Yang Belum Kembali

Kalam Insan
Chapter #5

BERLARI

MALAM itu adalah malam pelarian. Aku keluar dari gerbang penjara dengan tubuh yang lemas, kulitku kotor, dan pakaianku sudah lama kehilangan warna aslinya. Napasku memburu, bercampur dengan angin dingin malam yang menyusup ke sela-sela pori-pori. Kaki-kakiku gemetar, bukan hanya karena lelah, tetapi karena ketakutan. Di luar penjara, yang kutemui bukanlah kebebasan yang selama ini terbayang. Di hadapanku, kekacauan sedang berlangsung, sebuah kerusuhan besar yang tampaknya takkan reda dengan mudah.

Suaraku hilang tertelan suara teriakan, derap kaki pasukan yang berbaris, dan dentuman gas air mata yang meledak di kejauhan. Asap tebal memenuhi udara, menyamarkan sosok-sosok manusia yang berlari ketakutan. Aku melihat barisan polisi dengan tameng dan pentungan, berhadapan dengan orang-orang yang mengangkat tangan mereka, berusaha bertahan di tengah arus kerusuhan. Ini bukan kebebasan yang aku harapkan. Dunia luar tak lebih baik dari penjara yang baru saja kutinggalkan.

Setiap langkah yang kuambil terasa seperti memasuki sarang serigala. Pikiranku melayang, mengira ini semua adalah jebakan. Barangkali mereka sengaja membiarkanku kabur agar bisa menangkapku di luar sini, ketika aku tidak lagi terlindungi oleh dinding-dinding penjara. Mungkin di luar sana, sudah ada mata-mata yang sedang mengawasiku, siap menangkapku kembali dan membawaku ke lubang yang lebih dalam. Setiap orang yang aku temui, setiap mata yang menatap, seolah menyimpan ketakutan sekaligus kebencian.

Aku bergerak cepat di antara kerumunan yang kacau. Orang-orang saling bertabrakan, saling berteriak tanpa arah. Wajah-wajah mereka penuh keringat dan debu, sebagian terluka, entah karena pentungan aparat atau karena runtuhan bangunan. Tak seorang pun tampak mau berhenti untuk berbicara, apalagi menolong. Semuanya bergegas, terjebak dalam histeria dan ketakutan yang lebih besar daripada sekadar melihat seorang tahanan yang kabur seperti diriku. Tak ada tempat untukku. Aku asing di tengah kegilaan ini.

Di sebuah sudut jalan, aku mencoba mendekati seorang pria tua yang sedang terduduk di trotoar, tubuhnya lunglai, mungkin karena kelelahan atau terluka. Wajahnya menengadah, memandang langit yang gelap, seakan sedang mencari jawaban dari dewa-dewa di atas sana. Aku menghampirinya dengan hati-hati, menundukkan kepala. “Pak, saya butuh bantuan…”

Tapi sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, dia menatapku dengan pandangan kosong, lalu bergegas berdiri dan berjalan menjauh, seolah takut jika terlalu lama berada di dekatku akan membahayakan nyawanya. Tidak ada kata-kata, hanya langkah cepat yang semakin menjauh, meninggalkanku dengan kepedihan yang menggantung.

Aku melangkah lagi, kali ini lebih cepat, mencari jalan keluar dari keriuhan. Tapi setiap sudut yang kutemui hanyalah pengulangan dari kekacauan yang sama. Polisi dengan tameng, gas air mata, orang-orang yang berteriak ketakutan. Di kejauhan, aku bisa mendengar suara tembakan—entah untuk memperingatkan atau untuk membunuh, aku tak tahu lagi. Aku terjebak dalam dunia yang tak ada bedanya dengan penjara. Bahkan udara yang kuhirup terasa lebih berat di luar sini.

