Yang Belum Kembali

Kalam Insan
Chapter #1

MENGHILANG

ANGIN malam di Jakarta, seolah tak pernah berhenti menyelusup lewat celah-celah jendela sempit di kamar kos ini. Suara kendaraan yang hilir-mudik di jalanan di luar sana menjadi nyanyian latar yang tak putus. Sekalipun dingin bersembunyi di balik dinding-dinding kusam kamar ini, hati tak pernah terasa dingin. Di balik semua keraguan dan kekhawatiran yang terus membayangi, ada semangat yang tak bisa padam. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih kuat, lebih mendesak daripada sekadar perasaan takut.

Setiap pagi, aku bangun dengan perasaan was-was. Di luar, dunia terlihat berjalan biasa saja—orang-orang berangkat kerja, anak-anak sekolah dengan tas penuh buku. Tapi di balik semua rutinitas itu, kami tahu ada sesuatu yang tidak benar, sesuatu yang meresahkan. Pemerintah yang dulu berjanji akan membawa keadilan, sekarang malah menjadi sumber ketidakadilan itu sendiri. Rakyat digencet, suara-suara kebenaran dibungkam, dan kami, mahasiswa-mahasiswa muda yang seharusnya hidup dalam kebebasan berpikir, kini dipaksa untuk berdiam diri atau melawan.

Setelah mandi dan mengenakan baju kaos lusuh—pakaian yang sama yang sudah kupakai berhari-hari untuk bersembunyi dari petugas keamanan—aku bersiap untuk pertemuan hari ini. Ada rapat penting di tempat biasa, sebuah rumah di pinggiran kota, jauh dari keramaian. Rumah itu milik seorang kawan, seorang yang sangat dipercaya dalam lingkaran kami. Pertemuan kali ini tak hanya sekadar untuk berbagi kabar; kami sedang menyusun langkah besar—demonstrasi skala besar yang akan mengguncang ibu kota.

Setiap hari seperti ini. Hidup di dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, dunia yang tampak tenang, di mana aku tetap menjalani rutinitas sebagai mahasiswa biasa—kuliah, perpustakaan, sesekali nongkrong di warung kopi. Tapi di balik itu semua, ada dunia lain, dunia perlawanan. Di sana aku adalah seorang aktivis, salah satu yang berusaha menyuarakan perlawanan terhadap rezim yang tak adil ini. Dunia yang berbahaya, tapi juga dunia yang penuh harapan.

Dalam diskusi rahasia kami, tak jarang kami membicarakan keadaan negara ini dengan nada yang pedas, tapi penuh keyakinan. Setiap kalimat yang keluar dari mulut kami dipenuhi gairah, mengalir bersama amarah yang terpendam, menggema di antara dinding-dinding sempit rumah itu. Kami berbicara tentang reformasi, tentang pentingnya kebebasan, tentang hak asasi manusia yang direnggut. Kami tahu, harapan ini bukan hanya milik kami, tapi juga milik rakyat kecil yang suaranya sudah lama tenggelam di bawah bayang-bayang kekuasaan.

Aku ingat, setiap kali berjalan menuju tempat pertemuan itu, aku selalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada yang menguntit. Mungkin paranoia ini yang menjaga kami tetap aman hingga kini. Tapi, di setiap langkah yang diambil, selalu ada perasaan bahwa suatu hari nanti, kami tidak akan bisa lagi menghindari bahaya itu. Itu bukan soal jika, tetapi kapan.

Seperti beberapa hari lalu, saat aku dan kawan-kawan menghadiri diskusi di sebuah kampus. Wajah-wajah yang hadir di sana, penuh dengan keraguan dan kegelisahan, namun di matanya masih memancarkan api yang sama. Di ruang yang pengap, di antara tumpukan buku-buku dan poster-poster perlawanan, kami duduk, mendengarkan pidato yang berapi-api dari salah satu senior kami. Waktu itu, aku ingat, ada momen singkat di mana aku merasa berat untuk melanjutkan semua ini. Apakah ini sepadan? Apakah semua rasa takut dan was-was ini layak dipertaruhkan demi sesuatu yang mungkin tak akan pernah berhasil?

