Yang Belum Kembali

Kalam Insan
Chapter #4

MENCARI

KETIKA rencana pelarian itu pertama kali dibicarakan di pojok-pojok ruangan, aku tak begitu yakin. Semua terasa seperti mimpi yang tak mungkin tercapai. Tapi waktu berlalu, dan kata-kata yang awalnya terdengar seperti bisikan angan mulai berubah menjadi sesuatu yang nyata—rencana yang perlahan-lahan disusun dengan hati-hati. Setiap harinya, rasa takut dan harapan bergulat di kepalaku, bertarung tanpa henti.

Di dalam tahanan, hari-hari kami adalah teka-teki waktu yang tak jelas batasnya. Cahaya matahari dan gelapnya malam sudah tak lagi bisa membedakan waktu. Tapi obrolan tentang pelarian ini memberikan suatu pola baru—ritme kehidupan yang menumbuhkan adrenalin dan ketegangan. Dalam gelap, aku mulai ikut mendengarkan percakapan mereka lebih cermat. Dalam bisikan-bisikan di balik jeruji, aku menemukan titik-titik kecil dari keberanian yang selama ini terkubur oleh rasa takut.

"Malam ini kita akan coba," kata salah seorang dari mereka. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas dalam kegelapan, tapi aku bisa merasakan kekuatan dalam suaranya. Tidak ada keraguan di sana, hanya keputusan yang pasti.

Aku merasa hati ini ingin memompa lebih cepat. Ada rasa harap yang muncul, meski hanya sedikit. Tapi ada juga kesadaran akan risiko besar yang mengintai. Salah langkah, dan semuanya akan berakhir.

"Kamu ikut?" Tanyanya padaku. Wajahnya mendekat, matanya menembus bayangan. Aku terdiam sesaat. Pertanyaan itu terasa seperti sebuah jurang. Di satu sisi, aku ingin melompat, terjun ke dalam ketidakpastian yang penuh bahaya. Di sisi lain, ada suara yang berkata: apa yang akan terjadi jika gagal? Apa yang akan terjadi jika kita tertangkap?

"Tentu," kataku akhirnya. Aku sendiri tak tahu dari mana kata-kata itu datang. Mungkin dari rasa putus asa, atau mungkin dari keinginan untuk kembali merasakan kebebasan walau hanya sejenak.

Sejak malam itu, aku mulai lebih serius mendalami rencana mereka. Semuanya diatur dengan cermat—gerak-gerik penjaga, waktu terbaik untuk bergerak, siapa yang bertugas di mana. Semua tahanan yang ikut serta tahu bahwa keberhasilan rencana ini hampir mustahil, tapi masing-masing dari kami memilih untuk tetap maju. Mungkin kami hanya mencoba untuk bertahan hidup dengan cara yang berbeda—dengan meyakinkan diri bahwa kami masih punya kekuatan untuk membuat keputusan.

Malam sebelum hari yang telah ditentukan, suasana di dalam sel begitu sunyi. Tidak ada yang berani berbicara terlalu banyak, seolah-olah kata-kata saja bisa menghancurkan rencana yang rapuh ini. Aku duduk di pojok sel, memandangi lantai yang dingin. Pikiranku melayang-layang, membayangkan kebebasan, membayangkan udara malam yang segar setelah berhari-hari terkungkung di dalam gelap.

Tapi bayangan itu cepat sirna saat kenyataan kembali menyentuhku. Pelarian ini bukan hanya soal keberhasilan atau kegagalan. Ini adalah taruhan hidup dan mati. Dan aku tahu bahwa kemungkinan besar kami akan tertangkap sebelum sempat keluar dari sini. Bahkan jika berhasil keluar, apa yang akan terjadi kemudian? Dunia luar mungkin tak lagi mengenali kami.

"Apa yang kau pikirkan?" Suara dari salah satu tahanan lain memecah lamunanku. Aku menoleh dan melihat dia duduk tak jauh dariku, memandangku dengan sorot mata yang serupa—samar-samar di antara putus asa dan harapan.

"Apakah kita benar-benar bisa keluar dari sini?" Tanyaku, tak mampu menyembunyikan keraguan yang mulai menyeruak dari dalam.

Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Aku tidak tahu," katanya. "Tapi satu hal yang pasti, lebih baik mati mencoba daripada mati di sini tanpa pernah berusaha."

