Yamato

adhiyan wahyudi
Chapter #1

Bab I SOECI

“Perang selalu membawa kemusnahan. Semua orang saling menyerang dan menghancurkan. Nyawa tak ada harganya. Hidup seolah hanya permainan. Pihak yang menang maupun kalah adalah korban. Tidak ada kebanggaan selain duka yang berkepanjangan.“

Ini adalah surat terakhirku kepadamu. Sengaja kutulis surat ini untuk memberitahumu bahwa Mas Soerjo hari ini mengajakku pindah ke Malang. Sebenarnya aku enggan meninggalkan Kampung Sedati. Aku sudah terbiasa memandangi Gunung Penanggungan setiap pagi. Kampung ini juga menyimpan banyak kenangan yang tak mungkin bisa kulupakan. Terus terang aku sangat berat hati tetapi sebagai istri aku harus manut dan mengabdi. Walau berat, aku harus kuat. Bagiku, inilah perjuangan sejati kaum istri di masa revolusi.

Kami sudah mempersiapkan kepindahan seminggu yang lalu. Begitu banyak barang yang harus dibawa sehingga kami harus menyewa truk tetangga. Mas Soerjo sudah memberi uang muka kepada Mas Parjo dua minggu sebelumnya. Uang muka itu ia bayarkan agar kami tidak kesulitan mencari angkutan ketika hari kepindahan ini tiba.

Harap kamu ketahui, Mas Parjo dengan truknya cukup laris bulan-bulan ini. Sebulan ini terhitung sudah lima belas kali ia berangkat ke Surabaya. Tanggal 11 November, ia bahkan dua kali bolak-balik membawa para pejuang asal Sedati. Hingga kini aku belum mendengar berita apakah dia juga disewa untuk menjemput mereka. Pastinya, berita itu kutunggu setiap waktu.

Koran di Mojokerto sudah memberitakan kekalahan kaum pejuang. Seperti dugaanmu, tentara Inggris bukan musuh yang sepadan bagi pejuang kita. Mereka mempunyai senjata modern dan tentara yang terlatih. Berbanding terbalik dengan para pejuang kita. Pejuang kita bukan tentara terlatih dan tidak terbiasa dengan strategi perang. Kulihat, para pejuang yang berangkat dari Sedati lebih banyak para laskar dan sukarelawan yang setiap hari pekerjaannya pergi ke sawah. Hanya sedikit dari mereka yang benar-benar tentara. Hanya dua tiga orang yang kukenal sebagai seorang prajurit.

Mas Satriyo adalah salah satu prajurit yang ikut dalam rombongan itu. Aku tahu dia pernah memperoleh pendidikan militer dari Jepang. Selain menjadi tentara Pembela Tanah Air, Mas Satriyo juga kukenal sebagai pribadi yang baik sekaligus berjiwa ksatria. Aku mengenalnya sejak kecil sehingga aku tahu sifatnya.

Kami memang dibesarkan di desa yang sama.

Kami lahir dan tumbuh di Kampung Sedati. Kampung Sedati adalah sebuah kampung kecil di kaki gunung Penanggungan. Dulu desa ini menjadi pintu masuk para peziarah pertapaan Penanggungan. Menurut para kamituwo, pintu masuk pertapaannya ada di daerah Jedong. Di daerah itu ada sebuah candi. Aku dan Mas Satriyo pernah mengunjungi reruntuhan candi itu.

Kalau sudah bertemu candi, Mas Satriyo selalu mendongeng. Seperti seorang dalang, ia bisa menirukan berbagai macam suara. Dia memang pandai menirukan gerak-gerik orang lain. Dia sangat pintar memainkan banyak lakon.

Aku sangat senang mendengarnya bercerita. Di reruntuhan candi itu aku duduk memperhatikannya. Dia sangat serius membawakan cerita sehingga ia seolah tidak mempedulikanku. Di luar itu aku tahu bahwa semua cerita yang ia mainkan hanya ditujukan untukku.

Aku tahu karena aku mencintainya dan dia mencintaiku.

Mas Satriyo bukanlah pria tampan. Kulitnya kecoklatan sementara rambutnya berombak. Mas Satriyo awalnya adalah pemuda lugu. Seperti halnya penduduk lainnya ia tidak terlalu mengenal politik. Hidupnya dihabiskan sepenuhnya untuk bekerja menjadi buruh dan karyawan pabrik.

Sebelum masuk ketentaraan, Mas Satriyo bekerja di pabrik Mas Soerjo. Sebelum itu ia membantu Pak Dar membuat batu bata. Ia bekerja di tempat itu dengan upah sekarung beras.

Seperti biasa, ia selalu membawaku ke reruntuhan candi itu setelah menerima upahnya di akhir bulan. Dan sudah bisa ditebak, Mas Satriyo akan mendongeng di tempat itu.

Hari itu dia mendongengkan kisah yang ia ciptakan sendiri. Mas Satria menceritakan kisah cinta patih Gajah Mada dengan Tribuwanatunggadewi.

***

Pemuda itu duduk menyembah di kaki candi.

“Hamba harap, Gusti mau kembali ke keraton. Kuti sudah hamba hukum mati. Mahapati sudah kami cincang.”

Pemuda itu menegakkan kepalanya dan menurunkan tangannya. Kini ia berpura-pura menjawab perkataannya sebelumnya.

“Tidak kakang! Kakang Mada harus ikut ke keraton”

Pemuda itu kembali menunduk dan mengangkat tangannya, menyembah.

