LANGIT malam itu terlihat seperti palet hitam pekat, seakan menyerap semua harapan dan kegembiraan yang pernah ada di kota ini. Jalan-jalan yang dulunya ramai dengan kehidupan kini berubah menjadi labirin kekacauan, dipenuhi kerumunan massa yang tak beraturan, gas air mata yang bertebaran, dan suara tembakan yang tak henti-hentinya. Aku bersama beberapa rekan seperjuangan mencoba menyelinap di antara bayang-bayang gedung, berharap menemukan celah untuk bersembunyi sementara. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, kami tahu, waktu kami semakin sempit.
"Ke kanan, cepat!" teriakan salah satu rekanku terdengar mendesak, namun suaranya tenggelam di antara deru kerusuhan. Aku mengikuti instruksinya tanpa berpikir panjang, namun tiba-tiba terdengar letusan keras. Kami berhamburan ke segala arah, terpencar. Panik segera menyergapku, sama seperti saat pertama kali aku ditangkap beberapa waktu lalu. Keringat dingin mengalir di pelipisku, menambah ketegangan di tengah suasana yang sudah sangat mencekam.
Kakiku terus melangkah tanpa tujuan yang jelas. Setiap sudut yang kutemui hanya memperlihatkan wajah-wajah ketakutan. Mata mereka menatapku dengan curiga, seolah-olah aku adalah ancaman yang bisa menyeret mereka ke dalam bahaya. Aku berusaha menahan napas, menenangkan diri agar tidak terlihat terlalu mencolok. Setiap detik terasa begitu berat, seperti beban hidup yang semakin menghimpit.
Saat kutemukan sebuah lorong sempit di antara dua bangunan tua, aku segera bersembunyi di dalamnya. Dalam kegelapan yang menyelimutiku, aku mendengar detak jantungku sendiri yang tak terkendali, menghantam dadaku seakan ingin melarikan diri lebih dulu dariku. Aku menatap sekeliling, mencari jalan keluar, tapi yang kudapati hanya kehampaan dan kegelisahan.
Suara langkah kaki di kejauhan mulai terdengar, berat dan tegas. Mereka semakin dekat. Tentara atau polisi, entahlah, tapi pasti mereka sedang mencariku. Aku menempelkan tubuhku ke dinding yang dingin dan retak, mencoba menyatu dengan kegelapan, berharap tak terdeteksi.
Pikiran tentang ibuku kembali menyerang. Di mana dia sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Rasa bersalah mulai menjalari tubuhku. Aku tahu bahwa setiap langkah yang kuambil berpotensi menyeretnya ke dalam bahaya. Tetapi apa yang bisa kulakukan? Aku berada di antara dua jurang: satu adalah kesetiaanku pada perjuangan, dan satu lagi adalah kewajibanku sebagai anak. Kedua-duanya menyakitkan. Kedua-duanya membawaku lebih dalam ke dalam kesendirian.
Suara langkah kaki semakin dekat, dan aku tak bisa lagi berdiam diri di tempat ini. Kaki-kakiku memaksa bergerak lagi, meskipun kepalaku berputar-putar mencari arah yang aman. Setiap langkah terasa seperti perjudian, antara hidup dan mati. Saat menyeberang ke jalan yang lebih besar, mataku bertemu dengan sekelompok orang—tentara. Aku hanya punya sepersekian detik untuk berbalik arah, berlari lebih cepat dari detak jantungku yang menggebu.
Tapi harapan untuk melarikan diri dengan cepat sirna saat sebuah tangan kasar menarik kerah bajuku. Tubuhku terempas ke tanah dengan keras. Lalu, sebelum aku sempat bangkit, sepatu berat menghantam punggungku, menekanku hingga napas terasa semakin sesak. Kepalaku berputar, pandanganku kabur.
"Diam kau!" suara kasar terdengar di telinga, sementara aku hanya bisa meringis dalam kesakitan. Rasanya seperti déjà vu—kembali ke saat aku pertama kali ditangkap dan diseret ke dalam ruangan interogasi yang dingin. Apakah aku harus mengalaminya lagi? Apakah kali ini aku akan selamat?
