SETIAP detik terasa panjang saat terkekang. Detak jam yang tak terdengar seolah berhenti, meninggalkan kami dalam kehampaan yang mencekam. Setelah berhari-hari—atau mungkin berminggu-minggu—menghadapi siksa fisik dan mental, satu hal yang selalu memberiku sedikit kekuatan adalah keberadaan tahanan lain. Kami jarang bicara, dan ketika pun bicara, hanya sepatah dua patah kata yang keluar, namun kehadiran mereka, di sudut ruangan atau di sampingku saat kami dibawa keluar, memberi perasaan bahwa aku tidak sendirian dalam penderitaan ini.
Namun, semua berubah ketika suatu malam, aku terbangun oleh suara langkah yang berat. Langkah-langkah itu datang dari ujung lorong. Aku tahu persis siapa yang mereka cari. Orang itu, seorang tahanan yang lebih lama berada di sini daripada aku, adalah satu-satunya sosok yang seakan-akan tak pernah tunduk pada ketakutan. Namanya, aku tak pernah tahu. Tapi cara dia berbicara, cara dia menahan setiap pukulan dan cambukan tanpa keluhan, memberi kami semua rasa hormat yang mendalam. Dia adalah benteng moral di antara kami yang terpenjara—bukan karena kekuatan fisiknya, tapi karena ketahanan mental yang dia tunjukkan.
Ketika mereka datang, dia hanya mengangguk pelan, tanpa perlawanan. Aku bisa melihat matanya sekilas ketika ia melewati pintu selku. Tak ada ketakutan di sana, hanya sebuah ketenangan yang begitu dalam. Seolah-olah dia sudah tahu bahwa waktunya akan tiba, dan ketika itu datang, dia sudah siap. Namun, aku tidak siap. Aku tak pernah benar-benar membayangkan apa yang akan terjadi jika dia diambil dari kami.
Malam itu, setelah pintu selku tertutup kembali, sunyi yang menyesakkan mengambil alih. Biasanya, ketika dia ada, sunyi itu terasa lebih ringan. Keberadaannya, meski diam, adalah penegasan bahwa kami masih bisa bertahan. Tapi sekarang, dengan dia pergi, keheningan yang pekat merayap masuk, memenuhi setiap sudut ruangan, setiap celah pikiranku.
Berjam-jam aku menunggu, berharap mendengar suara langkah kakinya kembali. Biasanya, mereka akan mengembalikan tahanan setelah interogasi—meskipun dengan tubuh yang lebih lemah, wajah yang lebih pucat, dan mata yang lebih kosong. Tapi malam itu, tak ada langkah yang kembali. Tak ada pintu yang terbuka. Hanya kesunyian.
Keesokan harinya, saat penjaga datang untuk memberi kami makanan—sepotong roti kering dan air yang keruh—aku mencoba mencuri pandang ke arah tempat dia biasa duduk. Kosong. Mereka tidak membawanya kembali.
Saat itulah rasa takut mulai merayap masuk, bukan rasa takut akan siksaan fisik, tapi rasa takut akan hilangnya harapan. Dia adalah satu-satunya yang tampak kuat di antara kami. Jika dia bisa diambil begitu saja, tanpa jejak, apa yang akan terjadi padaku? Apa yang akan terjadi pada kami semua?
Hari-hari berikutnya berlalu tanpa kabar tentangnya. Tahanan-tahanan lain tampak lebih sunyi dari biasanya. Beberapa menunduk, seolah tidak ingin melihat kenyataan bahwa salah satu dari kami sudah hilang. Yang lain, matanya melayang ke dinding, memandang kosong ke arah yang tidak pasti, mungkin mencoba melupakan. Aku sendiri mulai merasakan kekosongan yang semakin dalam. Sebelum ini, aku merasa masih ada sesuatu yang bisa kuandalkan—meskipun hanya sekadar keberadaan seseorang di dekatku. Tapi sekarang, semuanya terasa hampa. Seakan-akan ruang ini semakin sempit, dinding-dindingnya semakin menekan, menghalangi udara untuk masuk.