Kebebasan yang kurindukan selama ini, yang menjadi mimpi sepanjang malam di ruang pengap itu, ternyata lebih menakutkan dari yang kubayangkan. Di sini, tidak ada yang bisa aku percayai. Kebebasan yang rapuh, tipis seperti kabut pagi yang bisa hilang sewaktu-waktu. Aku masih menjadi buronan, dan kebebasan ini tidak membawa ketenangan. Setiap langkahku bisa saja mengantarku kembali ke dalam jeruji besi, atau lebih buruk lagi, ke sebuah liang lahat tanpa nama.

Langit di atas kota yang kacau itu tampak suram, seperti memantulkan bayangan dari kekacauan di bawahnya. Aku mencoba untuk terus bergerak, meskipun tak tahu harus ke mana. Langkah-langkahku seperti kehilangan arah, tersesat di antara bangunan-bangunan yang roboh dan jalanan yang dipenuhi kendaraan terbakar. Orang-orang melarikan diri ke segala arah, wajah-wajah mereka kosong, seakan ketakutan sudah menghisap habis sisa-sisa kemanusiaan mereka.

Aku berpikir untuk mencari rumah seseorang yang kukenal, seorang teman seperjuangan mungkin, atau setidaknya seseorang yang bersedia memberikan tempat berlindung. Tapi aku tahu risikonya. Siapa yang mau menerima seorang buronan? Siapa yang cukup berani untuk menanggung bahaya yang pasti akan datang bersamaku? Di saat seperti ini, orang-orang lebih memilih menyelamatkan diri sendiri daripada mempertaruhkan hidup mereka untuk orang lain.

Aku terus berjalan, mencoba berbaur dengan kerumunan. Tapi tubuhku terasa begitu berbeda. Aku masih mengenakan pakaian tahanan yang kotor dan kusut, dan setiap kali aku mencoba mendekati orang-orang, mereka selalu menjauh, seolah keberadaanku menambah beban ketakutan yang sudah mereka pikul. Aku tak tahu apa yang lebih mengerikan—penjara yang kutinggalkan atau dunia luar yang kini menyelimuti setiap langkahku dengan ketidakpastian.

Kebebasan di luar penjara adalah ilusi. Tak ada tempat yang aman di kota ini. Jalanan dipenuhi oleh kekerasan, ketakutan, dan mata-mata yang mungkin saja sedang mencari sosok seperti diriku. Semakin aku melangkah, semakin terasa bahwa kebebasan ini hanyalah penjara tanpa dinding. Setiap orang yang kulihat menatapku dengan rasa takut dan curiga, seakan keberadaanku bisa membawa malapetaka bagi mereka.

Aku berlari lagi, kali ini menuju sebuah gang sempit di antara dua bangunan yang tampak sepi. Tapi langkahku terhenti ketika melihat bayangan di sudut sana. Sesosok pria berdiri dengan tatapan tajam, diam mengamatiku. Hatiku berdebar kencang. Apakah dia salah satu dari mereka yang mencari tahanan yang kabur sepertiku? Atau mungkin dia sama seperti yang lainnya—seseorang yang hanya ingin menjauh, tak ingin terlibat? Tak ada waktu untuk berpikir. Aku segera melangkah mundur dan berlari kembali ke keramaian, menahan napas, berharap bahwa tak seorang pun mengenali siapa aku sebenarnya.

Ternyata, pelarian ini bukanlah kebebasan. Di setiap sudut jalan, di setiap bayangan yang kulihat, aku merasa seperti dikejar oleh takdir yang tak bisa kuhindari. Satu hal yang pasti—aku belum benar-benar bebas. Kebebasan yang kupikir telah kugenggam, seketika lenyap di tengah lautan ketakutan yang melanda kota ini. Aku masih terkurung dalam jeratan yang tak terlihat, dan langkah-langkahku, betapapun cepatnya, tak pernah bisa mengantarku ke tempat yang aman.