Tapi, seperti biasa, keraguan itu hanya berlangsung sejenak. Sebab, pada akhirnya, yang membuatku terus maju adalah keyakinan bahwa diam berarti menyerah. Dan menyerah berarti membiarkan ketidakadilan menang. Tak ada yang lebih buruk daripada itu.

Setelah pertemuan berakhir, kami bubar satu per satu. Jalan-jalan malam Jakarta yang gelap dan berliku menjadi saksi bisu atas setiap langkah yang kami ambil. Setiap bayangan gelap di balik lampu jalan terasa seperti ancaman. Tapi rasa takut itu selalu kuperangi dengan satu pikiran: perubahan tidak akan datang dengan sendirinya. Harus ada yang berani memulai.

Sementara itu, dalam setiap obrolan santai di warung kopi atau di lorong-lorong kampus, aku dan teman-temanku berbicara dengan kode-kode yang hanya kami yang tahu. Kami menyamarkan niat kami di balik tawa dan candaan, menghindari kecurigaan dari siapa pun yang mungkin menyusup di antara kami. Ini adalah dunia yang aneh—di satu sisi kami harus terus waspada, tapi di sisi lain kami tidak boleh menunjukkan kelemahan. Setiap hari adalah permainan menebak siapa kawan dan siapa lawan.

Di rumah, terkadang aku menerima telepon dari ibuku di kampung. Suaranya selalu lembut, penuh kasih, tapi juga penuh kekhawatiran. "Kenapa kamu tak pernah menelpon Ibu lagi, Nak?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar. Aku selalu menjawab dengan jawaban yang menenangkannya, meskipun di dalam hatiku sendiri aku tahu, aku sedang berjalan di atas tali yang rapuh.

Aku tidak pernah menceritakan kepadanya tentang diskusi-diskusi yang kuhadiri, atau tentang malam-malam penuh ketegangan di mana kami menulis pamflet-pamflet di bawah ancaman kejaran aparat. Sebagai seorang ibu, dia pasti akan cemas, dan aku tidak ingin menambah bebannya. Cukuplah dia tahu bahwa anaknya baik-baik saja—setidaknya, untuk saat ini.

Begitulah keseharian ini. Kehidupan yang tenang di permukaan, tapi di dalamnya penuh gejolak. Aku tahu, tidak ada yang abadi di dunia ini. Cepat atau lambat, badai akan datang. Tapi sampai saat itu tiba, aku akan terus melangkah, akan terus menyuarakan apa yang aku yakini benar. Sebab, hanya dengan cara inilah, aku bisa bertahan di tengah dunia yang semakin gelap.

---

Satu pagi, seperti biasanya, telepon di kamarku berdering. Suara dari seberang telepon terdengar lembut namun penuh kecemasan yang halus tersirat di setiap katanya.

“Ibu cuma mau tahu, kamu baik-baik saja di sana, kan?”

Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang diam-diam menyelinap. Suara ibu selalu seperti itu—penuh kasih tapi sarat kekhawatiran. Aku bisa merasakan betapa berat beban yang ia tanggung, tinggal jauh di kampung sementara aku berada di kota besar yang penuh gejolak. Dia tidak pernah secara langsung menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku tahu ia paham betul tentang apa yang sedang kuhadapi.

“Tenang saja, Bu. Aku baik-baik saja. Kuliah lancar, semuanya aman,” jawabku dengan nada yang kubuat seoptimis mungkin.

Namun di balik semua itu, aku tahu ibu merasakan ada sesuatu yang tidak kukatakan. Dia pasti tahu. Setiap kali kami berbicara, ada jeda-jeda hening di mana kekhawatirannya lebih terasa daripada kata-katanya sendiri. Tapi aku tak bisa menceritakan semua padanya. Aku tak ingin membebani pikirannya yang sudah penuh dengan pekerjaan di sawah dan urusan rumah.