Dalam kesakitan yang kian menjerat, aku menyadari betapa rapuhnya keadaan ini. Tidak ada jalan keluar yang mudah. Hidup di luar tahanan tidak berarti kebebasan. Kekacauan di jalan-jalan kota ini hanya cerminan dari kekacauan batinku sendiri—perang tanpa akhir antara ketakutan, harapan, dan keputusasaan.
Tubuhku masih terjepit di bawah kaki-kaki tentara, tapi pikiranku melayang jauh. Kembali ke momen-momen bersama ibuku, saat dia menyeka keringat di dahiku saat aku demam kecil dulu, atau ketika dia menyiapkan makanan sederhana dengan senyum yang selalu membuat dunia terasa lebih ringan. Tapi sekarang, aku hanyalah seorang buronan, membawa ancaman bagi ibu yang sangat aku cintai.
Suara bentakan mengembalikanku pada kenyataan. Dengan sisa-sisa kekuatan yang kumiliki, aku mencoba melawan, meskipun tahu usahaku sia-sia. Tanganku diraih kasar, dan tubuhku diseret ke sisi jalan. Mungkin ini adalah akhir dari segalanya, pikirku. Tidak ada lagi ruang untuk lari, tidak ada lagi rekan-rekan yang dapat kuandalkan. Aku sendirian, seperti saat pertama kali diculik.
Tiba-tiba, di antara suara-suara kekacauan itu, ada satu hal yang menggema lebih kuat di dalam diriku: sebuah tekad untuk bertahan. Aku tidak tahu bagaimana caranya atau ke mana jalan ini akan membawaku, tetapi aku harus terus hidup. Tidak untuk diriku sendiri, tapi untuk ibuku. Aku harus bertahan agar suatu hari nanti bisa kembali melihatnya, mendengar suaranya, dan menyampaikan kata-kata yang selama ini tertahan di dadaku.
Namun, saat itu, aku hanya bisa merasakan rasa sakit yang semakin pekat di seluruh tubuhku. Pandanganku memudar, dan suara-suara di sekelilingku mulai meredup. Apakah ini akhirnya? Di tengah kegelapan yang semakin menyelimuti, aku hanya bisa berharap—bahwa di suatu tempat, di suatu waktu, aku akan mendapatkan kesempatan untuk menebus semua kesalahan dan melindungi mereka yang kucintai.
Dan meskipun rasanya mustahil, aku tetap berjanji pada diriku sendiri: aku tidak akan menyerah begitu saja.
---
Langit masih gelap ketika aku diseret masuk ke dalam sebuah ruangan yang asing. Lampu-lampu neon di langit-langit berkedip-kedip seperti lampu-lampu malam kota yang sekarat, dan udara di dalamnya terasa lebih pengap dari biasanya. Kali ini, penangkapanku tidak diiringi dengan tendangan atau pukulan. Aku hanya dibawa ke sini, dipaksa duduk di kursi logam dingin yang membuat seluruh tubuhku terasa semakin lemah.
Salah satu aparat, lelaki yang lebih tua, duduk di depanku dengan tatapan tenang namun penuh maksud tersembunyi. Tidak ada tanda-tanda kemarahan atau kekerasan. Hanya senyuman tipis yang tak menjanjikan apa pun selain ancaman.
“Ini tidak harus berakhir seperti ini,” katanya dengan nada yang tidak pernah kutemui sebelumnya dalam suara seorang penangkap. Dia menghela napas panjang, seolah sedang berusaha meyakinkanku bahwa dia sedang berbicara untuk kebaikanku.
Aku diam saja. Aku tahu permainan seperti apa ini. Aku tahu mereka ingin sesuatu dariku—mungkin pengakuan, atau mungkin sesuatu yang lebih buruk.
Dia bersandar ke kursi, tangannya menyilangkan dada. “Kami tahu kau ingin bertemu ibumu.”
