GELAP di ruangan itu pekat. Mata tak mampu menembus hitamnya udara yang seakan menekan. Suara derit pintu besi dan langkah kaki yang berat memecah keheningan. Seorang tahanan baru dilemparkan ke dalam sel. Aku, yang tubuhnya sudah terkulai lemah di sudut, mencoba membuka mata, memandang dengan sisa-sisa kesadaranku yang masih bertahan.
Orang ini berbeda. Wajahnya keriput, namun matanya tajam. Dia membawa kesan tenang, meskipun ada bekas-bekas siksaan yang tampak jelas di tubuhnya. Langkahnya sedikit tertatih, tapi saat duduk di seberangku, tidak ada isyarat ketakutan yang biasanya terpancar dari tahanan-tahanan baru. Dia menatapku dengan sorot mata yang penuh kebijaksanaan, seakan bisa melihat jauh ke dalam diriku.
"Apa kau baru di sini?" tanyaku, suaraku hampir berbisik, lemah oleh rasa sakit yang menyelubungi tubuhku. Dia mengangguk pelan, tapi tanpa raut putus asa.
"Ya. Tapi bukan pertama kali," jawabnya dengan nada tenang. "Aku sudah pernah melewati ini sebelumnya."
Aku menatapnya lebih lama, tak percaya. Bagaimana bisa seseorang yang telah menghadapi penyiksaan berulang kali masih bisa membawa ketenangan seperti ini? Di tempat ini, setiap tetes waktu adalah siksaan, setiap tarikan napas adalah penderitaan yang tak pernah surut. Namun dia duduk di depanku seakan-akan ruangan dingin dan gelap ini hanyalah sebuah persinggahan sementara.
Dia menatapku kembali, seolah membaca pertanyaan di mataku. "Di sini," katanya, "kekuatan terbesar bukanlah di tangan atau otot. Kekuatan ada di sini." Tangannya menunjuk ke dada, tepat di atas jantungnya. "Mereka bisa mematahkan tulang kita, merobek kulit kita, tapi mereka tak bisa menjamah martabat kita kalau kita tak mengizinkannya."
Aku terdiam. Kata-katanya seperti menghantamku dari dalam. Di sini, di tempat di mana manusia diperlakukan lebih rendah dari binatang, apa gunanya martabat? Tapi tatapan matanya meyakinkanku bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa sakit dan penderitaan fisik.
"Namaku Aryo," dia memperkenalkan diri, sembari tersenyum tipis. "Aku pernah ditangkap dua kali sebelumnya. Setiap kali mereka mencoba memecahkan hatiku, aku selalu ingat bahwa perlawanan kita bukan soal siapa yang memukul lebih keras, tapi soal siapa yang tetap berdiri di akhir."
Aku merasa lidahku kelu, namun pertanyaan itu mendesak keluar. "Tapi bagaimana bisa bertahan? Setiap hari di sini, aku merasa semakin hancur. Apa gunanya semua ini kalau kita akhirnya mati di sini tanpa arti?"
Aryo memandangku lama sebelum menjawab. "Tentu saja, kita semua bisa mati di sini. Tapi kematian bukanlah kekalahan jika kita mati dengan mempertahankan apa yang kita yakini. Kita tidak harus melawan mereka dengan kekerasan, karena itu yang mereka inginkan. Mereka ingin kita hancur, kehilangan martabat, menyerah pada amarah dan ketakutan. Tapi jika kita bisa bertahan dengan kepala tegak, bahkan dalam kesakitan, kita sudah menang."
Aku menarik napas panjang, mencoba mencerna apa yang dia katakan. Di tempat seperti ini, di mana setiap harapan terkikis, Aryo berbicara seolah masih ada yang bisa diselamatkan, bahkan dalam kekalahan. Martabat, harga diri, rasa kemanusiaan.
"Aku tahu apa yang kau rasakan," katanya, suaranya lembut, namun tegas. "Saat siksaan datang, saat tubuhmu hampir tak sanggup lagi, kau berpikir untuk menyerah. Tapi menyerah bukan berarti akhir. Kau masih bisa memilih bagaimana kau ingin menghadapi penderitaan itu. Mungkin kita tak bisa melawan mereka secara fisik, tapi kita bisa memilih untuk tidak tunduk. Kita bisa bertahan dengan hati kita tetap tegak."