Kata-katanya menggema dalam pikiranku. Lebih baik mati mencoba. Itu mungkin satu-satunya cara kami untuk meraih kembali kendali atas hidup kami, meski hanya sebentar. Keputusan itu sudah dibuat dalam diriku. Aku tahu apa pun yang terjadi nanti, aku akan melangkah maju bersama mereka.

Malam itu, aku tidak tidur. Tak ada yang bisa tidur ketika bayang-bayang kebebasan melayang begitu dekat namun tak terjangkau. Saat akhirnya waktu yang ditentukan tiba, kami bergerak dengan tenang, hampir tak bersuara. Setiap langkah adalah keputusan, setiap tarikan napas adalah pertaruhan. Aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat seiring kami mendekati titik yang telah direncanakan.

Di antara detik-detik yang berlalu, suara-suara kecil mulai mengganggu pikiranku. Apa yang akan terjadi jika kita tertangkap? Apakah penyiksaan akan semakin parah? Atau mungkin mereka tidak akan memberikan kesempatan kedua?

Tapi langkahku terus berlanjut, tak bisa lagi berhenti. Kini aku sudah terlalu jauh dalam rencana ini untuk mundur. Adrenalin menyelimuti pikiranku, membuatku tetap bergerak meski ketakutan menghantui setiap sudut gelap di depanku. Malam terasa semakin pekat, dan dengan setiap langkah kami menuju pada kemungkinan yang tak terelakkan—pelarian atau kehancuran.

Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang kutahu pasti: aku tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Jika malam ini adalah akhir dari semuanya, biarlah aku melangkah dengan keyakinan bahwa aku telah mencoba.

---

Hari-hari di tempat ini seperti pelan tapi pasti menggerogoti apa yang tersisa dari kekuatanku. Setiap jam terasa semakin panjang, setiap detik menjadi semakin berat. Rasanya, aku tak lagi tahu berapa lama aku sudah di sini—hari-hari saling kabur di antara siksaan dan keheningan yang penuh ancaman. Waktu yang seakan berhenti. Yang tersisa hanya detak jantungku yang pelan, seakan hanya menunggu aba-aba terakhir untuk menyerah.

Mereka yang masih bertahan bersamaku, satu per satu, hilang tanpa jejak. Ada yang diambil pada pagi buta, dengan langkah-langkah berat yang menggema di lorong sempit penjara. Suara gesekan rantai di lantai semen yang basah menjadi pertanda terakhir bahwa seseorang telah diambil, mungkin untuk tidak pernah kembali. Sementara kami yang tertinggal, hanya bisa menunggu nasib yang tak jauh berbeda.

Aku sering bertanya-tanya, apakah besok giliranku? Atau mungkin lusa? Rasanya seperti menunggu vonis mati yang tak pernah diumumkan. Kematian di sini bukanlah sesuatu yang datang dalam sekejap, tapi sesuatu yang datang perlahan, menyelinap melalui retakan semangat, mengikis tubuh dan jiwa hingga tersisa hanya cangkang kosong.

Beberapa tahanan yang sebelumnya tampak kuat, kini mulai tampak lemah, sekarat dalam diam. Ada yang bicara sendiri dalam gumaman, mencoba menghibur diri mereka sendiri dengan kenangan masa lalu yang mungkin hanya tinggal bayang-bayang. Tapi suara-suara mereka membuatku takut. Mereka mencerminkan betapa rapuhnya kami sebagai manusia—di titik terendah ini, ketika segala harapan perlahan lenyap, siapa yang bisa memastikan bahwa pikiranku sendiri tak akan pecah?

Setiap malam, aku sering terjaga, memikirkan keluargaku, teman-teman yang kutinggalkan. Mereka mungkin telah melupakanku, atau mungkin mereka berpikir aku sudah mati. Kenangan tentang mereka, yang seharusnya menguatkan, kini terasa seperti mimpi yang tak lagi nyata. Ada momen-momen di mana aku merasa, lebih baik mati saja. Lebih baik hilang selamanya daripada terus merasakan siksaan yang tiada henti ini.

Namun, justru di tengah kerapuhan itu, datang suara-suara yang lain. Suara-suara yang berbisik dari kedalaman pikiranku. Suara-suara yang mengingatkan tentang apa yang pernah aku perjuangkan, tentang jalan yang telah aku tempuh. Suara mereka yang dulu pernah berjuang bersamaku, berteriak di jalanan, menuntut keadilan. Apakah semua itu sia-sia jika aku menyerah di sini? Apakah hidupku hanya berarti jika aku bertahan? Atau apakah bertahan di sini hanya kepalsuan dari kehormatan yang sebenarnya sudah hilang?