Kata-kata itu meluncur dengan begitu pelan, namun seakan menghantam batinku seperti ribuan belati yang menusuk dengan pelan tapi pasti. Tubuhku tegang. Ibu... Sudah berapa lama sejak aku melihatnya? Wajahnya yang dulu selalu kulihat dengan senyum damai sekarang seakan hanya menjadi bayang-bayang di kepalaku. Waktu terasa begitu lambat sejak aku diculik, dan harapan untuk bisa bertemu dengannya semakin lama semakin tipis.
Aparat itu tersenyum tipis lagi, seperti tahu apa yang terjadi dalam pikiranku. “Kau hanya perlu membantu kami... Sederhana. Setelah itu, kami akan memastikan kau bisa bertemu dengan ibumu lagi. Kami tidak akan menyakitinya, asalkan kau bekerja sama.”
Aku menggigit bibirku, menahan diri agar tidak memberikan reaksi. Hatiku mulai berdebar lebih cepat. Tawaran ini terlalu sempurna untuk ditolak, tapi aku tahu ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Aku tahu apa yang mereka inginkan. Mereka ingin aku mengkhianati teman-temanku, rekan-rekanku, mereka yang masih bertahan di tengah kekacauan ini. Semua perjuangan yang telah mereka jalani—yang telah aku jalani—akan sia-sia jika aku menyerah sekarang.
Tetapi ibu... Pikiran tentang dia semakin menyiksa. Aku tak pernah mengira akan terjebak dalam dilema seberat ini. Setiap detik aku merasakan beban di dadaku semakin menekan, membuatku sulit bernapas. Kebebasan, ya, kebebasan untuk melihat ibu lagi. Untuk membebaskan diriku dari segala ketakutan ini, dari pelarian yang tiada akhir. Siapa yang tidak ingin itu?
“Kami tidak meminta banyak,” lanjutnya dengan suara yang lembut namun penuh tipu daya. “Kau hanya perlu memberitahu kami beberapa informasi. Hanya beberapa nama, tempat pertemuan. Setelah itu, kau bebas. Tidak ada yang akan mencarimu lagi. Kau bisa hidup tenang dengan ibumu.”
Aku masih diam. Kepalaku penuh dengan ribuan pikiran yang berputar cepat. Aku membayangkan ibu, duduk sendirian di rumah kecil kami, cemas setiap hari tentang keadaanku. Dia pasti sudah sering mendengar kabar tentang hilangnya para aktivis, mungkin dia bahkan berpikir aku sudah mati. Apa yang akan terjadi padanya jika aku tertangkap lagi? Apakah dia akan diancam atau diinterogasi lagi? Setiap kali aku mengingat wajahnya, hatiku hancur.
Tapi... jika aku menyerah, apa yang akan terjadi pada teman-temanku? Orang-orang yang masih bertahan di luar sana, yang masih berjuang di balik layar, menentang segala ketidakadilan yang terjadi. Mereka tidak hanya teman. Mereka saudara seperjuangan, keluarga kedua yang kubangun di atas mimpi-mimpi tentang kebebasan dan keadilan.
“Aku tidak bisa,” ucapku pelan, nyaris seperti bisikan. Tapi aku tahu dia mendengarnya.
Aparat itu mencondongkan tubuhnya ke depan, senyum tipisnya semakin lebar. “Kau tahu apa yang kau pertaruhkan? Kami tidak akan menunggu lama, dan ibu... ibu hanya punya waktu yang semakin sedikit.”
Kata-katanya menghantam batinku lebih keras. Ada kepanikan yang tiba-tiba muncul di dalam hatiku. Bagaimana jika dia benar? Bagaimana jika ibu benar-benar dalam bahaya? Apakah aku harus mengambil resiko ini demi sesuatu yang mungkin tidak pernah bisa kubuktikan? Demi idealisme yang mungkin tidak akan pernah terwujud?
Air mataku mulai menggenang, tetapi aku cepat-cepat mengerjapkannya, menahannya agar tak jatuh. Aku tidak ingin terlihat lemah di depannya. Aku tidak ingin mereka tahu betapa rapuhnya aku sekarang. Mereka tidak boleh melihat celah dalam pertahananku, meski di dalam aku merasa seakan akan runtuh kapan saja.