Ada sesuatu dalam kata-katanya yang menembus kesunyian batin yang selama ini membelengguku. Aku merasa semangatku yang telah lama padam, meski kecil, mulai menyala lagi. Di tengah kesakitan yang tak pernah henti ini, Aryo memberi perspektif baru yang belum pernah terpikirkan olehku. Dia tidak berbicara tentang balas dendam atau kemenangan fisik. Dia berbicara tentang kekuatan dalam kelemahan, tentang bertahan hidup dengan cara yang berbeda—cara yang mungkin tak terlihat, tapi lebih dalam maknanya.
"Aku pernah mengalami banyak hal," lanjut Aryo, suaranya menjadi lebih pelan. "Siksaan, kehilangan teman-teman seperjuangan, bahkan hampir kehilangan jiwaku sendiri. Tapi aku selalu ingat bahwa selama kita tidak menyerah, kita masih punya harapan. Mungkin bukan harapan untuk bebas, tapi harapan untuk tetap menjadi manusia. Di sini, di tempat ini, mereka mencoba menghapus kemanusiaan kita. Tapi kita masih punya kendali atas bagaimana kita merespons. Itulah kekuatan kita."
Aku merasa bibirku bergetar. "Tapi apakah benar kita bisa menang dengan cara itu?"
Aryo menatapku tajam. "Menang tidak selalu berarti keluar sebagai pemenang. Menang bisa berarti kita tetap hidup dengan keyakinan kita utuh. Itulah kemenangan sejati."
Di sela-sela perbincangan kami, terdengar langkah kaki para penjaga mendekat. Waktu kami tidak banyak. Aryo berdiri perlahan, mendekatkan wajahnya ke arahku. "Ingat, mereka bisa merampas semuanya dari kita, kecuali satu hal: bagaimana kita memilih menghadapi ini."
Aku mengangguk pelan, mencoba memahami kedalaman kata-katanya. Meski tubuhku masih lemah, ada sesuatu yang terasa lebih kuat dalam diriku. Martabat. Itu mungkin satu-satunya yang tersisa, dan aku akan mempertahankannya. Aku menyadari, untuk bertahan hidup di tempat ini, tidak melawan secara frontal bukanlah tanda kelemahan, melainkan cara bertahan yang lebih bijak.
Langkah Aryo yang menjauh meninggalkan kesan mendalam. Di balik luka dan keletihan yang mendera, aku tahu bahwa ada kekuatan yang tidak bisa mereka hancurkan: kekuatan untuk tetap menjadi manusia, apa pun yang terjadi.
---
Hari-hari di tempat ini selalu sama. Tak ada penanda waktu kecuali derap langkah penjaga, jeritan yang sesekali terdengar dari sel sebelah, dan bau darah yang tak pernah benar-benar hilang. Ruang ini, yang terasa semakin menyempit, menjebak tubuh dan pikiran. Namun pada suatu hari, ada kabar yang tiba-tiba berembus di antara celah bisikan para tahanan lain.
“Kau dengar?” Suara parau dari seorang tahanan tua yang selama ini hampir tak pernah bicara mengawali percakapan itu. Aku hanya menatapnya, tak banyak bereaksi, tubuhku terasa terlalu lelah untuk bereaksi cepat. Namun, kata-kata berikutnya berhasil menembus tembok apati yang mulai tumbuh di hatiku.
“Di luar... ada pergerakan. Mereka mulai mencari orang-orang yang hilang.”
Kata-katanya seolah menggetarkan sesuatu di dalam dadaku, sesuatu yang selama ini kukira telah mati. “Pergerakan?” gumamku, antara yakin dan tidak. “Siapa yang mencari?”
Lelaki tua itu menatapku dengan tatapan kosong, namun ada secercah harapan di balik matanya yang sayu. “Orang-orang di luar. Keluarga, teman-teman. Ada desakan untuk membebaskan mereka yang diculik. Termasuk kita.”
Sekilas harapan itu terasa seperti sebuah angin segar di tengah kegersangan yang menyesakkan ini. Keluargaku—mungkinkah mereka masih mencariku? Apakah Ibu masih duduk di beranda, menunggu kabar yang tak pernah datang? Atau mungkin teman-teman seperjuanganku di kampus, mereka yang selalu meneriakkan keadilan—apakah mereka masih berusaha mencari kami, meski jejak-jejak kami terhapus?
Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat. Harapan yang kurasakan berubah menjadi kegelisahan. Aku tahu, di sini, kabar baik selalu disertai dengan keraguan. Sesuatu dalam benakku mendorongku untuk tidak terlalu percaya, untuk tetap waspada. Mungkin ini hanyalah bagian dari permainan para penyiksa, bagian dari taktik manipulatif yang mereka lakukan agar kami semakin terpuruk.