Tahanan-tahanan lain, yang menjadi saksi bisu penderitaanku, semakin jarang bicara. Tatapan mereka kosong, seperti cermin dari bayanganku sendiri. Dan aku takut. Aku takut bahwa suatu hari nanti, aku akan menjadi seperti mereka. Kosong, tanpa pikiran, tanpa semangat, tanpa jiwa. Namun, meski ketakutan ini menghantuiku, ia juga menjadi satu-satunya alasan aku terus bertahan. Karena selama aku masih takut, itu berarti aku belum sepenuhnya mati.

Tapi tak bisa kupungkiri, setiap malam pikiranku semakin terdesak. Kegilaan sudah di ambang, seakan menunggu kesempatan untuk merasuk. Aku sering kali merasa berhalusinasi. Kadang, aku mendengar suara keluargaku, memanggil namaku dari jauh. Kadang, aku merasa tanganku menggenggam tangan seseorang yang tak ada di sana. Mungkin itu adalah caraku bertahan—memegang erat bayangan dari dunia luar yang mungkin tak lagi peduli.

Aku terus merasakan lubang hitam yang semakin dalam, menyedot setiap bagian dari diriku, menggantikan harapan dengan keputusasaan. Aku mencoba menguatkan diri dengan berkata bahwa aku masih hidup, tapi di lubuk hati, aku bertanya-tanya, apakah ini kehidupan? Atau hanya penundaan kematian yang lebih buruk?

Rasanya seperti tak ada jalan keluar. Setiap opsi yang kupikirkan hanyalah jalan buntu. Melarikan diri hampir mustahil, apalagi dengan tubuh yang sudah lemah dan pikiran yang terpecah-pecah. Sementara menyerah, meskipun tampaknya mudah, juga bukan pilihan yang benar-benar kuinginkan. Tapi aku tahu, jika keadaan ini berlanjut, jika satu tahanan lagi hilang dari hadapanku, atau jika satu siksaan lagi datang menghantam tubuhku, aku mungkin tak akan sanggup lagi. Mungkin itulah saat di mana aku akan menyerah, saat aku akan memilih untuk mati.

Dalam hening yang menghancurkan itu, aku mulai menerima bahwa diriku bukanlah tak terkalahkan. Aku bukan pahlawan dalam cerita perjuangan. Aku hanyalah manusia, dengan keterbatasan yang kian nyata setiap hari. Dan dalam keheningan yang meruntuhkan itu, aku mulai menerima satu hal: mungkin, aku tak lagi bisa bertahan. Mungkin, sudah saatnya aku menyerah. Tapi meskipun begitu, ada suara kecil di dalam hatiku yang terus berbisik, "Belum. Belum waktunya."

Dan aku, meskipun hampir hancur, masih mencoba mendengarkan bisikan itu.

---

Ketika kabar itu datang, mulanya tak ada yang mengira akan ada sesuatu yang berbeda hari itu. Hari-hari di tempat ini semua terasa serupa, dibekap oleh kebisuan dan ketidakpastian. Tapi kali ini, suasana di dalam penjara sedikit bergeser. Seseorang dari luar—entah bagaimana caranya—berhasil menyelundupkan secuil informasi yang membuat kami semua tertegun.

"Katanya, ada pergerakan besar di luar sana," bisik seorang tahanan di sudut gelap ruangan, wajahnya tertutup bayangan, tetapi suaranya penuh kegelisahan yang tertahan. "Kelompok-kelompok aktivis sedang mendesak pemerintah untuk membebaskan kita. Katanya nama kita disebut, termasuk kamu."

Kata-kata itu meluncur bagaikan air segar yang langsung memecah kekeringan batin kami. Selama berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun—aku sendiri sudah lupa seberapa lama kami terperangkap di sini—tak ada harapan yang nyata. Hanya penantian, penundaan kematian. Dan tiba-tiba, ada secercah harapan yang dibisikkan di antara dinding-dinding yang lembab ini. Kabarnya, orang-orang di luar sana, mereka yang berjuang dengan caranya sendiri, masih ingat kami. Mereka masih mengingat bahwa kami ada, bahwa kami belum mati, setidaknya belum sepenuhnya.