Setiap kali suara langkah-langkah itu terdengar dari kejauhan, hatiku mencelos. Apakah aku yang akan diambil berikutnya? Apakah giliranku sudah dekat? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui setiap tidurku, setiap detik aku terjaga. Dan perlahan, aku menyadari bahwa strategi mereka bukan hanya memukul dan mencambuk tubuhku. Mereka ingin memecah mental kami, satu per satu, hingga kami tak lagi punya harapan untuk bertahan.
Hilangnya tahanan itu bukan hanya kehilangan fisik. Dia adalah simbol bahwa kami masih bisa bertahan meskipun di bawah tekanan luar biasa. Dengan hilangnya dia, aku mulai meragukan segalanya. Apakah benar masih ada gunanya bertahan? Apakah ini semua hanya bagian dari rencana mereka untuk membuat kami hancur dari dalam?
Aku teringat pada percakapan singkat dengannya beberapa minggu lalu, di sela-sela saat interogasi. Wajahnya penuh dengan bekas luka, tapi matanya tetap tenang. “Jangan biarkan mereka masuk ke kepalamu,” katanya waktu itu. “Tubuh kita bisa mereka siksa, tapi pikiran kita, itu masih milik kita.” Waktu itu aku tak sepenuhnya mengerti apa yang dia maksud, tapi sekarang, kata-katanya mulai terasa benar.
Tubuhku memang telah dihancurkan, tetapi pikiranku, itulah yang masih bisa kupertahankan. Dan mungkin, itulah yang menjadi medan perang sesungguhnya. Mereka mungkin sudah berhasil menghancurkan banyak dari kami secara fisik, tapi mereka belum menang jika pikiran kami masih bebas. Tapi dengan setiap hari yang berlalu, setiap keheningan yang semakin dalam, aku merasa perjuangan ini semakin berat.
Sunyi menjadi musuhku yang baru. Setiap detik yang berlalu tanpa suara hanya memperdalam kekosongan yang kurasakan. Aku mulai merasakan sesuatu yang baru—sebuah rasa takut yang tak terdefinisi. Ini bukan lagi ketakutan akan siksaan, tapi ketakutan akan hilangnya diriku sendiri, bukan secara fisik, tapi secara mental. Apakah aku akan bisa bertahan seperti dia? Ataukah aku juga akan hilang, perlahan-lahan, dalam sunyi ini?
Dan begitulah hari-hari berlalu, dengan perasaan sunyi yang semakin menyesakkan. Aku tahu sekarang bahwa hilangnya dia adalah bagian dari strategi mereka. Mereka ingin kami hancur satu per satu, bukan hanya tubuh kami, tetapi juga pikiran kami. Dan sekarang, di tengah kehampaan ini, aku harus mencari cara untuk melawan, sebelum aku juga menghilang dalam sunyi.
---
Aku mulai bertanya-tanya, sudah berapa lama aku di sini. Setiap hari terasa sama, meski tubuhku tahu bahwa waktu terus berjalan. Tapi, di tempat ini, waktu tak lagi punya arti. Jam dan menit hanyalah konsep yang kabur, tenggelam dalam gelapnya dinding-dinding yang mencekam. Terlebih, tak ada suara-suara yang biasanya memberi isyarat bahwa waktu bergerak—tak ada burung yang berkicau, tak ada suara manusia yang berbisik lembut seperti angin yang melintas di luar sel ini. Dunia luar tampak seperti mimpi yang semakin memudar. Mungkin sudah berbulan-bulan aku di sini, mungkin lebih lama. Aku tak tahu lagi.
Aku mencoba mencari tahu. Di antara siksaan dan malam-malam sunyi, aku berusaha berbicara dengan tahanan lain. Terkadang, saat kami dipertemukan sejenak di lorong atau ruang interogasi, aku akan mengajukan pertanyaan sederhana.
"Apa kau tahu apa yang terjadi di luar?" tanyaku pada salah satu dari mereka. Namun, yang kuterima hanyalah tatapan kosong, atau lebih sering, tatapan waspada. Seolah-olah, bahkan bertanya tentang dunia luar adalah dosa besar. Tak ada yang berani bicara, dan aku tak bisa menyalahkan mereka.
Aku juga menyadari bahwa aku harus berhati-hati dengan para penjaga. Sekali aku mencoba menyinggung sesuatu ketika seorang penjaga membawa makananku. Hanya pertanyaan kecil, mungkin terlontar tanpa sengaja karena keputusasaan yang makin menggumpal.
