Yai Sepuh

Eko Hartono
Chapter #2

Kenangan Buruk

Langit malam di atas kota dipenuhi bintang-bintang. Waktu menjelang dini hari. Suasana di pusat kota tampak sepi. Jalanan lengang. Hanya sesekali melintas kendaraan. Tak terlihat aktivitas orang-orang. Segelintir orang yang karena tuntutan pekerjaan masih berkeliaran atau berjaga di tempatnya. Toko-toko sudah tutup. Hanya tempat hiburan dan sebagian warung makan di beberapa sudut masih buka. Kota yang pada siang hari begitu riuh dan bising, kini berubah bisu dan hening. 

Namun di sudut lain kota ada keriuhan yang mulai menggeliat. Terlihat sekelompok anak muda berkumpul di jalan yang sepi. Mereka masing-masing membawa sepeda motor dengan bentuk dan rupa yang sudah dimodifikasi. Mereka sengaja berkumpul di tempat itu untuk melakukan ritual balap motor liar. Suara knalpot sepeda motor yang meraung bagai singa kelaparan memecahkan udara malam. Diantara mereka tampak Andi dengan helm di kepalanya duduk di atas motor balap modifnya sudah siap bertarung. Teman-temannya berteriak menyemangatinya. 

"Hidup Andi! Hidup Andi!"

Seorang pemuda lain dengan sepeda motornya juga sudah siap di sisi Andi. Dia menoleh ke Andi sambil menyeringai. Dengan nada menantang dia berkata, "Lo itu pecundang. Gak bakal bisa ngalahin gua!" Ujar pemuda itu sambil mengangkat jari tengahnya ke arah Andi sengaja melakukan psy war. 

Andi terpancing oleh provokasi itu dan membalas. "Lo yang pecundang! Gua bakal bikin lo jadi loser seumur hidup!"

Salah seorang dari mereka lalu memberi aba-aba di depan Andi dan lawannya dengan membunyikan sempritan sebagai tanda dimulainya balapan. Priiitttt...!

Andi langsung menancap gas mendahului rivalnya. Sang lawan tak mau kalah menggeber motornya menyusul. Teman-teman mereka bersorak ramai menyemangati jagonya masing-masing. Andi masih memimpin perlombaan di depan. Andi terus melaju kencang tanpa sempat menoleh ke mana-mana. Di depannya jalan aspal mulus lurus tanpa halangan apa-apa. Adrenalin Andi memuncak didorong keinginan memenangkan balapan. Agar pamornya sebagai juara bertahan empat kali berturut-turut tak ternoda.

Andi terus memacu motornya sekencang mungkin. Andi merasakan dirinya seakan terbang di udara. Dia merasakan semua beban yang memberati dadanya seperti ikut menguap dibawa angin. Ada sensasi kesenangan yang sulit digambarkan. Namun di saat dirinya mencapai perasaan itu, tiba-tiba sekelebat bayangan muncul di depannya. Andi tercekat kaget. Dia tak sempat berpikir dari mana datangnya orang itu. Tahu-tahu sudah berdiri di tengah jalan. Dan kejadian fatal tak bisa dihindarkan. Semuanya berlangsung begitu cepat. 

Tahu-tahu Andi sudah berada di rumah sakit. Tahu-tahu dia sudah dibawa pulang ke rumah setelah dua hari menginap di rumah sakit dan dinyatakan sembuh. Andi pun sempat heran dan bingung, kenapa dirinya tak mengalami luka serius setelah kecelakaan itu. Terus bagaimana dengan orang itu? Apakah dia selamat? Apakah dia baik-baik saja? Atau ... ?

Semua terjawab oleh suara perdebatan kedua orang tuanya di ruang tengah, saat dia beristirahat di kamarnya. 

"Aku sudah nggak tahan lagi dengan kelakuan anak itu. Biar dia menanggung akibat dari perbuatannya!" Itu suara ayahnya yang terdengar sangat kesal dan putus asa. 

"Jangan, Pa. Andi jangan sampai dihukum penjara. Dia masih muda. Masa depannya masih panjang." Itu suara ibunya menghiba di sela isak tangisnya. 

"Masa depan seperti apalagi yang bisa diharapkan dari anak berandalan seperti dia, Ma? Aku sudah muak ngurusin masalah yang dibuat oleh anak itu. Sepertinya dia memang hobi bikin malu orang tua. Melempar kotoran di muka kita. Kurang apa kita ngerawat dan mendidik dia agar bisa jadi anak yang bener. Dari jaman SMP sampai SMA nggak habis masalah dibuatnya. Disuruh kuliah malah pilih keluyuran di jalan bergaul sama berandalan. Pusing aku ngadepin dia!" 

"Biar bagaimana dia anak kita, Pa. Dia cermin kita sebagai orang tua. Dia tanggung jawab kita. Kesalahan dia juga kesalahan kita."

"Jadi kamu mau nyalahin aku juga?"

"Bukan begitu, Pa. Maksud aku kesalahan yang dibuat anak kita bisa jadi karena sikap dan cara kita yang belum benar."

"Terus yang benar seperti apa? Membiarkan dia jadi berandalan? Preman, begitu?"

Bu Danu terdiam. Sepertinya dia bingung apa yang harus dikatakannya. Sejenak suasana hening. Andi yang ada di dalam kamar pun diam tercenung. Keheningan sesaat itu kembali dipecahkan suara ibunya. 

"Selama ini mungkin kita sudah anggap benar mencukupi semua kebutuhan hidup anak kita. Tapi kita lupa materi saja tidak cukup untuk membuat anak kita betah di rumah dan bahagia. Dia butuh kasih sayang dan perhatian lebih dari kita, Pa."

Lihat selengkapnya