Seperti kebanyakan ibu di kampung, dia hanya ingin anaknya selamat. Dan tentu saja, sebagai seorang anak, aku ingin melindunginya dari segala kerumitan yang sedang kulalui. Tapi percakapan kami selalu berakhir dengan nada yang sama—“hati-hati, Nak,” katanya sambil menarik napas panjang, seakan berat melepaskan anak laki-lakinya pada dunia yang ia tahu lebih berbahaya daripada yang aku katakan.

Di sisi lain, ada temanku, Andi, yang selalu menjadi kawan dekat sejak tahun pertama kuliah. Dia yang pertama kali menarikku masuk ke dalam lingkaran pergerakan mahasiswa. Andi lebih tua beberapa tahun dariku, tubuhnya jangkung dan wajahnya serius. Ada semacam keseriusan dalam tatapan matanya, tetapi sering kali ia mencoba menutupi itu dengan senyuman atau lelucon yang terasa kurang pas.

“Kamu nggak pernah khawatir ya, bro? Kalau kita tiba-tiba diciduk gitu aja?” tanyanya sambil menyeruput kopi hitam di sebuah warung kecil dekat kampus.

Aku tertawa kecil, meskipun sebenarnya pertanyaan itu sering kali berputar-putar di kepalaku. “Khawatir pasti ada, tapi kalau kita terus takut, kita nggak akan maju-maju, Andi.”

Andi mengangguk, meski dari sorot matanya, aku tahu dia tidak sepenuhnya sepakat. Baginya, perlawanan ini bukan sekadar tentang keberanian, tapi juga perhitungan. Dia selalu memikirkan rencana jangka panjang, bagaimana jika sesuatu terjadi, ke mana harus lari, siapa yang harus dihubungi. Tapi bagiku, lebih baik melangkah dan menghadapi apa pun yang datang. Kami sering berbicara tentang hal ini, berbicara panjang lebar tentang risiko, tentang idealisme, tentang masa depan yang mungkin tak akan pernah datang.

Namun, meskipun berbeda pandangan, Andi adalah kawan yang tak tergantikan. Di setiap aksi, di setiap rapat rahasia, dia selalu ada di sampingku. Kadang aku melihat keletihan di wajahnya—keletihan yang mungkin dirasakan semua orang yang terlibat terlalu lama dalam perjuangan yang tampaknya tak kunjung memberi hasil. Tapi dia tetap bertahan.

Lain lagi dengan Lina, seorang mahasiswi dari fakultas sastra yang bergabung dengan kelompok kami beberapa bulan lalu. Lina memiliki semangat yang menyala-nyala, tapi juga kerap kali meluapkan kecemasannya secara terang-terangan. Ada hari-hari di mana Lina akan datang terlambat ke rapat, matanya merah, seperti habis menangis.

“Kamu kenapa?” tanyaku suatu malam ketika kami sedang menggulung poster-poster protes untuk aksi esok hari.

Lina menggeleng, “Nggak apa-apa. Cuma ibu di rumah terus telepon, bilang aku harus hati-hati, jangan terlalu sering ikut aksi.”

Aku memahami sepenuhnya perasaan itu. Di balik setiap tindakan yang kami lakukan, selalu ada bayangan orang-orang yang mencintai kami, yang menginginkan kami selamat. Tapi di saat yang sama, kami tahu apa yang sedang kami lakukan bukan sekadar untuk diri kami sendiri, melainkan untuk mereka juga.

“Kamu harus kuat, Lin. Kita nggak bisa mundur sekarang. Semuanya sudah terlalu jauh,” kataku sambil menepuk bahunya.

Dia mengangguk, meskipun aku tahu di hatinya ada rasa takut yang besar. Itu wajar, tentu saja. Setiap dari kami merasakannya. Tapi ketakutan itu selalu kami tangkis dengan tekad yang lebih besar.

Malam itu, setelah rapat berakhir, kami duduk di lantai rumah Andi, berkumpul bersama seperti keluarga kecil yang aneh. Ada aku, Andi, Lina, dan beberapa teman lainnya—semuanya saling terikat oleh satu tujuan yang sama, meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Andi adalah orang yang praktis, berpikir bahwa perubahan harus terjadi secara strategis dan hati-hati. Lina adalah idealis yang masih rapuh, mencoba menemukan keberanian di tengah-tengah rasa takutnya. Dan aku, mungkin lebih seperti seseorang yang masih mencari-cari alasan untuk tetap percaya bahwa apa yang kami lakukan memang layak diperjuangkan.