"Ada berita apa dari luar?" tanyaku, mencoba menyembunyikan ketegangan dalam suaraku. Jawaban yang kudapat adalah sorot mata tajam dan langkah berat yang semakin mendekat. Tanpa peringatan, tinjunya menghantam perutku, membuat napasku terhenti seketika.
"Apa urusanmu dengan dunia luar?" katanya sambil menggeram, suaranya dingin dan menusuk. "Dunia luar sudah melupakanmu."
Kata-kata itu menggema dalam kepalaku lama setelah rasa sakit di perutku mereda. Dunia luar sudah melupakanmu. Aku teringat keluargaku, teman-temanku, gerakan yang pernah kubela mati-matian. Apakah mereka benar-benar melupakan aku? Ataukah itu hanya permainan pikiran dari para penjaga ini, sebuah cara lain untuk menghancurkan semangatku?
Setelah kejadian itu, aku berhenti bertanya kepada para penjaga. Tapi rasa haus akan informasi terus membakar dadaku. Aku masih ingat bagaimana sebelum ini, setiap hari dipenuhi dengan perbincangan tentang keadaan di luar—protes-protes yang terus berkembang, pergerakan yang semakin kuat di seluruh kota. Sekarang, seakan semua itu tak lebih dari bayangan samar dalam ingatanku. Aku berusaha bertanya pada diriku sendiri: apakah mereka terus berjuang di luar sana, ataukah semuanya telah runtuh?
Tak ada yang bisa memberi jawaban. Setiap kali aku mengajukan pertanyaan kepada sesama tahanan, mereka hanya menunduk, mengalihkan pandangan, atau lebih sering pura-pura tak mendengar. Aku tak tahu apakah mereka takut berbicara, ataukah mereka benar-benar tak tahu apa yang sedang terjadi di luar sana. Mungkin keduanya. Aku menduga sebagian dari mereka sudah lama menyerah pada keinginan untuk tahu apa yang terjadi di dunia luar. Fokus mereka hanya satu—bertahan hidup, hari demi hari, tanpa memikirkan apapun yang berada di luar dinding-dinding ini.
Suatu hari, saat kami semua berbaris dalam perjalanan kembali dari interogasi, aku mencoba lagi, kali ini dengan seorang tahanan yang wajahnya sudah tak asing bagiku. Dia pria tua dengan rambut yang mulai memutih, tubuhnya lemah tapi sorot matanya tajam. Aku merasa mungkin dia tahu sesuatu. "Apakah kau dengar berita dari luar?" bisikku pelan, berusaha tak menarik perhatian penjaga yang mengawasi kami dari kejauhan.
Pria itu melirikku sekilas, tapi kemudian cepat-cepat menunduk lagi, seolah-olah pertanyaanku adalah sesuatu yang berbahaya. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya, hanya langkah-langkah berat yang terus menggema di lorong sempit itu. Kekecewaan memenuhi dadaku, tapi juga rasa takut. Jika orang sepertinya, yang mungkin sudah bertahun-tahun di sini, tak berani menjawab pertanyaanku, apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Setiap usaha untuk mendapatkan informasi hanya berakhir dengan kebuntuan. Mungkin memang benar, seperti yang dikatakan penjaga itu, bahwa dunia luar telah melupakanku. Kebenaran ini, jika memang benar adanya, mulai menghancurkan sisa-sisa harapan yang masih tersisa di hatiku. Aku mulai merasa terputus sepenuhnya dari kehidupan sebelumnya. Dulu, aku berpikir bahwa ada garis tak kasat mata yang masih menghubungkanku dengan dunia di luar sana. Garis itu, kini terasa semakin tipis, nyaris tak ada.
Hari demi hari, aku merasa diriku semakin jauh dari kenyataan. Waktu menjadi konsep yang tak lagi relevan. Pagi dan malam terasa sama saja, dan tanpa ada kabar dari luar, segala hal yang pernah aku ketahui mulai memudar. Aku bahkan tak bisa lagi mengingat kapan terakhir kali aku melihat langit, atau kapan aku mendengar suara-suara yang tak berasal dari ruangan ini—suara angin, suara orang-orang yang hidup di luar sana.
