Yamato

adhiyan wahyudi
Chapter #3

Bab III PERKENALAN

Hari pertama kerja, Satriyo tidak langsung bekerja. Ia diajak oleh Mas Soerjo ke Trawas untuk mengunjungi perkebunan kopi. Dengan menumpang truk angkutan milik Soeparjo, mereka kemudian berkendara melewati hutan belantara di lereng Gunung Penanggungan.

Keduanya duduk di samping supir.

“Katanya, kamu sebentar lagi mau menikah, yo?”tanya Mas Soerjo.

“Iya”

“Kapan?”

“Mungkin setahun lagi, Mas.”

“Kenapa tidak sekarang saja?”

“Saya masih kumpul-kumpul uang.”

“Jangan tunggu uangmu banyak. Kalau sudah punya calon langsung saja menikah.”

Satriyo menggeleng lemah.

“Saya takut tidak sanggup menafkahi, Mas.”

Mas Soerjo mengubah letak duduknya. Ia memandang mata Satriyo dalam-dalam.

“Rezeki itu, Gusti Allah yang mengatur. Kamu tidak usah berpikir terlalu dalam. Dulu, ketika aku menikahi istriku, tak kupunyai uang sepeserpun di kantung baju. Aku nekat saja datang ke rumahnya dan memohon izin kepada Bapaknya yang orang Belanda. Aku meyakinkan beliau bahwa aku sanggup menghidupi istriku. Dan itu terjadi. Setelah menikah, aku diterima kerja di pabrik kopi.”

“Tapi...saya...”

“Kamu sekarang sudah bekerja di pabrikku. Kalau membutuhkan uang, kamu tinggal bilang saja.”

“Terima kasih, Mas.”

Parjo yang duduk sambil menyetir menyelutuk.

“Aku butuh uang sekarang, Mas...” ujarnya dengan wajah tak berdosa.

M “Kamu sekarang sudah bekerja di pabrikku. Kalau membutuhkan uang, kamu tinggal bilang saja.”as Soerjo yang sedang mengobrol dengan Satriyo itu sontak menolehkan kepalanya.

“Kamu tidak usah bingung. Sampai di Trawas kamu kuberi uang.”

“Kalau itu, semua penumpang juga melakukannya.”

“Lho...katanya kamu butuh uang.”

“Males ngomong sama priyayi. Belanda saja dilawan apa lagi orang biasa seperti saya.”

Mas Soerjo ketawa melihat wajah Soeparjo yang berubah karena kesal.

Parjo adalah pemilik truk satu-satunya di kampung Sedati. Sehari-hari ia mengoperasikan truk untuk mengangkut penumpang dan barang dari Sedati menuju Trawas. Selain melayani rute tetap, Parjo juga menyewakan truknya untuk rute-rute lain seperti ke Surabaya atau Malang.

Truk itu sebenarnya bukan miliknya. Truk itu awalnya adalah milik orang Belanda. Dulu, ia dipekerjakan sebagai sopir perkebunan. Selain mengangkut hasil-hasil perkebunan truk itu juga mengangkut karyawan perusahaan. Tahun 1940, perusahaan tempatnya bekerja bangkrut sehingga perusahaan tidak mampu membayar para pekerjanya. Pemilik perusahaan lari ke Belanda sehingga membuat para pekerja marah. Para pekerja kemudian menjarah harta benda perusahaan. Mas Parjo tidak ketinggalan. Ia mendapatkan truk yang sehari-hari ia pakai dan kini sudah menjadi milik pribadinya.

Truk itu terus merangkak melewati jalan makadam. Jalan makadam itu sebagian besar sudah rusak dan berlubang. Beberapa kali truk itu terguncang dan kejeglong ke dalam lubang-lubang itu sehingga membuat penumpang yang duduk di bak truk berteriak.

Pagi ini muatan truk itu lumayan penuh. Selain membawa delapan penumpang, truk itu juga membawa dua puluh karung beras.

Truk itu terus melaju membelah belantara.

Setelah berjalan selama setengah jam mereka akhirnya sampai di jalan yang cukup mendatar. Di kanan kiri rumah penduduk berjajar membelakangi Gunung Penanggungan yang terlihat semakin dekat. Perkampungan semakin padat dan lalu-lalang penduduk semakin ramai.

