Sore itu hujan turun pelan, membasahi ruangan gereja lama yang kini lebih sering dipakai untuk pertemuan kecil dan kelas pembinaan. Firman duduk di bangku kayu panjang, menunggu Andrey Montolulu yang baru saja selesai memimpin doa penutup kelas bimbingan pra-nikah. Rambut Andrey sudah lebih rapi dari kali terakhir Firman melihatnya. Jas sederhana yang dikenakan Andrey, tampak pas. Seorang Andrey Montolulu bukan lagi sekadar evangelis seperti dulu. Kini, jemaat mulai memanggilnya Pendeta Andrey, meski ia sendiri masih sering tersenyum canggung setiap kali gelar itu diarahkan kepada Andrey.
“Man,” sapa Andrey sambil duduk di sampingnya. “Kamu kelihatan lagi banyak pikiran.”
Firman tersenyum kecil. “Iya, Ndre. Banyak hal yang sedang kupikirkan.”
Andrey menatapnya dengan mata teduh. “Soal Greyzia, kah?”
Firman mengangguk. “Aku baru saja pertama kali ke rumahnya beberapa hari yang lalu.”
“Dan?” Andrey menaikkan alisnya, tertarik.
Firman menghela napas panjang, lalu tertawa kecil. “Jujur saja, Bang… rumahnya mewah. Bukan cuma besar, tapi sangat nyaman. Om Rey, Tante Kezia… mereka benar-benar menyambutku bukan sebagai calon menantu yang sedang dinilai, tapi sepertinya mereka memandang aku sebagai tamu yang sudah lama mereka tunggu.”
Andrey tersenyum. “Itu anugerah namanya.”
“Ada adik-adiknya juga. Stanley yang pendiam tapi tajam kalau lagi ngomong. Jason yang cerewet dan penuh rasa ingin tahu. Bahkan anjing Poodle mereka—Cinderella—ikut menginterogasi aku dari ujung kaki sampai kepala,”
Lalu Firman terkekeh. “Aku sempat merasa… kecil hati.”
Andrey tidak langsung menjawab. Ia menautkan jari-jarinya, lalu berkata pelan, “Kecil karena apa?”
“Karena aku datang dari latar yang sederhana. Lapo kecil. Hidup yang apa adanya. Di sana aku duduk di ruang tamu dengan sofa empuk dan lukisan-lukisan mahal, sambil bertanya dalam hati: Tuhan, apakah aku berada di tempat yang salah?”
Andrey menoleh, menatap Firman lama. “Man… kamu tahu kenapa Allah Bapa memilih palungan?”
Firman terdiam.
“Jika Allah mau,” lanjut Andrey, “Ia bisa menempatkan Maria di rumah sakit yang terbaik, dengan bidan yang terbaik, dengan kasur empuk dan lampu yang blink-blink. Tapi ternyata Allah malah memilih palungan. Di sebuah kandang domba, yang berbau jerami dan lebih dekat ke kesunyian.”
Firman menelan ludah. Ia seperti tertampar.
“Kalau Allah mau,” Andrey melanjutkan, “Ia bisa memanggil bangsawan, orang super kaya, penguasa dunia untuk menyembah seseorang yang kita anggap sebagai Messiah. Tapi yang dipanggil justru para gembala, yang notabene, orang-orang yang dianggap rendah di masyarakat, yang lagu bekerja di malam hari, dan mereka jauh dari ingar-bingar kehidupan.”
Saat Andrey mengatakan "Messiah", gembala itu mengucapkannya dengan logat British.
Andrey menatap Firman dengan senyum lembut. “Tuhan tidak sedang merendahkan diri-Nya. Ia sedang menunjukkan nilai Kerajaan Allah yang sesungguhnya. Bahwasannya, Kerajaan Sorga itu sebenarnya sederhana. Kita saja yang sering berpikiran hiperbolis, yang menganggap itu sebagai sebuah kemewahan layaknya istana raja-raja Romawi.”
Firman mengangguk pelan. “Aku jadi kepikiran soal Natal sekarang, Bang.”
“Apa yang kamu pikirkan?”