“Mereka akan menangkapmu pada akhirnya,” lanjutnya dengan nada yang lebih serius. “Dan ketika itu terjadi, kau tidak akan punya pilihan lagi. Mereka tidak akan memberikan tawaran seperti yang kami berikan sekarang. Kau bisa bertemu ibumu, kau bisa kembali hidup normal... Atau, kau bisa tetap menjadi buronan. Pilihan ada di tanganmu.”
Kata-katanya merasuk jauh ke dalam pikiranku. Apa yang harus kupilih? Jalan mana yang harus kuambil? Setiap pilihan sepertinya mengarah pada kehancuran, entah bagi diriku, bagi ibu, atau bagi teman-temanku.
Dia berdiri, menatapku sekali lagi dengan sorot mata penuh keyakinan. “Pikirkan baik-baik,” katanya sebelum meninggalkanku sendiri di ruangan itu. Pintu tertutup dengan suara lembut, namun di dalam hatiku terdengar seperti palu yang menghantam nisan.
Aku duduk terdiam, dikelilingi oleh dinding-dinding bisu yang seakan menertawakan dilema yang sedang kurasakan. Rasa bersalah menggigit setiap inci kesadaranku. Aku tahu, apa pun yang kupilih, selalu ada yang harus kukorbankan. Pertanyaan terbesar yang kini menghantuiku: Apakah aku mampu mengorbankan orang-orang yang kucintai demi sesuatu yang lebih besar, atau haruskah aku menyerah dan menerima tawaran ini, meskipun artinya mengkhianati semua yang pernah kuperjuangkan?
---
Aku duduk memeluk tubuhku sendiri, menatap kosong ke dinding yang dingin dan bisu. Hawa ruangan ini masih sama seperti waktu-waktu sebelumnya: pengap, tak bernyawa, seakan-akan udara yang kuhirup adalah beban berat yang tak bisa dilepaskan. Tapi sekarang, ada sesuatu yang berbeda. Bukan lagi pukulan atau tendangan yang mengancamku, melainkan pilihan yang menancap jauh ke dalam batinku. Tawaran itu... keputusannya tampak sederhana, tapi setiap aspek dari hidupku—dari semua yang pernah kucintai dan perjuangkan—bergantung pada apa yang aku putuskan.
Wajah ibu kembali melintas di kepalaku, wajahnya yang semakin tua dengan senyum tipis yang dulu selalu menenangkanku di tengah segala kekacauan hidup. Sekarang, senyum itu terasa jauh, seperti bayang-bayang yang nyaris tak bisa kusentuh. Mereka bilang aku bisa bertemu dengannya lagi. Jika aku hanya mau... mengkhianati.
Tapi apa artinya pertemuan itu? Ibu tidak akan melihatku sebagai anak yang kembali dalam kemenangan. Tidak ada kebanggaan dalam pertemuan itu, karena aku tahu, untuk mencapai momen itu, aku harus menjual jiwa dan kehormatan yang tersisa dalam diriku. Bagaimana aku bisa menatap mata ibu setelah itu? Bagaimana aku bisa mengakui bahwa aku memilih jalan yang paling mudah, bahwa aku membiarkan teman-temanku—orang-orang yang bertaruh nyawa untuk perjuangan ini—jatuh satu per satu demi melihat ibuku? Demi kebebasan yang semu?
Namun, jika aku menolak... apa yang akan terjadi pada ibu? Mereka sudah mengancamnya, dan aku tahu bahwa ancaman itu bukan sekadar gertakan. Mereka bisa saja menahannya, menyiksanya, membuatnya menderita. Pikiran itu menghantam batinku dengan kekuatan yang nyaris tak tertahankan. Seberapa egoisnya aku jika menolak tawaran ini demi sesuatu yang mungkin tak akan pernah berhasil? Demi idealisme yang rapuh, yang entah kapan akan membawa perubahan?