Ada saat-saat di mana aku mulai meragukan keberadaan dunia luar itu sendiri. Mungkinkah semua yang terjadi di luar sana hanyalah khayalanku, bayangan yang tercipta dari rasa rindu yang mendalam? Apakah mungkin, dalam penjara ini, aku mulai kehilangan pijakan pada kenyataan? Jika tak ada lagi kabar, tak ada lagi bukti bahwa dunia luar masih ada, bagaimana aku bisa yakin bahwa aku masih terhubung dengan sesuatu di luar diriku?
Dinding-dinding sel ini, yang dulu hanya terlihat seperti penjara fisik, kini berubah menjadi batas yang lebih dalam—batas antara aku dan kenyataan di luar. Dan semakin hari, aku merasa kenyataan itu perlahan menghilang, tergantikan oleh kegelapan yang terus merayap masuk. Aku mulai kehilangan orientasi, tidak hanya dalam waktu, tetapi juga dalam pemahaman diriku sendiri. Tanpa informasi, tanpa kabar, aku hanyalah seonggok tubuh yang terus mencoba bertahan di antara bayangan dan sunyi.
---
Aku terikat di kursi besi itu lagi, seperti hari-hari sebelumnya. Ruangan ini selalu sama, suram dan dingin. Cahaya dari lampu kuning di sudut ruangan menciptakan bayangan tajam di dinding, membuat setiap gerakan terlihat lebih besar, lebih mengancam. Di depanku, duduk seorang pria yang wajahnya tak asing. Mungkin karena aku sudah sering melihatnya selama sesi interogasi ini. Pria itu bukan penjaga biasa—dia lebih licik, lebih halus dalam cara bicaranya. Wajahnya tidak memperlihatkan kekejaman seperti yang lain, tapi justru itulah yang membuatku waspada. Senyum kecil yang selalu menghiasi bibirnya membuatku merasa bahwa ada sesuatu yang lebih jahat di baliknya.
"Kamu tahu, kami bisa membuat semuanya berakhir," katanya dengan nada lembut, seolah menawarkan sebuah jalan keluar yang mudah.
Aku tetap diam, menatapnya tanpa ekspresi.
"Kamu tidak perlu mengalami semua ini lagi. Kami hanya butuh beberapa nama. Setelah itu, kamu bebas. Kamu bisa pulang, bertemu keluargamu, teman-temanmu. Hidup normal lagi."
Kata-katanya menggantung di udara, seakan harapan bisa datang begitu saja dengan hanya satu keputusan sederhana. Tapi aku tahu, itu tidak sesederhana itu. Semua yang keluar dari mulut mereka hanyalah kebohongan yang terbungkus dalam janji-janji palsu. Tapi di dalam hatiku, sebuah rasa rindu yang mendalam muncul. Rindu untuk pulang, rindu untuk melihat wajah keluargaku, mendengar suara ibu yang lembut, atau bercanda dengan teman-teman aktivisku lagi. Rasa rindu ini seperti duri yang menusuk hati, membuat pikiran-pikiranku terbelah.
"Tidak perlu merasa bersalah," lanjutnya. "Mereka mungkin sudah tertangkap juga. Kamu hanya perlu memberitahu kami siapa yang memimpin kelompokmu. Kami tahu kamu orang yang penting di dalamnya. Kami hanya ingin informasi. Itu saja."
Dia berhenti sejenak, melihat reaksiku. Aku tetap diam, meskipun dalam hatiku ada gelombang perasaan yang mulai bergolak. Apa yang terjadi dengan mereka di luar? Apakah benar mereka sudah tertangkap? Ataukah mereka masih bebas, masih melanjutkan perjuangan ini? Dan jika memang mereka tertangkap, apakah aku harus menyelamatkan diriku sendiri dengan mengkhianati mereka?
Pria itu tahu, dia bisa melihat pergulatan batin yang sedang terjadi di dalam diriku. Senyumnya melebar sedikit. Seperti predator yang mencium aroma mangsanya.
"Kamu tahu, kami tidak meminta banyak. Hanya satu atau dua nama saja. Siapa yang akan tahu? Bahkan teman-temanmu tidak perlu tahu bahwa kamu yang memberitahu kami. Mereka akan tetap mengira bahwa kamu adalah pahlawan yang gigih bertahan. Bukankah lebih baik begitu, daripada mati sia-sia di sini?"