Percakapan malam itu berputar pada berbagai hal—mulai dari strategi aksi, kondisi politik terkini, hingga lelucon-lelucon konyol yang kami lontarkan untuk sedikit mengurangi ketegangan. Tapi di balik tawa-tawa itu, ada rasa was-was yang tak terucapkan. Kami semua tahu bahwa ini bisa saja menjadi salah satu dari malam-malam terakhir kami berkumpul dengan bebas. Bisa jadi, besok atau lusa, salah satu dari kami tidak akan pernah kembali.

Ketika malam semakin larut, kami satu per satu pulang ke tempat masing-masing. Sebelum berpisah, Andi menatapku sejenak. “Jaga diri baik-baik, bro,” katanya singkat. Aku hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Dalam kalimat pendek itu, tersimpan makna yang dalam—makna tentang kemungkinan bahwa salah satu dari kami akan hilang, dan mungkin tak ada yang bisa kami lakukan untuk mencegahnya.

Malam itu, aku merenung. Hubungan yang kami bangun di tengah perlawanan ini bukanlah hubungan biasa. Ini adalah ikatan yang ditempa oleh ketakutan, oleh harapan, dan oleh rasa tanggung jawab yang besar. Teman-teman ini adalah orang-orang yang akan kurindukan, jika suatu hari nanti aku benar-benar menghilang. Dan ibuku, yang selalu menungguku pulang dengan harapan yang tak pernah pudar, mungkin akan menjadi orang yang paling terluka.

Tapi untuk saat ini, aku masih di sini, bersama mereka. Kami masih memiliki waktu. Dan selama waktu itu ada, aku akan terus melangkah.

---

Beberapa minggu terakhir terasa berbeda. Ada yang mengganjal, seolah-olah kehidupan sehari-hari yang biasanya masih bisa kubawa dengan perasaan aman, tiba-tiba diselimuti oleh sesuatu yang tak terlihat. Bukan sekadar firasat, tetapi sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Suatu malam, ketika berjalan pulang dari pertemuan dengan beberapa kawan di warung kopi, aku menyadari bayang-bayang yang tampak terlalu dekat di belakangku. Langkah kaki yang seharusnya berserakan di antara jalan-jalan sepi menjadi lebih teratur, seakan mengikuti alur langkahku. Tak kuasa menoleh langsung, aku mempercepat langkah, mengabaikan rasa takut yang mulai mengalir pelan di balik tulang rusuk.

Malam itu aku bergegas masuk ke kos, menutup pintu dengan perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun. Mungkin ini hanya pikiranku yang terlalu lelah, atau mungkin… entahlah, tak ada yang pasti. Tapi malam itu juga, aku menghabiskan waktu lama duduk di ujung kasur sambil memandang jendela. Tak ada yang bergerak di luar, hanya lampu jalan yang berkelip lemah. Namun, sebuah pertanyaan merambat pelan ke dalam pikiranku: apakah aku sedang diawasi?

---

Hari-hari setelah itu mulai terasa lebih berat. Aku masih menghadiri rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan kecil, tetapi setiap kali, bayang-bayang kekhawatiran itu semakin nyata. Bukan hanya aku yang merasakannya. Teman-teman aktivis lainnya pun berbagi pengalaman yang serupa—ada yang merasa rumahnya dibuntuti, ada yang mengaku melihat sosok tak dikenal berkeliaran di sekitar tempat tinggal mereka. Namun, di tengah kegelisahan ini, kami terus melangkah. Bagaimanapun, perjuangan ini tak bisa berhenti hanya karena rasa takut.

“Biasa itu, mereka cuma pengin bikin kita gentar,” kata Andi suatu sore. Kami sedang duduk di bawah pohon besar di halaman kampus, membicarakan rencana aksi berikutnya. Di sekeliling kami, mahasiswa berlalu-lalang dengan raut wajah yang tampak tak peduli pada dunia di luar buku-buku mereka.