“Apa kau yakin?” tanyaku kepada lelaki itu, nadaku mulai goyah antara harapan dan ketakutan.
Lelaki itu mengangkat bahunya. “Tidak ada yang bisa dipastikan di sini, Nak. Tapi ada desas-desus yang menyebar. Mereka tak bisa menahan semuanya. Suara dari luar kadang berhasil masuk.”
Kata-kata itu terus berputar di dalam pikiranku. Suara dari luar. Apakah mungkin orang-orang di luar sana benar-benar masih peduli? Ataukah semua yang kami lakukan selama ini sia-sia—sekadar teriakan-teriakan yang tenggelam di balik tirani kekuasaan?
Sejak kudengar kabar itu, pikiranku tak pernah benar-benar tenang. Harapan, meski kecil, mulai tumbuh di sela-sela rasa sakit yang setiap hari menjerat tubuhku. Aku mulai membayangkan kembali wajah-wajah yang pernah menjadi bagian dari kehidupanku—ibu, bapak, adik-adikku. Aku membayangkan mereka duduk di ruang tamu, menatap pintu dengan penuh harap. Apakah mereka tahu aku di sini? Apakah mereka masih berdoa untuk keselamatanku?
Di malam-malam panjang ketika tubuhku tak bisa lagi melawan rasa sakit, aku berpikir tentang para sahabatku di kampus. Mereka yang dulu berjalan bersamaku di jalanan, meneriakkan keadilan dengan penuh semangat. Apakah mereka sudah lupa, ataukah mereka masih melawan? Masih ada yang meneriakkan namaku di rapat-rapat rahasia, berharap suara mereka didengar oleh dunia luar?
Namun, aku juga tahu bahwa harapan bisa menjadi jebakan yang paling kejam. Ketika kau terlalu percaya pada janji-janji yang belum pasti, rasa kecewa yang akan datang bisa menghancurkanmu lebih dalam daripada siksaan fisik. Itu sudah pernah kulihat pada tahanan lain. Mereka yang terlalu percaya pada kabar baik, berharap bahwa kebebasan sudah dekat. Mereka hancur ketika harapan itu ternyata hanya ilusi, ketika hari demi hari berlalu tanpa perubahan.
Aku tidak bisa membiarkan diriku jatuh ke dalam perangkap yang sama. Ya, mungkin ada pergerakan di luar sana. Mungkin keluargaku masih mencari. Tapi itu bukan jaminan. Di tempat ini, apa pun bisa terjadi—bahkan harapan terkecil bisa lenyap dalam sekejap.
Malam itu, aku terjaga dalam gelap, berbaring di lantai dingin yang berbau anyir darah. Tubuhku masih terasa lemah, nyeri di punggungku tak kunjung hilang, namun pikiranku terus bergerak. Apakah benar ada orang yang berjuang di luar sana? Apakah aku masih dianggap ada, ataukah namaku hanya menjadi salah satu dari sekian banyak yang terlupakan? Apakah aku sudah menjadi salah satu dari “yang hilang,” yang tak lagi diingat?
Aku tak bisa menahan diri dari berpikir tentang apa yang akan terjadi jika mereka berhasil menemukan kami. Jika benar ada pergerakan, jika benar ada orang-orang yang memperjuangkan nasib kami, apa yang akan kami temukan saat kebebasan itu datang? Apakah kami masih bisa kembali ke kehidupan kami yang dulu? Apakah aku masih bisa menjadi bagian dari keluarga yang kutinggalkan? Atau, mungkinkah tempatku di dunia ini sudah hilang, terkubur bersama identitasku yang hancur di tempat ini?
Bisikan-bisikan tentang dunia luar terus menghantui pikiranku. Setiap kali aku mencoba melupakan, harapan itu kembali membangkitkan diriku. Mungkin, hanya mungkin, ada secercah cahaya di ujung terowongan ini. Mungkin keluargaku masih berjuang, dan mereka tak akan menyerah sampai mereka menemukanku.
Tapi aku tahu, tak ada jaminan di tempat ini. Dunia di luar mungkin masih bergerak, tapi di sini, waktu berjalan lambat, terhenti di antara derita dan penantian. Aku harus kuat, bahkan jika harapan itu rapuh, bahkan jika kabar dari dunia luar hanyalah bayangan samar yang tak pernah menjadi kenyataan. Sebab di tengah segala kebingungan ini, satu hal yang pasti: aku masih hidup, dan selama aku masih bernapas, aku tak boleh menyerah pada harapan yang telah pudar.
