Bel sekolah berbunyi, memecahkan kesunyian di dalam kelas yang sejak tadi hening. Suara riuh para siswa segera memenuhi ruangan seperti kursi berderit, buku di tutup terburu-buru, dan bisik-bisik cepat antar teman yang saling bertanya apakah tugas sudah dikumpulkan atau rencana istirahat mau pergi kemana.
Sang guru memerintahkan para siswa untuk mengumpulkan tugas mereka ke depan kelas, dibantu oleh ketua murid yang sigap dan cekatan, sebelum mereka diperbolehkan keluar untuk istirahat.
Setelah itu, suasana di dalam kelas kembali hening saat mereka berhamburan keluar kelas. Ada yang pergi menuju kantin-tergoda oleh aroma mie instan yang sudah tercium dari kejauhan, ada yang berlari menuju lapangan sekolah untuk bermain sepakbola bersama kawan-kawannya, ada yang pergi ke taman belakang sekolah dengan pepohonan dan tumbuhan hijau yang menyegarkan, ada pula yang hanya duduk di bangku koridor kelas sambil mendengarkan musik.
Alia sendiri berada di salah satunya. Gadis berkulit kuning langsat itu duduk di bangku koridor kelas, tepat di bawah jendela yang menghadap ke lapangan sekolah. Bulat bola matanya mengunci sosok salah satu siswa yang sedang bermain bola di sana. Sementara, earphone yang terselip di telinganya, mengalunkan musik favorit seakan menciptakan harapan yang terasa begitu nyata di dalam pikirannya.
Satria. Begitu satu kata yang tertulis di halaman buku diary yang terbuka di pangkuannya.
Sampai saat ini, aku hanya mampu mengungkapkan perasaanku lewat kata-kata yang tertulis di sini. Entah sudah lembar ke berapa aku menuliskan tentangmu, tentang perasaanku yang semakin lama kian mengusik kehidupanku, Satria.
Kepada Tuhan, aku selalu berharap jika keberanian itu tumbuh di hatiku, cukup untuk membuatku berdiri dan mengatakannya langsung kalau kamu adalah seseorang yang diam-diam telah aku suka sejak pertemuan itu, yang terjadi begitu saja, tanpa sengaja.
Pena Alia berhenti seketika. Jemarinya menggantung di halaman terbuka, tepat pada akhir kalimat yang baru saja ia akhiri dengan tanda titik. Matanya kembali tertuju pada seorang lelaki di lapangan yang memiliki penampilan biasa-biasa saja namun telah berhasil membuat Alia jatuh dan terikat tanpa alasan.
Ia masih ingat jelas pertemuan pertama itu-hari ketika ia tak sengaja menabraknya di koridor saat sedang terburu-buru menuju kelas. Buku-buku jatuh berserakan, dan sebelum sempat ia memungut semuanya, suara itu terdengar.
“Maaf... kamu nggak apa-apa?”
Alia mendongak, dan untuk pertama kalinya melihat wajahnya dari dekat. Tak ada yang terlalu istimewa sebenarnya. Tatanan rambut ikalnya yang sedikit berantakan, kulit sawo matang yang terbalut seragam putih abu dan senyum yang biasa. Tapi entah kenapa, saat itu dunia terasa lebih pelan. Ada sesuatu di tatapannya yang membuat Alia terpaku beberapa detik lebih lama dari seharusnya.
Sejak saat itu, namanya selalu muncul di benak Alia, menyusup di antara deretan tugas, halaman buku, dan malam-malam sunyi di mana pikirannya tak bisa diam.
Dan kini, seperti hari itu kembali berulang, Satria berdiri di tengah lapangan, menatap ke arahnya.
Sekali lagi, senyum itu muncul. Ringan, singkat, tapi cukup untuk membuat Alia tahu bahwa perasaannya bukan hanya angin lalu.
Lelaki itu kemudian kembali berpaling, melanjutkan permainan bersama teman-temannya seolah tak ada sesuatu yang terjadi. Tapi bagi Alia, detik singkat itu sudah seperti lembaran baru dalam cerita yang selama ini hanya ia simpan sendiri.
Alia tertunduk, dengan gemetar jemarinya mulai mengayunkan pena di atas lembaran bukunya dengan senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan.
Mungkin kamu masih belum menyadari bahwa perasaan yang aku genggam selama ini adalah rahasia kecil yang tumbuh dalam diam.
"Al!"
Alia menoleh dan segera menutup halaman bukunya rapat-rapat sambil melepaskan earphone di telinganya. Seorang gadis datang menghampiri lalu terduduk di sampingnya. "Sudah aku tebak, kamu pasti lagi di sini. Kenapa si?"
"Apanya yang kenapa?"
"Kenapa akhir-akhir ini kamu hobi banget menyendiri saat jam istirahat?" Tanya Disa, gadis berkulit putih itu menyipitkan bola matanya dengan tatapan curiga.
"A-Apa?" Tergagap Alia, menggigit bibir bawahnya.
Mata gadis itu melirik ke arah buku Alia.
"A-Aku lagi hobi nulis novel." Ucap Alia beralasan. "Makanya aku lebih suka menyendiri karena butuh inspirasi."
"Menarik. Sini aku baca!"
Alia menggeleng tegas sambil memeluk buku diary-nya erat. "Si penulis tidak akan membiarkan tulisannya di baca sebelum tulisannya selesai dan menjadi buku yang utuh!"
Disa tertawa renyah. "Oh, ya? Kalau begitu, sebelum menjadi buku yang utuh, sini biar aku revisi!"
Alia menggeleng sambil beranjak. "Pokoknya masih rahasia, Disa!"
"Oke, oke!" Disa mengalah di sisa tawanya. "Kantin, yuk! Udah beberapa terakhir ini kita jarang banget ke kantin bareng lagi."
Alia menghembuskan napasnya. Napas kelegaan-sebab Disa tak lagi menyinggung lagi perihal buku hariannya. Alia segera menganggukkan kepala sebelum gadis itu berubah pikiran. Sebelum mereka benar-benar pergi, mata Alia sempat melirik ke arah lapangan.
Satria. Hanya sepotong nama itu yang aku tahu tentang dirimu.
****
Aliaaa, bangun! Sudah jam berapa ini?!"
Suara teriakan itu membuyarkan mimpi Alia, menggema seperti alarm yang memekakkan telinga. Dengan mata setengah terbuka, ia meregangkan tubuhnya yang kaku setelah semalaman terlelap.
"Aliaaa!"
Tergagap, Alia meraih ponselnya di atas nakas. Begitu melihat waktu di layar yang menyala terang, ia terlonjak panik dan langsung melompat turun dari tempat tidur, berlari keluar kamar.
Semalam, Alia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya lagi dan lagi tidak bisa untuk tidak melupakan sosok Satria. Dan tadi malam, lelaki itu telah berhasil membuat Alia telat bangun hari ini.
Di dapur, sang Ibu tampak sibuk menyiapkan sarapan, wajahnya penuh kesibukan sekaligus sedikit kesal. "Kamu libur hari ini?"