“Hamba tidak berani, Gusti. Hamba hanyalah seorang bekel. Seorang pemimpin desa.”

“Memang kenapa...jika Kakang adalah seorang bekel? Aku membutuhkanmu Kakang. Ikutlah denganku. Nanti, kakanda Jayanegara akan aku minta agar Kakang diangkat menjadi patih.”

Pemuda itu tiba-tiba berdiri. Ia kemudian membalik badannya dan membungkuk pada gadis cantik yang duduk di atas rerumputan.

Gadis itu bertepuk-tangan.

“Bagus, Mas. Mirip Kang Ruslan,” ujar gadis itu sambil menyambut kedatangan pemuda yang kini berjalan ke arahnya.

“Siapa itu, Ruslan?” tanya pemuda itu penasaran.

“Masa, Kangmas tidak tahu?”

Pemuda itu kemudian duduk di samping gadis cantik itu. Ia menggeleng.

“Enggak. Aku tidak tahu.”

“Kang Ruslan adalan pemain ketoprak.”

“Ketoprak? Di mana?”

“Dulu, waktu kakek masih ada aku sering diajak nonton ketoprak di Surabaya. Kang Ruslan adalah pemain yang paling kusukai.”

“Lakonnya apa saja?”

“Banyak. Kadang cerita mataraman tetapi tidak sedikit yang mengangkat cerita blambangan.”

“Kamu suka ketoprak?”

Gadis cantik itu mengangguk.

“Iya.”

Pemuda itu mengalihkan pandangannya. Matanya menyisir area lapangan terbuka yang ada di depan reruntuhan candi. Wajahnya terpekur kosong.

“Sayang sekali, uangku belum cukup untuk mengajakmu ke sana.”

Gadis itu langsung tersenyum. Tangannya mengambil rumput di samping tempat duduknya.

“Tak usah terlalu dipikirkan! Di reruntuhan candi ini aku juga sudah senang.”

“Tapi kamu....”

“Lupakanlah! Aku sudah senang berada di tempat ini. Selama ada Kangmas, hidupku tenang.”

Pemuda itu menarik nafas panjang. Ditatapnya wajah gadis di sampingnya itu dengan tatapan penuh cinta. Ia merasa lega dengan kata-kata perempuan berambut panjang itu.

Mereka kemudian sama-sama mengalihkan pandangannya ke halaman candi. Kedua orang itu menyatu hati bersama keindahan reruntuhan candi.

Pemuda itu bernama Satriyo. Ia adalah pemuda kampung yang beruntung. Di tengah kehidupannya yang serba sulit, Satria mendapat cinta dari seorang gadis cantik yang merupakan seorang kembang desa. Kekasihnya yang kini duduk di sampingnya itu bernama Soeci. Ia adalah kembang desa yang menjadi incaran para pemuda yang hidup di kaki Gunung Penanggungan. Soeci sangat mencintai Satriyo. Walau banyak lelaki yang sudah melamar dirinya, ia tetap meneguhkan hatinya untuk setia pada Satriyo.

Mereka memang saling mencintai.

Satriyo dan Soeci sudah bertetangga sejak kecil. Rumah keduanya tidak terlalu jauh. Seratus langkah adalah jarak antara keduanya. Mereka sama-sama tinggal di desa kecil di kaki Gunung Penanggungan. Sebagaimana anak desa pada umumnya mereka tidak terlalu mengerti dengan perkembangan zaman. Bagi mereka hidup adalah sebagaimana adanya. Lahir, hidup, menikah, punya anak, dan mati. Itu saja. Sebagaimana pengetahuan penduduk desa di kaki Gunung Penanggungan itu mereka tidak mengerti perubahan politik di kota. Mereka bahkan tidak tahu jika Kerajaan Belanda telah kalah dan Kekaisaran Jepang berkuasa.

Tahun 1942, angkatan perang Jepang memasuki Hindia Belanda. Mereka mendarat pertama kali di wilayah Ambon pada bulan Januari. Mereka juga memasuki Kalimantan melalui Tarakan dan Balikpapan pada bulan yang sama. Setelah menaklukkan Sumatera, tentara kekaisaran Jepang akhirnya memasuki Jawa pada bulan Maret. Serangan yang sangat mendadak itu ternyata tidak mampu diantisipasi oleh tentara Belanda. Dengan sangat mudah, tentara Belanda akhirnya menyerah kalah yang ditandai dengan perjanjian Kalijati.

Penduduk di desa terpencil itu benar-benar tidak tahu perubahan politik dunia. Mereka mengira pemerintahan masih dipegang oleh orang Belanda. Mereka tidak tahu sampai suatu hari kejadian aneh terjadi. Para mantri desa yang mayoritas orang Belanda tiba-tiba berduyun-duyun meninggalkan desa. Para pemilik perkebunan juga seolah hilang tidak tahu di mana rimbanya. Mereka meninggalkan begitu saja harta benda di rumah mereka.

Satriyo masih bekerja membuat batu bata ketika Suroso bercerita tentang kejadian aneh sebulan terakhir.

“Engkau sudah melihat rumah menir Van Burg?”tanya Suroso sambil memasukkan campuran tanah liat ke dalam cetakan.

Satriyo menggeleng.

“Belum,” jawabnya kepada temannya.

“Sekali-kali kamu harus ke sana!”

“Untuk apa?”

“Melihat isi rumahnya. Mencoba tempat tidurnya.”

Lihat selengkapnya