---

Aku kembali ke jalan utama dengan napas tersengal. Teriakan-teriakan masih membelah malam, memantul di antara dinding-dinding gedung yang sudah tua dan kotor. Kerusuhan itu seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Gas air mata menusuk hidungku, membuat paru-paruku terasa terbakar. Aku batuk-batuk, mencoba menenangkan diriku, tetapi itu mustahil. Di setiap sudut pandang, ada ketakutan yang menggantung. Bayangan pria di gang sempit tadi masih membekas di pikiranku. Apakah dia salah satu dari mereka? Atau mungkin hanya manusia biasa yang tersesat dalam kegilaan ini? Tak ada jawaban yang pasti. Aku hanya bisa melangkah lebih cepat, berharap bahwa aku bisa menemukan tempat aman, meskipun dalam hati aku tahu, itu hanya khayalan.

Langkah-langkahku terasa berat. Kaki-kakiku bagaikan tertusuk duri di tiap langkah. Setiap orang yang kulewati tidak ada yang menoleh, tidak ada yang peduli. Semuanya berlarian, seperti mencoba menyelamatkan diri dari kehancuran dunia yang seakan melahap kota ini. Aku menyusuri jalanan yang hancur—bebatuan berserakan, aspal terkelupas, toko-toko berantakan dengan kaca-kaca yang pecah di mana-mana. Sisa-sisa kekerasan tampak di setiap sudut. Mobil-mobil yang dibakar menyisakan rangka hitam, menebarkan bau terbakar yang menyengat.

Aku mengenal beberapa orang di sini, setidaknya nama-nama mereka sempat kudengar saat pergerakan masih berjalan. Ada beberapa simpatisan, orang-orang yang kukira mungkin bisa membantuku. Namun, ketika aku mendekati rumah mereka, bayangan harapan itu segera musnah. Di pintu-pintu yang terkunci rapat, aku mengetuk dengan gemetar. Jawaban yang kudapat hanyalah keheningan. Tak ada suara, tak ada langkah mendekat. Mereka mungkin ada di dalam, tetapi mereka memilih diam. Mereka tahu siapa aku—seorang buronan. Dan mereka juga tahu bahwa siapa pun yang berhubungan denganku hanya akan berakhir dalam masalah yang lebih besar.

Aku menggedor sebuah pintu lagi. Kali ini lebih keras. Hatiku mulai memohon, meski mulutku tidak. Aku ingin percaya bahwa masih ada orang yang cukup berani, yang tidak akan menutup mata. Tapi pintu itu tetap diam, seolah berbicara padaku bahwa aku tidak lagi diterima di dunia ini. Aku mengundurkan diri dengan lunglai. Bahkan para simpatisan, mereka yang dulu berdiri bersama kami, kini bersembunyi di balik pintu-pintu mereka sendiri. Mungkin mereka takut. Atau mungkin mereka sudah belajar, bahwa dalam kekacauan seperti ini, menyelamatkan diri sendiri lebih penting daripada menolong yang lain.

Aku melangkah pergi, perasaan kesepian mulai menjalari hatiku. Dunia yang kusangka akan menjadi tempat pelarian malah menjelma menjadi penjara yang lebih luas dan lebih kejam. Setiap orang yang kutemui seakan menjadi musuh, dan bahkan orang-orang yang kukenal tak lagi bisa diandalkan. Kebebasan yang baru saja kugapai terasa semu. Di sini, di tengah kota yang sedang kacau balau, aku tetap seorang tahanan—bukan oleh jeruji besi, tetapi oleh ketakutan yang menyelimuti semua orang di sekelilingku.

Di seberang jalan, seorang ibu tampak tergesa-gesa menarik anaknya, menjauhi kerumunan. Matanya sesekali melirik ke arahku, kemudian cepat-cepat berpaling. Seolah aku ini kutukan yang harus dijauhi. Wajah-wajah seperti itu kini mendominasi di mana pun aku berada—takut, curiga, dan siap berlari kapan saja. Aku tak bisa menyalahkan mereka. Siapa yang berani mengambil risiko menolong seseorang yang mungkin saja menjadi target berikutnya?