Sesampai di pertigaan truk itu membelok ke arah kiri. Parjo kemudian mengarahkan truknya ke pusat perkampungan. Sampai di pasar, truk itu kemudian berhenti. Suasana ramai langsung menyambut kedatangan mereka.

Satu-persatu penumpang turun.

Setelah membayar biaya perjalanan, Mas Soerjo kemudian mengajak Satriyo berjalan kaki menembus pasar dan mengarahkan kakinya ke arah Gunung Penanggungan. Arah yang mereka tuju adalah perkebunan kopi yang membentang di kaki gunung.

Sepanjang perjalanan Mas Soerjo mengajak Satriyo berbincang-bincang.

“Indonesia adalah negeri yang sangat subur. Sayang, dengan kesuburannya itu kaum pribumi tidak punya pengetahuan yang cukup untuk mengolahnya.”

“Indonesia?” tanya Satriyo kurang paham.

“Iya Indonesia.”

“Indonesia itu apa, Mas?”

“Kamu belum tahu Indonesia?”

“Belum.”

Mas Soerjo menghentikan langkahnya. Di bawah pohon rindang mereka berteduh.

“Indonesia adalah nama negara kita. Kaum pribumi harus menggunakan nama itu untuk menunjuk pada bangsa ini. Hindia Belanda adalah masa lalu yang harus segera kita tinggalkan.”

“Tapi apakah dengan mengganti nama, hidup kita bisa berubah. Maksud saya, ganti nama dilakukan oleh mbah-mbah kita untuk mengubah nasib dan menghindar dari kesialan.”

“Hampir seperti itu. Indonesia adalah mimpi kita di masa mendatang. Kelak, bangsa ini akan sanggup mengolah kekayaan alamnya tanpa harus meminta tolong pada bangsa asing. Itu namanya kemandirian bangsa. Itu adalah kemerdekaan.”

“Kalau begitu, orang Belanda itu pasti tidak akan kembali ya, Mas?”

“Ya. Sebentar lagi bangsa kita akan merdeka. Di radio, Jepang bahkan menjamin kemerdekaan bangsa ini beberapa tahun lagi.”

Mas Soerjo kemudian mengajak Satriyo melanjutkan perjalanan. Kini, mereka sudah sampai di batas kampung. Sejauh mata memandang yang tampak adalah perkebunan kopi yang membentang luas hingga ke perbukitan.

Seorang pekerja menyambut kedatangan mereka.

“Saya pikir, Mas Soerjo tidak jadi ke kebun,” ujar pekerja yang memakai sepatu karet itu.

“Tadi, kami harus menunggu Parjo menaikkan muatan beras pesanan Haji Samsuri.”

“Begitu rupanya.”

“Tadi malam turun hujan, ya?” tanya Mas Soerjo.

“Iya.” Pekerja itu mengangguk.

“Di dalam kondisinya bagaimana? Apa jalannya becek?”

“Tidak. Hujan tadi malam cuma sebentar.”

Mas Soerjo menoleh kepada Satriyo.

“Dia adalah pengawas kebun kita. Namanya Pak Sukari.” Mas Soerjo kemudian mengenalkan Satriyo pada pengawas kebunnya itu. “Ini Satriyo. Dia asisten pengawas di pabrik.”

Pengawas perkebunan bernama Sukari itu mengulurkan tangannya. Ia menyebutkan namanya kepada Satriyo.

Mas Soerjo kembali mengarahkan pandangannya ke arah pekerja kebun itu.

“Teruskan pekerjaanmu! Kami akan berkeliling sebentar.”

“Kalau begitu saya mohon pamit.”

“Silahkan.” Mas Soerjo mempersilahkan pekerjanya itu melanjutkan pekerjaannya.

Mas Soerjo kemudian mengajak Satriyo berkeliling menyusuri jalan setapak di antara ratusan pohon kopi yang sudah siap panen.

“Kamu tahu, kenapa kuajak ke tempat ini?” tanya Mas Soerjo.

Lihat selengkapnya