Kata-katanya merayap seperti ular, menyelinap ke dalam pikiranku, memunculkan bayangan dilema moral yang sangat berat. Aku bisa membayangkan ibu menangis di rumah, cemas tak tahu di mana anaknya berada. Aku bisa membayangkan teman-temanku, yang mungkin sekarang juga sedang merasakan siksaan yang sama, atau lebih buruk. Tapi di satu sisi, aku tahu, jika aku menyerah, mereka yang berada di luar sana akan hancur. Gerakan yang sudah kami bangun dengan penuh pengorbanan ini akan runtuh. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi. Tidak, aku tak boleh menyerah.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Bagaimanapun caranya, aku harus bertahan,” pikirku. Aku menatap pria itu lagi, kali ini dengan mata yang lebih tajam. Mungkin dia pikir dia bisa memanipulasiku, membawaku ke dalam jebakan dengan kata-kata manisnya. Tapi aku sudah bersumpah, tidak akan ada satu pun nama yang keluar dari mulutku.
Melihat bahwa usahanya tidak berhasil, pria itu berdiri dan melangkah menuju meja di sudut ruangan. Dari dalam laci, dia mengeluarkan sesuatu—selembar foto. Lalu dia kembali duduk di depanku, meletakkan foto itu di atas meja kayu kasar di antara kami.
Aku menatap foto itu, dan darahku terasa membeku seketika. Itu foto keluargaku. Ibuku, ayahku, dan adikku, semua berdiri di depan rumah, terlihat seperti baru saja difoto beberapa waktu yang lalu. Wajah mereka tampak cemas, seolah-olah mereka tahu bahwa ada sesuatu yang salah. Hatiku mencelos. Bagaimana mereka bisa mendapatkan ini? Apakah mereka mengintai keluargaku juga? Apakah mereka mengancam mereka? Tiba-tiba, rasa takut yang selama ini hanya kusimpan untuk diriku sendiri, menyebar ke mereka yang paling kusayangi.
Pria itu melihat perubahan di wajahku, dan lagi, dia tersenyum. "Kami tahu di mana mereka," katanya pelan. "Jangan khawatir, mereka masih aman... untuk saat ini. Tapi kita tidak tahu sampai kapan itu bisa terjadi. Jika kamu bekerja sama, kami akan memastikan mereka tetap aman. Jika tidak..."
Dia tak perlu menyelesaikan kalimatnya. Ancaman itu sudah jelas. Aku merasakan air mata hampir menetes, tapi kutahan. Aku tak boleh terlihat lemah di depan mereka. Ketakutan dan kecemasan bercampur aduk di dalam diriku, namun di balik itu semua, aku juga merasa marah. Begitu keji mereka menggunakan orang-orang yang aku cintai sebagai alat untuk menghancurkan semangatku.
"Mereka akan baik-baik saja," aku meyakinkan diriku sendiri. Aku tahu aku tak bisa percaya pada apapun yang mereka katakan. Ini semua hanya bagian dari permainan kotor mereka. Mereka ingin menghancurkan mental dan kemanusiaanku, membuatku takluk pada keinginan mereka. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri, apapun yang terjadi, aku tidak akan menyerah. Tidak akan ada nama yang keluar dari mulutku, meski harus menghadapi siksaan yang lebih berat dari sebelumnya.
Aku menatap pria itu dengan tekad yang sudah kubulatkan, meski di dalam hatiku aku tahu ini hanya akan membuat mereka semakin kejam. Tapi itu harga yang harus kubayar, dan aku rela membayarnya.
"Ambil saja nyawaku," bisikku pelan, "tapi aku tidak akan mengkhianati mereka."
---
Mereka menyeretku lagi ke ruang yang sama, ruang di mana aku sudah tahu betul setiap sudut, setiap retakan kecil di tembok kusamnya. Tak ada jendela di sini, tak ada cahaya selain dari lampu di langit-langit yang redup dan seolah mempermainkan bayangan kami. Duduk di kursi yang dingin, besi di lenganku terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku sudah tak tahu lagi hari keberapa ini, tetapi tubuhku kini lebih peka terhadap setiap tekanan, setiap gigitan rasa sakit. Perasaan hampa dan lelah mulai menyelimuti, seperti kabut yang perlahan menutupi pikiranku.