Langit malam masih dipenuhi asap. Lampu-lampu jalan berkelap-kelip, sebagian mati total, memperburuk suasana yang sudah gelap. Aku berhenti di persimpangan, mencoba mengatur napas. Rasanya semua jalan yang kulalui berujung sama—tidak ada tempat yang aman. Setiap kali aku mencoba meminta tolong, aku hanya menemui pintu tertutup, atau wajah-wajah yang berpaling. Tak ada yang mau mengambil risiko. Mungkin mereka sudah tahu bahwa menolong seseorang sepertiku adalah undangan untuk malapetaka yang lebih besar.

Gas air mata kembali menyengat mata dan hidungku. Aku menarik kerah bajuku, menutup hidung, mencoba melindungi diri dari asap yang semakin pekat. Tapi usahaku sia-sia. Udara di sini sudah tercemar dengan ancaman yang tak kasat mata. Setiap hembusan napas terasa berat, seolah tiap detik yang kulewatkan di kota ini membuat paru-paruku semakin tercekik. Bahkan kebebasan yang kuterima pun tampak seperti racun yang lambat laun menghancurkanku dari dalam.

Suara tembakan terdengar lagi di kejauhan. Aku terdiam, menatap ke arah sumber suara. Orang-orang mulai berlarian kembali, tanpa arah, hanya mengikuti naluri untuk bertahan hidup. Aku melihat seorang pemuda dengan jaket hitam terjatuh di trotoar. Tak ada yang berhenti untuk membantunya. Dia berusaha bangkit, merangkak dengan susah payah, tapi kerumunan sudah bergerak terlalu cepat, meninggalkannya. Aku ingin menolongnya, tapi kakiku seakan terpaku. Aku tahu, jika aku mendekat, aku bisa jadi yang berikutnya terjatuh. Lagi-lagi, aku harus memilih antara mempertahankan hidupku sendiri atau menolong orang lain. Dan seperti yang lainnya, aku memilih untuk menjauh, menyeret kakiku ke sudut jalan yang lain.

Kesendirian mulai merayap ke dalam jiwaku. Di tengah hiruk-pikuk ini, aku merasa lebih terasing daripada saat berada di dalam penjara. Di sana, aku tahu siapa musuhku. Di sini, musuhku bisa siapa saja, dan mungkin semua orang. Jalanan yang sepi hanya menyisakan ketakutan dan kesunyian. Aku bukan bagian dari mereka lagi, dan aku tahu mereka juga tak ingin aku menjadi bagian dari dunia ini. Ke mana pun aku melangkah, yang kutemui hanya dinding ketakutan yang tak kasat mata, lebih kuat dari dinding penjara mana pun.

Aku berjalan lagi, tanpa arah yang jelas. Sisa malam semakin pekat, dan udara semakin berat untuk dihirup. Aku mulai meragukan apakah kebebasan ini benar-benar layak. Di dalam penjara, aku punya harapan untuk bertahan hidup. Di luar sini, harapan itu terasa rapuh, terancam oleh setiap suara tembakan, oleh setiap tatapan ketakutan yang kutemui. Pada akhirnya, aku masih seorang buronan—tak diinginkan oleh siapa pun, bahkan oleh mereka yang dulu berdiri di sisiku. Kesendirian ini semakin nyata, dan kebebasan yang kupikir akan membawaku kembali ke kehidupan hanyalah mimpi yang pupus di tengah malam yang penuh kekacauan.

---

Aku terus melangkah tanpa tujuan yang jelas. Napasku berat, bukan hanya karena asap gas air mata yang menyelimuti udara, tapi karena beban pikiran yang tak kunjung usai. Setiap kali kupejamkan mata, bayangan wajah-wajah mereka yang dulu bersamaku di dalam penjara muncul, seakan menghantui langkahku yang kian tidak pasti. Seorang buronan. Itulah aku sekarang, meski sebenarnya tak pernah melakukan kejahatan apa pun. Dan lebih dari itu, menjadi buronan bukan hanya menyangkut diriku seorang. Dalam keadaanku sekarang, aku tak mungkin hanya memikirkan nasibku sendiri.