“Tapi ini beda, Ndi. Mereka nggak cuma ngawasin dari jauh. Semakin dekat. Semakin terasa,” jawabku, suaraku nyaris berbisik.

Andi memandangku sejenak, kemudian mengangguk pelan. “Ya, mungkin. Tapi kita nggak bisa mundur sekarang. Kalau kita berhenti, mereka menang.”

Kata-kata Andi benar, tentu saja. Tapi perasaan ganjil itu tak kunjung pergi. Ada yang berubah dalam cara mereka mengawasi kami—lebih sistematis, lebih langsung. Seolah-olah mereka bukan lagi hanya menunggu di balik bayang-bayang, tapi kini mulai menyentuh hidup kami. Intimidasi kecil-kecilan mulai terasa di setiap sudut. Aku mendapati diriku beberapa kali berpapasan dengan orang-orang asing yang hanya melirik tanpa kata, tetapi tatapan mereka tajam, penuh perhitungan. Rasanya seperti berada di sebuah jaring halus yang perlahan-lahan menjerat, menarik kami lebih dalam ke dalam pengawasan yang tak kentara.

---

Suatu hari, saat aku sedang di perpustakaan kampus, dua orang yang tak kukenal tiba-tiba duduk di meja sebelahku. Mereka tidak mengambil buku, tidak menulis apa pun. Hanya duduk, sesekali melirik ke arahku, seakan menanti sesuatu. Keringat dingin mulai muncul di belakang leherku. Buku yang tadi kupelajari mendadak tak lagi menarik. Suara lembaran halaman yang kubalik terasa lebih keras dari biasanya. Aku mencoba mengabaikan mereka, mencoba menenangkan diriku sendiri. Mungkin ini hanya kebetulan. Mungkin mereka bukan siapa-siapa.

Namun, ketika aku memutuskan untuk beranjak pergi, salah satu dari mereka berdiri lebih cepat. Dia melangkah keluar beberapa langkah di depanku, sementara temannya tetap duduk. Jantungku berdegup kencang. Apakah ini peringatan? Ancaman halus yang dikemas dalam keheningan? Aku tak tahu pasti, tapi langkah-langkahku terasa semakin berat.

Ketika keluar dari perpustakaan, aku menoleh sebentar. Orang yang tadi duduk, kini juga telah berdiri dan berjalan menjauh ke arah berlawanan. Namun, ketakutan tetap bertahan. Apakah ini awal dari sesuatu yang lebih besar? Apakah pengawasan ini hanya langkah pertama dari hal-hal yang akan datang?

---

Beberapa hari setelah kejadian di perpustakaan, aku kembali mendapat telepon dari ibu. Suaranya terdengar lebih khawatir dari biasanya. Dia menyebutkan bahwa ada seseorang yang datang ke rumah, bertanya tentang aku. Seorang laki-laki asing, katanya. Mengaku dari dinas pendidikan, tapi ibu tahu lebih dari itu.

“Orangnya beda, Nak. Tatapannya nggak nyaman. Kayak sedang nyari-nyari sesuatu,” katanya dengan nada suara yang bergetar.

Aku terdiam. Laki-laki asing? Mengaku dari dinas pendidikan? Apa lagi ini? Aku tak pernah membayangkan mereka akan mulai melibatkan keluarga. Pikiran bahwa ibu—dan mungkin keluargaku yang lain—sedang diawasi membuat rasa takut itu semakin pekat. Rasanya seperti perangkap semakin menutup di sekelilingku, sedikit demi sedikit, tanpa aku sadari. Tapi, meskipun begitu, aku berusaha menenangkan ibu.

“Itu mungkin cuma salah paham, Bu. Jangan terlalu khawatir,” jawabku, meskipun hati kecilku menolak kata-kata itu.

Setelah menutup telepon, aku menyandarkan tubuh di dinding, merenung. Ketakutan itu bukan lagi halus atau samar. Mereka mulai bergerak lebih terbuka. Rasanya, mereka ingin aku tahu bahwa mereka memperhatikanku, mengamatiku setiap langkah. Ada sebuah pola yang sedang dimainkan di sini, dan aku adalah bagian dari permainan mereka.

