilin kecil di meja.

“Filipi dua?” tanya Firman.

“Iya,” Greyzia mengangguk. “Soal phroneō yang berarti menaruh pikiran dan perasaan seperti Kristus. Bukan cuma pikirannya, tapi… orientasi batin. Cara kita buat merasakan sesuatu.”

Firman mengusap wajahnya pelan. “Aku suka kalimat pendetanya tadi… apa ya? Yang ini kalau nggak salah: ‘Dunia tidak lapar akan lebih banyak khotbah, melainkan dunia lapar akan pribadi yang memancarkan Kristus.’”

Greyzia tersenyum kecil. “Itu tamparan yang halus, Bang.”

“Banget,” jawab Firman jujur. “Soalnya… belakangan ini aku banyak berpikir soal kita.”

Greyzia tidak berkata apa-apa. Namun matanya tiba-tiba memantulkan kecemasan kecil. Jantungnya berdebar-debar.

Firman melanjutkan. “Kita hampir dua setengah tahun jalani ini. Dari awal yang canggung waktu kau tanya apa lapet itu, sampai sekarang… kita bicara pernikahan seolah itu hal yang… nyata.”

Greyzia menunduk. “Aku juga kepikiran itu, Bang.”

Firman menarik napas panjang. “Tapi jujur saja… makin mendekati pembicaraan serius soal masa depan, aku makin takut. Takut aku nggak cukup baik. Nggak cukup dewasa. Takut kita belum benar-benar punya phroneō Kristus itu.”

Greyzia termenung sejenak. Dalam diamnya, tampak seseorang yang membawa pergumulan sendiri, bukan sekadar mengikuti Firman, tetapi benar-benar memikirkan setiap kata.

Lihat selengkapnya