Yamato

adhiyan wahyudi
Chapter #2

Bab II PINDAH

Karena Van Burg sudah meninggal maka penguasaan tanah miliknya diambil alih oleh desa dengan berdasarkan pada status tanah yang kini menjadi tanah terlantar. Kekalahan Belanda atas Jepang juga mengakibatkan kepemilikan tanah berdasarkan Eigendom tidak berlaku. Setelah bermusyawarah dengan tetua desa, Ki Jabat akhirnya mengeluarkan Letter C bagi Mas Soerjo untuk tanah-tanah yang dimiliki oleh Van Burg. Mas Soerjo kemudian membayar tanah-tanah itu dari desa dengan uang hasil kerjanya di Semarang.

Setelah resmi memiliki tanah-tanah milik Van Burg, Mas Soerjo kemudian membangun kembali rumah orang Belanda yang pernah terbakar itu. Untuk keperluan itu ia membeli sejumlah bahan bangunan termasuk batu-bata. Cak Dar adalah salah satu pemasok yang dipercaya untuk menyediakan kebutuhan batu bata kualitas tinggi.

Kehadiran Mas Soerjo di Sedati membawa berkah bagi kampung itu. Setelah membeli perkebunan kopi dan jati milik Van Burg, duda berumur empat puluhan tahun itu langsung mengajak pemuda-pemuda kampungnya untuk membantunya mengolah tanah perkebunan itu. Berbeda dengan pengusaha desa lainnya yang membayar buruhnya dengan padi, Mas Soerjo membayar buruh-buruh perkebunannya dengan uang. Karena nilainya cukup besar banyak pemuda yang memutuskan untuk bekerja pada priyayi Jawa itu. Suroso adalah salah satu pemuda desa yang tertarik untuk bekerja pada Mas Soerjo. Hari itu adalah hari terakhir ia bekerja pada pabrik batu bata. Di sela-sela perkerjaannya, Suroso kembali mengajak Satriyo untuk mengikuti jejaknya.

“Kamu harus segera menyusulku. Masa depanmu ada di tangan Mas Soerjo.”

Satriyo menggeleng lemah.

“Aku ingin di sini saja....”

“Kamu harus maju. Mas Soerjo sekarang menjadi pemilik kebon-kebon milik Van Burg. Dia sangat pintar mengelola perkebunan. Aku yakin usahanya akan maju pesat. Saat ini ia juga membayar pekerjanya dengan uang. Tetanggaku bahkan mendapat gaji pertama sebesar 50 gulden”

“Aku...”

“Sudahlah. Kamu tidak usah berpikir. Cak Dar pasti bisa mencari orang.”

“Bukan itu...”

“Lantas.”

“Cak Dar sudah baik padaku. Dulu, aku datang ke sini meminta pekerjaan darinya. Waktu itu dia belum butuh pekerja. Cak Dar merasa kasihan karena Bapak tiada dan aku harus menghidupi Emakku.”

“Tetapi ini kesempatan emas bagimu untuk memperbaiki keadaan.”

“Maaf...aku belum bisa.” Satriyo kembali menggeleng.

Suroso memalingkan muka. Ia tampak kesal dengan sikap Satriyo.

Yo...wes. Semoga kamu kerasan dengan upah padi.”

Penolakan Satriyo atas ajakan temannya itu memang beralasan. Cak Dar adalah pengusaha batu bata yang baik hati. Dulu, ia menampung pemuda berusia 27 tahun itu di pabriknya. Padahal waktu itu permintaan batu bata menurun. Cak Dar memang kasihan pada pemuda yang sudah bekerja padanya selama 10 tahun itu.

Cak Dar sudah lama menggeluti usaha batu bata. Usahanya adalah warisan keluarganya yang turun-temurun. Keluarga mereka mempunyai keahlian membuat batu bata dengan kualitas tinggi. Tidak hanya soal mencari lahan untuk bahan batu bata. Cak Dar dan keluarganya juga paling paham soal cara pengeringan dan pembakaran. Pabrik yang mempekerjakan buruh sebanyak 40 orang itu sudah menjadi langganan orang-orang Belanda.