Tentu, aku tahu harapan itu tipis. Tak ada jaminan bahwa pemerintah, yang seakan tuli terhadap rintihan kami, akan menanggapi desakan itu. Mungkin mereka bahkan tak peduli. Sudah berapa banyak orang hilang dan tak pernah kembali? Sudah berapa banyak suara yang dibungkam dengan cara yang begitu halus tapi kejam? Tapi tetap saja, kabar ini seperti percikan api yang jatuh di tumpukan kayu basah—belum membakar, tapi cukup untuk menyulut angan-angan bahwa sesuatu, entah kapan, bisa berubah.

Aku ingin percaya. Ingin sekali, tetapi kepercayaan itu seakan bercampur dengan kepedihan yang sudah menahun. Meski begitu, meski hatiku masih diliputi keraguan, aku merasakan sesuatu yang asing. Sesuatu yang hampir terlupakan: harapan. Kecil dan samar, tetapi cukup untuk menggerakkan jantungku dengan sedikit lebih cepat, membuatku ingin berbicara, ingin bertanya, ingin tahu lebih banyak.

Malam itu, di antara desis angin yang dingin menembus celah-celah kecil di dinding, bisik-bisik mengenai kabar itu mulai menyebar. Di setiap sudut ruangan, di sela-sela erangan dan isak pelan yang hampir tak terdengar, percakapan-percakapan kecil terjadi. Tahanan-tahanan yang sebelumnya hanya duduk dalam diam, mendadak bangkit dengan pandangan yang sedikit berbeda. Aku bisa melihat mereka, wajah-wajah yang tadinya beku seperti tak lagi punya harapan, kini mulai menunjukkan sedikit kilatan kehidupan.

"Tidak mungkin," kataku dalam hati, mencoba untuk tidak terlalu larut dalam ilusi. Tapi kenyataannya, aku merasakan ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja. "Mungkinkah ada peluang untuk kita bebas? Mungkinkah ada cara untuk keluar dari tempat terkutuk ini?"

Namun, seiring dengan munculnya harapan itu, muncul pula ketakutan yang tak kalah kuat. Kami tahu, mereka yang berada di balik jeruji ini, penguasa dari tempat yang suram dan penuh siksaan ini, tak akan membiarkan kami bebas dengan mudah. Harapan bisa menjadi pisau bermata dua. Jika mereka tahu kami memiliki secuil harapan, mereka bisa saja menghancurkannya lebih cepat daripada apa yang bisa kami bayangkan. Dan tak ada yang lebih mematikan daripada melihat harapan yang baru tumbuh, direnggut dengan kejam di depan mata.

Tahanan yang menyampaikan kabar itu adalah salah satu dari kami, seorang yang sudah lama di sini, hampir setua bapakku. Kulitnya kasar, penuh bekas luka yang tak terhitung jumlahnya, tetapi matanya, meskipun penuh kelelahan, masih memiliki cahaya. Dia bicara perlahan, dengan suara serak yang penuh dengan beban pengalaman. Tidak ada nada dramatis dalam ucapannya, tidak ada janji manis, hanya fakta—sekilas info yang samar tapi cukup untuk mengguncang isi kepala kami yang sudah terlalu lama kosong.

Aku mendengarkan dengan saksama, mencoba menyerap setiap detail yang bisa kuberikan kepada diriku sendiri. Namun, meskipun aku merasa perlu percaya pada kabar ini, otakku terus berusaha menahan diri agar tidak terlalu berharap. Berapa banyak janji dan harapan palsu yang sudah dilontarkan? Berapa kali aku mendengar cerita bahwa kami akan segera dibebaskan, hanya untuk kembali merasakan dinginnya jeruji besi ini di esok harinya?

Namun, malam itu, meskipun aku mencoba menutup pintu bagi harapan, secercah keinginan untuk hidup kembali membara. Kecil, rapuh, dan nyaris tidak nyata, tetapi ada. Dan hal itu tak bisa kubiarkan pergi begitu saja.

Satu demi satu tahanan mulai mendekat, ikut mendengarkan kabar itu dengan berbagai reaksi. Ada yang langsung bersikap skeptis, menolak percaya dengan alasan bahwa harapan hanya akan membawa kehancuran lebih dalam. Mereka yang sudah terlalu sering dikecewakan, mereka yang tubuhnya penuh luka dan batinnya hampir mati. Ada pula yang, dengan mata berbinar, langsung merespons dengan antusias, seperti mendapatkan kesempatan kedua untuk melawan.