Langkah-langkahku semakin pelan ketika pikiran tentang ibu melintas di benakku. Aku sudah lama tak mendengar kabar darinya, tapi aku yakin dia masih di rumah, menunggu dengan gelisah, berdoa di setiap detik yang berlalu. Ibu adalah satu-satunya yang kumiliki di dunia ini. Ayah sudah lama meninggal, meninggalkan kami berdua terombang-ambing dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian. Ibu selalu menjadi tempatku berlindung, tempatku berpaling ketika dunia ini terasa terlalu kejam.

Aku berhenti di bawah lampu jalan yang temaram, mencoba berpikir lebih jernih. Di satu sisi, rumah adalah tempat yang paling ingin kutuju sekarang. Di sana ada ibu, ada kenangan masa kecil yang mungkin bisa menghangatkanku di tengah dinginnya malam ini. Namun, di sisi lain, aku tahu apa artinya kembali ke rumah dalam keadaan seperti ini. Menjadi buronan bukanlah takdir yang hanya akan aku tanggung. Mereka yang mencariku takkan ragu untuk mengancam siapa pun yang terkait denganku, terutama keluargaku.

Bayangan wajah ibu muncul lagi di pikiranku. Wajahnya yang mulai keriput, rambutnya yang sebagian besar sudah memutih. Aku bisa membayangkan dia duduk di depan pintu rumah, menungguku pulang seperti ketika aku masih kecil dan suka bermain terlalu jauh. Mata tuanya akan menatap ke arah jalan, berharap anaknya kembali dengan selamat. Tapi kali ini, dia takkan hanya menunggu dengan sabar. Dia mungkin menangis, atau lebih buruk lagi, memohon pada Tuhan agar anaknya tak pulang, karena pulang berarti membawa bahaya. Dan jika aku pulang, apakah aku tega membiarkan ibu menghadapi ancaman yang tak terelakkan itu?

Aku tahu bagaimana mereka bekerja. Jika aku kembali ke rumah, mereka akan mengikutiku. Mereka pasti sudah punya mata-mata di mana-mana, mengawasi setiap pergerakan. Mereka akan menyerbu rumah kami, mungkin di tengah malam, ketika semua orang sedang tidur. Mereka akan menanyakan keberadaanku, mengancam ibu untuk menyerahkanku. Dan jika ibu menolak, apa yang akan mereka lakukan? Pikiran itu membuatku merasa mual. Aku tak bisa membayangkan ibu diperlakukan seperti itu. Dia tak pantas mendapatkan semua ini. Aku, mungkin, tapi bukan ibu.

Sebuah suara sirine terdengar di kejauhan, membangunkanku dari lamunan. Langkahku kembali bergegas, mencoba menghindari segala kemungkinan pertemuan yang tak diinginkan. Tapi kemana pun aku pergi, bayangan tentang ibu terus menghantuiku. Apakah dia sedang duduk sendirian di rumah saat ini? Apakah dia tahu bahwa anaknya sekarang berlari di jalanan, tanpa arah dan tanpa harapan?

Aku mulai bertanya pada diriku sendiri, apakah aku terlalu egois? Dalam keadaan seperti ini, seharusnya aku tak boleh berpikir untuk kembali ke rumah. Aku tahu risikonya. Jika mereka tahu aku kembali, itu berarti membahayakan ibu. Tapi apakah aku punya pilihan lain? Di luar sini, aku tak lebih dari bayangan yang bersembunyi di balik reruntuhan kota. Tak ada tempat yang aman. Jika aku tetap di sini, lambat laun mereka akan menemukanku juga. Dan ketika itu terjadi, aku tak yakin bisa bertahan lebih lama.

Aku tak punya tempat lain selain rumah. Tempat lain di kota ini hanya membawa ancaman dan ketidakpastian. Aku bukan bagian dari kerumunan orang-orang yang tengah berlari dari kekacauan, dan aku juga bukan bagian dari para pejuang yang terus bertahan. Aku hanyalah seorang manusia yang tersesat di tengah-tengah perang yang tak pernah kuminta. Satu-satunya tempat yang bisa kutuju adalah rumah. Tapi, bagaimana jika rumah itu juga berujung menjadi penjara baru bagiku, atau lebih buruk lagi, menjadi tempat kehancuran bagi keluargaku sendiri?