---
Hari-hari di penjara ini berjalan lambat dan terasa begitu sunyi. Namun, di antara derita yang terus-menerus, ada momen-momen kecil yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Seperti angin lembut yang datang di tengah panas terik, beberapa dari kami mulai berbicara. Tak banyak yang bisa dikatakan sebenarnya, tapi percakapan itu cukup untuk mengisi kekosongan, memberi kami sedikit penghiburan di tengah derita fisik dan mental yang tiada henti.
Adalah Pram, seorang lelaki bertubuh kurus dengan mata yang selalu tampak dalam, penuh pertanyaan yang tak pernah diucapkannya secara langsung. Dia berasal dari Jawa Tengah, seorang petani yang sejak dulu menjadi pendukung pergerakan kaum tani di desanya. Di sela-sela malam yang sepi, Pram sering berbicara tentang keluarganya—tentang istrinya yang menunggunya di rumah dan anak perempuannya yang baru berusia tujuh tahun ketika dia diambil paksa dari rumahnya. Aku selalu mendengarkannya, mencoba membayangkan wajah anak perempuan itu, meski sulit untuk tidak mengingat bayangan keluargaku sendiri.
“Kau tahu,” kata Pram pada suatu malam, suaranya hampir tak terdengar karena lelah, “di tempat seperti ini, yang paling menyakitkan bukanlah pukulan atau tendangan mereka. Tapi rasa rindu pada hal-hal yang tak bisa kau miliki lagi. Rindu pada tanah yang kau tanami, rindu pada suara anak yang tertawa. Itu yang paling berat.”
Aku mengangguk, walau kami duduk dalam kegelapan yang hampir total. Pikiranku melayang pada rumahku di kampung, pada suara aliran sungai kecil di dekat halaman, pada aroma sawah yang basah setelah hujan. Dalam ingatan itu, aku mendengar suara adik perempuanku, tertawa kecil saat dia mencoba mengejar ayam-ayam di pekarangan. Ada kehangatan di sana, sesuatu yang kini terasa sangat jauh, nyaris tak bisa kuraih lagi.
Sementara Pram bicara tentang keluarganya, aku bertemu dengan Salim, seorang pria lebih muda dariku yang dulunya mahasiswa jurusan hukum. Dia diculik beberapa bulan sebelum aku, saat sedang dalam perjalanan pulang dari sebuah diskusi kecil tentang reformasi hukum di kampusnya. Pada awalnya, Salim tampak selalu pendiam, mungkin karena rasa takut yang masih menguasainya. Tapi lambat laun, aku melihat ada kemarahan yang mendidih di balik matanya yang selalu waspada.
“Kita tidak bisa terus begini,” kata Salim suatu kali ketika hanya kami berdua yang terjaga. “Mereka mengira kita akan menyerah, tapi aku tak mau mati di tempat ini. Setidaknya, kita harus mencoba melakukan sesuatu, bukan hanya menunggu kematian datang.”
Salim adalah orang yang berani, pikirku. Sementara aku, yang sering mencoba mengubur amarah dan ketakutan dengan doa dan kesabaran, melihat keberanian dalam caranya berbicara. Ada semangat yang membakar dalam diri Salim, semacam keinginan untuk bertahan bukan hanya demi hidup, tapi juga demi harga diri yang tak boleh diambil begitu saja oleh para penyiksa. Kami tak perlu bicara banyak, tetapi dalam tatapan itu, aku tahu kami berbagi semangat yang sama. Rasa marah karena ketidakadilan ini, rasa terhina karena ditelanjangi martabatnya sebagai manusia, itu menjadi benih kekuatan kami.
Di tengah kegelapan malam-malam panjang, aku juga bertemu dengan sosok lain—Pak Dullah. Lelaki tua ini sudah berada di penjara jauh sebelum kami semua. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana dia bisa sampai di sini. Beberapa mengatakan bahwa dia dulunya seorang aktivis pergerakan bawah tanah, yang hidup dalam ketidakjelasan sejak masa-masa sebelumnya, mungkin sudah lebih dari satu dekade. Pak Dullah selalu membawa ketenangan. Ada cara bicara yang lembut, penuh nasihat, yang membuat kami semua mendengarkan dengan penuh perhatian ketika dia berbicara.
“Kalian masih muda,” kata Pak Dullah suatu sore saat kami duduk berdua di pojokan sel. “Kalian harus tahu satu hal—di tempat seperti ini, bertahan hidup bukan soal fisik. Yang membuat kita bertahan adalah kepala dan hati kita. Kalian harus tetap percaya bahwa di luar sana, dunia masih ada. Meskipun kalian tak bisa melihatnya sekarang, dunia itu tetap bergerak.”