Dan aku? Aku berdiri di antara dua kutub itu—di satu sisi aku merasakan kekuatan baru yang mulai tumbuh, di sisi lain aku masih diwarnai ketakutan dan keraguan. Aku takut untuk berharap terlalu banyak. Aku takut, karena aku tahu, di tempat ini, tidak ada yang pasti kecuali rasa sakit.

Ketika malam semakin larut, percakapan mengenai kabar itu terus bergulir. Bisik-bisik tentang kemungkinan pembebasan, tentang aksi-aksi di luar yang katanya mulai semakin gencar. Tapi aku tahu, semuanya tergantung pada kehendak di luar sana, kekuatan yang tidak bisa kami kendalikan dari balik dinding-dinding penjara ini.

Namun, aku tidak bisa menahan diri untuk berpikir: Apakah keluargaku juga terlibat? Apakah mereka masih mencariku? Atau mungkin mereka sudah menganggapku mati? Pertanyaan-pertanyaan itu terus membayangi pikiranku, tak henti-henti. Jika benar ada gerakan di luar sana, mungkinkah orang-orang yang dulu berjuang bersamaku masih mengingatku? Atau aku hanya satu nama yang hilang, tenggelam di antara nama-nama lain yang juga lenyap dari kehidupan?

Kabar ini, meskipun samar dan tidak menjanjikan apa pun secara konkret, memberiku cukup alasan untuk terus bertahan, setidaknya untuk sementara. Sebuah harapan, walaupun sekecil apa pun, bisa menjadi jangkar bagi jiwa yang sedang terombang-ambing di lautan keputusasaan. Aku tahu, pada akhirnya, harapan ini bisa saja hancur, tapi untuk sekarang, itu cukup untuk membuatku tetap berpegang pada hidup. Meskipun hanya sedikit, itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa seperti keabadian, aku tidur dengan sedikit harapan. Sesuatu yang telah lama hilang dari hidupku di sini.

---

Malam di tempat ini selalu datang dengan ketenangan yang semu. Tidak ada yang benar-benar tidur, hanya berpura-pura dalam kegelapan yang terasa lebih padat dari biasanya. Tapi akhir-akhir ini, rasa waspada semakin tebal, menggantung di udara bersama embun dingin yang menetes dari dinding. Ketegangan yang sebelumnya sudah ada kini berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih nyata—sesuatu yang bisa dipotong dengan pisau. Kami tahu, waktunya sudah dekat. Pelarian yang dulu hanya bisikan kini menjadi rencana yang hampir pasti. Dan dengan kepastian itu, datang pula kecemasan yang meresap hingga ke tulang.

Aku berbaring di lantai, merasakan setiap detik berdenyut di bawah kulitku. Di sebelahku, beberapa tahanan lain juga terjaga, hanya gerak napas mereka yang perlahan menunjukkan bahwa kami masih hidup. Tak ada percakapan. Tak ada lagi diskusi terbuka seperti sebelumnya, ketika kami berusaha menyusun langkah demi langkah rencana ini. Semuanya kini tersimpan rapat-rapat dalam kepala masing-masing, penuh dengan perhitungan yang semakin ruwet. Kami tahu satu hal dengan pasti: sekali kami memutuskan untuk bergerak, tidak ada jalan kembali. Dan itulah yang membuat malam-malam menjelang pelarian ini terasa seperti siksa tambahan—penantian yang membuat jiwa terombang-ambing di antara harapan dan ketakutan.

Di sudut ruangan, aku bisa mendengar salah satu dari kami, seorang pria yang sudah tua, mulai menggumamkan doa. Bukan doa yang keras, hanya gumaman lembut yang nyaris tak terdengar, seakan dia takut suara itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh di udara. Aku merasa simpati padanya, meskipun mungkin kami semua sedang mendoakan hal yang sama dalam hati: keselamatan. Kami tidak berdoa untuk kebebasan—itu terlalu jauh untuk diminta—tapi setidaknya agar kami bisa selamat malam ini, agar kami bisa melewati malam-malam yang penuh kecemasan ini tanpa ada yang pecah, tanpa ada yang meledak.

Lihat selengkapnya