Rasa bersalah menggerogoti hati kecilku. Aku tahu bahwa setiap langkah yang kubuat membawa konsekuensi. Dalam pelarian ini, aku mungkin bisa bertahan sedikit lebih lama, tapi sampai kapan? Sampai tubuhku tak lagi kuat menanggung siksaan yang entah datang dari siapa? Sampai semua yang kukenal perlahan lenyap ditelan kekacauan ini? Pulang ke rumah berarti menyeret ibu ke dalam bahaya yang tidak pernah dia minta. Tapi aku tak bisa membayangkan hidup dalam pelarian selamanya.

Malam semakin larut, tapi kepalaku tak bisa berhenti berpikir. Jika aku pulang, bagaimana nasib ibu? Mereka bisa datang kapan saja. Mereka bisa menyeretnya pergi, mengancamnya untuk mengaku di mana aku berada, meski dia tak tahu apa-apa. Dan ibu, dengan semua kelemahannya, takkan pernah bisa menahan tekanan itu. Aku bisa membayangkan wajahnya yang putus asa, memohon dengan air mata agar mereka melepaskannya. Tapi dalam keadaan seperti ini, siapa yang peduli pada permohonan seorang ibu tua?

Aku tersadar, bahwa pulang bukan lagi soal keinginan. Ini tentang tanggung jawab. Aku harus membuat pilihan yang berat. Jika aku pulang, aku mungkin akan mendapatkan perlindungan sementara, tapi dengan harga yang sangat tinggi. Harga yang harus dibayar oleh ibu, oleh keluargaku. Dan apakah aku tega membiarkan itu terjadi?

Langkah-langkahku melambat, hati kecilku berteriak dalam dilema yang tak kunjung usai. Di satu sisi, aku merindukan kehangatan rumah, kehadiran ibu yang selalu memberiku kekuatan. Di sisi lain, aku tahu bahwa pulang berarti membuka pintu bagi bahaya yang lebih besar. Ini adalah jalan buntu. Tidak ada pilihan yang mudah.

Namun, dalam keheningan malam yang penuh kekacauan ini, satu hal menjadi jelas: Aku tidak bisa hidup dalam pelarian selamanya. Tapi apakah artinya pulang jika itu berarti membahayakan nyawa orang-orang yang kucintai? Aku masih berdiri di persimpangan ini, sementara dunia di sekitarku terus berputar dalam kekacauan yang tak berkesudahan.

---

Malam semakin dingin, dan langkahku semakin tak menentu. Aku tak tahu lagi ke mana harus pergi, di mana harus bersembunyi. Rasanya setiap sudut kota ini mengintipku dengan mata-mata gelap yang tak terlihat. Jalanan dipenuhi sisa-sisa kekacauan yang belum sempat dibersihkan. Pecahan kaca berserakan, bekas ban-ban terbakar menghitamkan aspal, dan sesekali suara sirene mengoyak kesunyian. Tapi aku harus terus bergerak. Tidak ada tempat aman di sini.

Aku sadar, jejakku harus kuhapus. Mereka pasti sudah mengetahui pelarianku. Tentara-tentara itu, dengan senjata yang selalu siap meledak, akan menyisir setiap tempat yang mungkin kutuju. Pakaian yang kupakai, wajah yang kelelahan, semua ini terlalu mudah dikenali. Aku harus berubah. Pakaian ini, dengan bau penjara yang belum hilang, hanya akan menarik perhatian.

Kakiku bergetar, bukan hanya karena lelah, tapi juga ketakutan yang merayap dalam diriku. Aku tak tahu harus memulai dari mana. Bersembunyi dari mereka yang selalu mengejar itu seperti melawan angin. Mustahil. Namun, aku tak punya pilihan lain selain mencoba bertahan, seberapa pun sulitnya.