Sore hari sebelum pulang, Cak Dar memanggil Satriyo ke rumahnya.

Di serambi depan mereka berbincang-bincang.

“Bata pesanan den Surya sudah selesai, Tri?” tanya Cak Dar sambil mengunyah tempe goreng.

“Sudah Cak! Bata sepuluh pedati milik Mas Soerjo sudah matang.”

“Besok kamu ikut ngirim ke rumahnya, ya!”

“Baik.” Satriyo menjawab mantap.

“Kamu tidak usah datang ke pabrik. Kamu tunggu saja di depan rumah. Besok kalau lek Supar lewat, kamu langsung ikut.”

“Baik, Cak!”

Ketika sedang bercakap-cakap, Suroso datang untuk berpamitan. Ia datang sambil membawa karung goni berisi perlengkapannya.

“Saya pamit dulu, Cak! Mohon maaf jika ada kesalahan.” Suroso menyalami Cak Dar sambil menunjukkan wajah sungkan.

“Iya” jawab Cak Dar sambil mengangguk. “Aku juga minta maaf jika ada kata yang tidak mengenakkan selama kamu bekerja.”

Setelah berbasa-basi sebentar, Suroso meninggalkan kediaman Cak Dar dengan langkah pasti.

Cak Dar menghela nafas panjang.

“Aku merasa bersalah kepada kalian.”

Satriyo tampak kaget. Dia tidak mengerti maksud kata-kata tuannya itu.

“Maksud Cak Dar?”

“Seharusnya aku bisa membayar kalian lebih. Kalian berdua adalah pegawaiku yang paling lama.”

“Tidak usah dipikirkan, Cak! Saya pribadi sudah cukup berterima-kasih telah diizinkan bekerja di tempat ini.”

“Tapi kamu juga harus memikirkan masa depanmu, Tri. Pabrikku ini kecil. Semakin lama pesanan batu bata semakin seret. Pabrik batu bata bermunculan dimana-mana. Kamu tidak mungkin bisa maju jika terus ada di sini.”

“Saya tidak terlalu memikirkannya, Cak. Cak Dar sudah saya anggap sebagai cacak sendiri. Saya mengerti kesulitan yang Cak Dar hadapi, seperti halnya dulu ketika saya mengalami kesulitan saat Bapak kondur.”

“Tapi ini bukan untuk kamu, Tri.”

“Kalau bukan untuk saya, terus untuk siapa?”

“Untuk Wulan. Aku selalu memikirkan masa depan anak itu. Bapaknya dulu pernah bekerja di pabrik ini. Aku sudah menganggap Wulan seperti anakku sendiri.”

Satriyo terdiam. Wajah Wulan tiba-tiba muncul di depan matanya. Gadis cantik beralis sempurna itu seolah sedang tersenyum kepadanya.

Satriyo mengangguk lemah.

“Iya. Cak Dar benar...”

Cak Dar kemudian menepuk pundak Satriyo.

“Untuk itulah, besok kamu kuajak ke tempat den Surya. Aku akan mengenalkanmu padanya. Kulihat dia sekarang membutuhkan banyak tenaga kerja. Aku akan mencoba berbicara kepadanya agar kamu bisa memperoleh pekerjaan yang layak.”

Satriyo menunduk. Ia merasa tidak enak.

“Saya.....”

“Sudahlah. Kamu ikuti saja kata-kataku!”

Keesokan harinya, Satriyo menunggu lek Supar dan pedatinya lewat di depan rumahnya. Setelah lewat, Satriyo kemudian menumpang dan pergi ke rumah Mas Soerjo. Pedati itu ternyata sudah membawa muatan penuh. Batu-bata pesanan Mas Soerjo sudah tertata rapi.

“Setelah menurunkan muatan kamu nunggu di rumah Mas Soerjo yo, Tri” kata lek Supar sambil terus mengendalikan arah pedatinya.

“Yo...lek.

“Kapan kalian menikah?” tanya lek Supar.

Satriyo menggaruk-garuk kepalanya.

Lihat selengkapnya