Tapi, meski begitu, aku tahu aku tak bisa mundur. Setiap hari, teman-temanku dan aku selalu berbicara tentang pentingnya perjuangan ini. Tentang hak-hak yang direnggut, tentang kebebasan yang perlahan-lahan digerus oleh kekuasaan. Di titik ini, melangkah mundur hanya akan memperkuat posisi mereka. Tetapi di setiap keputusan yang kuambil, aku sadar bahwa resikonya semakin tinggi. Mereka semakin dekat. Mereka mulai menunjukkan wujudnya.

Dan aku, di tengah semua tekanan ini, berusaha mengingatkan diri bahwa tak ada perjuangan yang mudah. Bahwa jalan menuju kebebasan memang selalu dibentengi oleh rasa takut.

---

Malam itu tampak biasa saja. Aku dan beberapa kawan baru saja selesai membahas rencana aksi yang akan kami gelar beberapa hari ke depan. Sebuah pertemuan sederhana di rumah kontrakan Andi yang sudah menjadi semacam markas kecil bagi kami. Lina duduk di sudut, mengelap kacamata yang buram oleh uap dari cangkir teh yang baru saja ia seduh. Andi berdiri di depan papan tulis, tangannya sibuk menggambar rute demonstrasi yang akan kami lalui. Ada beberapa kawan lain yang juga hadir, semua fokus pada persiapan, meski aku bisa melihat ada rasa lelah yang menggantung di wajah mereka.

Ketika pertemuan usai, kami saling berpamitan seperti biasa. Tidak ada yang terasa berbeda. Hanya ada angin malam yang sedikit lebih dingin dari biasanya ketika aku melangkah keluar dari rumah itu, mengucapkan salam singkat kepada Andi sebelum akhirnya berpisah jalan.

Jalanan menuju kosku sepi. Lampu-lampu jalanan redup, memancarkan cahaya kekuningan yang lemah. Aku sudah terbiasa dengan keheningan ini. Kota yang biasanya riuh di siang hari berubah sepi di malam. Suara deru motor yang melintas di kejauhan hanya sesekali memecah keheningan. Aku memasukkan kedua tanganku ke saku jaket, mencoba menghalau dingin yang mulai merayap. Pikiranku masih sibuk memikirkan rencana aksi besok—rute, peserta, dan bagaimana memastikan semuanya berjalan aman.

Namun, hanya beberapa langkah setelah aku berbelok di ujung jalan, keheningan itu pecah dengan cara yang tak terduga. Sebuah mobil van berhenti mendadak di sampingku. Pintu gesernya terbuka lebar tanpa suara peringatan. Sebelum aku sempat bereaksi, beberapa sosok keluar dari dalamnya. Mereka bergerak cepat, cekatan seperti bayangan yang tak memberi kesempatan untuk berteriak atau melawan.

Aku mencoba berontak, tetapi semuanya sia-sia. Salah satu dari mereka meraih lenganku, menariknya ke belakang dengan kekuatan yang membuat sendiku hampir patah. Mulutku ditutup dengan kasar, napasku tercekik dalam kain yang entah kapan melingkar di wajahku. Aku meronta, mengayunkan kaki, mencoba mencari celah, tapi tubuhku terasa tak berguna. Semua terjadi terlalu cepat. Hanya dalam hitungan detik, dunia yang kukenal seakan lenyap begitu saja.

Aku dilemparkan ke dalam van itu, jatuh menabrak dinding logam yang dingin dan keras. Sekelompok tangan masih menggenggam erat tubuhku, seolah-olah mereka takut aku akan menghilang. Seseorang memasang penutup mata di wajahku, gelap gulita, menambah keheningan yang semakin menyesakkan. Mereka bergerak dalam diam, tanpa satu pun kata keluar dari mulut mereka. Hanya ada desah napas yang berat dan gemetar, sementara suara mesin van yang mulai melaju membuatku sadar bahwa aku telah dibawa entah ke mana.

Lihat selengkapnya