Aku mendekati salah satu pasar yang tersisa, tempat yang biasanya ramai di pagi hari, tapi kini hanya sisa-sisa penjual yang setengah hati bertahan. Aku menyelinap di antara bayang-bayang kios-kios kayu yang sudah mulai tutup. Lalu, aku melihat seorang penjual pakaian lusuh di salah satu sudut pasar. Pakaian-pakaian bekas itu tergantung lemas di tali jemuran seadanya, sebagian berdebu, sebagian robek. Aku memilih yang paling sederhana, baju petani berwarna abu-abu pudar dengan celana yang tak jauh lebih baik. Kupikir, pakaian ini cukup untuk menyamarkanku sementara waktu. Dengan sedikit nego, aku mendapatkan pakaian itu tanpa terlalu menarik perhatian.

Segera kuganti pakaianku di belakang sebuah bangunan tua yang hampir runtuh. Mantel panjangku yang dulu mungkin melindungi dari dingin, kini malah membuatku terlihat mencolok. Kulepas semuanya, menggantinya dengan pakaian yang lebih sederhana, lebih biasa. Pakaian baru ini membuatku merasa lebih ringan, meskipun itu hanya ilusi sementara. Namun, meski sudah berusaha menyamarkan penampilan, aku tahu perubahan fisik saja tak cukup. Jejakku masih ada di mana-mana. Setiap langkahku meninggalkan kemungkinan bahwa seseorang, entah siapa, akan mengenaliku.

Langkah-langkah kecil menuju jalan raya terasa seperti lompatan di antara hidup dan mati. Aku terus berpindah, dari satu sudut ke sudut lainnya, mencoba menghindari jalan-jalan besar yang dijaga ketat aparat. Semua orang di jalanan tampak asing, wajah-wajah mereka tertunduk dalam ketakutan atau kemarahan. Tak seorang pun yang bisa kutemui tanpa rasa curiga. Setiap kali bertemu tatap dengan orang asing, hatiku mencelus, bertanya-tanya apakah dia tahu siapa aku. Apakah dia salah satu dari mereka yang siap melaporkan keberadaanku? Atau mungkin dia juga hanya korban yang terjebak dalam situasi yang sama, takut akan nasibnya sendiri?

Langit malam semakin gelap, seakan menambah berat pikiran-pikiranku. Bersembunyi, itu satu-satunya cara. Tapi bersembunyi di mana? Setiap lorong yang kulewati terasa seperti jebakan. Setiap bayangan yang kutemui mungkin menyimpan ancaman. Aku mencoba untuk tetap berpikir jernih, mengatur langkahku agar tidak mencurigakan. Namun, sulit rasanya mengendalikan perasaan ketika hidup yang di tangan terasa semakin rapuh. Hanya satu kesalahan kecil, dan aku bisa saja tertangkap lagi. Dan kali ini, mungkin tak ada kesempatan kedua.

Kota ini, yang dulu kuanggap rumah, sekarang berubah menjadi labirin penuh jebakan. Aku harus terus berpindah, mencari tempat yang lebih aman. Tapi semakin jauh aku berjalan, semakin berat tekanan mental ini. Aku tak lagi bisa membedakan mana yang lebih menakutkan—aparat yang mungkin mengejarku, atau rasa takut yang semakin besar di dalam kepalaku sendiri. Setiap langkah terasa seperti membawa beban yang semakin tak tertahankan. Kebebasan yang kuimpikan selama ini berubah menjadi mimpi buruk yang menyesakkan. Apa artinya bebas jika setiap orang yang kutemui bisa jadi orang yang akan menjatuhkanku?

Dalam langkah-langkah berikutnya, aku sadar bahwa hidup dalam pelarian bukan sekadar soal bersembunyi dari aparat. Ini juga soal bertahan dari diriku sendiri, dari ketakutan yang terus menerus membayang di benakku. Setiap kali melihat seseorang menatapku terlalu lama, pikiranku langsung berputar-putar dalam paranoia. Apakah dia mengenaliku? Apakah dia akan melaporkanku? Tidak ada yang bisa kubaca dari wajah-wajah yang kutemui, selain ketakutan dan kecemasan yang sama seperti yang kurasakan.

Lihat selengkapnya