YANG BELUM USAI

essa amalia khairina
Chapter #2

2

Beberapa Tahun Kemudian...


"Ini rumahku." ucap Reno sambil mengajak Citra, wanita yang kini telah resmi menjadi istrinya, masuk ke dalam rumah. Pernikahan mereka telah digelar beberapa hari lalu di sebuah ballroom hotel mewah, dan sejak kemarin Reno tinggal di rumah Ibu mertuanya itu. Setelah mengemasi barang-barang yang dibutuhkan sang istri dan memastikan tak ada lagi yang tertinggal dari rumah orangtuanya, akhirnya Reno berhasil membawa Citra masuk ke dalam rumah lebih dalam lagi. "Kamar kita ada di atas. Bersebelahan dengan kamar Kakakku, Deska."


Sementara, bola mata coklat Citra menyapu ke setiap penjuru rumah yang megah dan luas itu.


"Akhirnya kalian pulang juga." Sapa seorang wanita mengejutkan keduanya. Matanya yang hangat tertuju pada Citra, seakan menyambut dengan hati bahagia serta rasa cinta yang tak terucap. "Mama yakin, kamu akan betah tinggal di sini. Mendiang Papanya Reno sengaja membangun rumah yang luas dan besar agar bisa di tempati oleh anak, menantu, dan cucu-cucunya nanti. Kalau beliau masih ada, pasti hatinya akan selalu dipenuhi kebahagiaan."


"Ma," Sela Reno lembut. "Papa pasti bahagia. Aku yakin Papa sedang melihat dan ikut merasakan kebahagiaan kita."


Tari, wanita berusia empat puluh lima tahun dengan paras awet muda itu hanya mengangguk dengan senyuman. "Oh, ya. Tunggu sebentar!" Sambungnya, lalu berbalik sambil memanggil sepotong nama dengan nada tinggi dan tegas. "Aliaaa!" serunya, menggema di seluruh sudut rumah. "Kemana si, dia?! Aliaaaa!"


"Ma, buat apa panggil Kak Alia?" Tanya Reno sambil sesekali memandang Citra yang juga menatap wajahnya penuh tanya. 


Tak lama, seorang perempuan berusia dua puluh delapan tahun muncul dari balik pintu dapur. Dari balik rambut panjangnya yang tergerai, nampak wajahnya yang tenang, namun ada gurat khawatir di matanya. Tubuh idealnya hanya terbalut pakaian sederhana-blouse pendek tanpa lengan dengan paduan skirt berwarna senada yang kalem. 


"Iya, Tante." Ucap Alia sesaat dirinya mendekati mereka di ruang tengah. 


Citra yang masih merasa asing dan perlu waktu untuk beradaptasi, sesekali hanya memandang Alia dari atas kepala hingga ujung kaki. Tante. Kenapa tidak menyebut Tari sama seperti sebutan Mama seperti dirinya? Batin Citra heran, pikirannya mulai dipenuhi tanda tanya.


Sementara itu, Alia tampak menyadari tatapan adik iparnya. Ia hanya tersenyum tipis, namun sorot matanya memancarkan rasa percaya diri yang begitu kuat sehingga membuat Alia sedikit canggung dan akhirnya menyembunyikan wajah di balik poni gelombangnya. 


"Kemana aja si, kamu?!" Kata Tari sambil memegang telinga Alia pelan. "Ini telinga fungsinya apa?!"


"Ma, udah." Reno menenangkan. "Kak Alia," 


Alia mengangkat wajah memandang lelaki yang terpaut usianya lebih muda satu tahun itu. 


"Mulai hari ini, Citra akan tinggal bersama kita. Kalau Kak Alia butuh sesuatu atau bantuan kepada Citra, gak usah sungkan." Reno berpaling memandang Citra. "Gapapa kan, sayang?"


Citra hanya mengangguk tanpa suara. 


"Udah, udah!" Tari melerai dengan nada yang begitu kuat. "Kalau ucapan Reno seperti itu, Alia tolong bawa tas-tas yang sedari tadi mereka bawa masuk ke dalam kamar!"


"Gak usah, Ma!" Sebuah Citra. "A-Aku sama Mas Reno bisa-"


"Sayang, udah gak apa-apa." Sanggah Tari. "Ini udah tugasnya si Alia."


Ada perasaan minder yang perlahan muncul dirasakan Alia. Bukan karena takut, melainkan panggilan Citra kepada Tari bahkan sikap Tari memperlakukan menantu barunya itu begitu dekat dan akrab. Sehingga, ia bingung harus bersikap seperti apa sekarang. Kecuali menelan sesuatu yang membuat hatinya seperti tersedak diam-diam. 


"Gak apa-apa kok, Ma." Lanjut Citra dengan gelengan di kepala. 


"Iya, Ma. Lagipula, yang seharusnya bawa tas-tas kami itu Mbok Sum. Bukan Kak Alia." Ungkap Reno sambil mengangkat tas-tas yang tergeletak di lantai, lalu ia letakkan sementara di anak tangga yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. 


Reno berjalan mendekati Citra lagi sambil mengusap lembut bahu istrinya itu. "Sayang, aku mau ambil barang-barang yang tersisa di bagasi mobil dulu, ya."


"Kalau begitu," Tari menangkap lengan Citra tanpa permisi. "Mama tunjukkan kamar Reno, ya. Mama udah siapkan segalanya untuk menyambut kedatangan kamu, sayang."


"Serius, Tante? Tante melakukan semua ini-"


"Iya dong, karena Tante senang kalau kamu akan tinggal di rumah ini. Yuk!"


Citra mengangguk sambil berjalan dalam rangkulan hangat Ibu mertuanya itu menuju anak tangga. 


"Mama udah beliin kalian seprai yang nyaman dan makanan lezat malam ini. Semoga kamu suka ya, Citra." Beber Tari sambil berjalan. Suaranya lembut, penuh perhatian. 


Percakapan mereka masih terdengar jelas di telinga Alia. Setiap kata terasa seperti gema yang menyentuh sesuatu di dalam dirinya. Bagian yang selama ini ia coba abaikan selama ini, kini bertambah. Tidak hanya perkataan dan sikap Tari yang selalu membuatnya seringkali tertelan. Namun kali ini, ada getar halus di dadanya. Semacam perasaan tersisih yang tak bisa ia tolak meski mencoba berpikir rasional. 


Ia tersenyum kecil, tipis, nyaris tak terlihat. Namun di balik senyum itu, ada perasaan getir yang mengendap, seakan kebahagiaan yang ia saksikan itu adalah sesuatu yang indah, tapi bukan miliknya. Bukan tempatnya. Bukan untuknya. Dan untuk pertama kalinya, Alia merasa seperti orang asing di rumah yang telah ia anggap tempat ternyaman setelah semua yang ia miliki dulu telah hilang.


"Kak Alia masih di sini, rupanya." Reno mengejutkan. 


Alia terkesiap dan berdeham panjang, mengejutkan dirinya sendiri sambil menyembunyikan kegugupan yang sempat melintas. "A-Aku permisi dulu." 


Reno hanya mengangguk pelan, matanya masih menatap Alia yang kini berpaling dan membalikan tubuhnya bergerak menjauh. Ada sesuatu di balik tatapan Kakak Iparnya itu. bukan marah, bukan pula curiga.


****


Alia mulai memiliki perasaan kompleks dan rumit sehingga membuat dirinya merasa bingung dan tidak tahu bagaimana ia harus bersikap di rumah yang ia tinggali baru-baru ini. 


Ingatan sikap Tari terhadap Citra, membuat hatinya berdesir sehingga bola matanya perlahan menghangat dan berkaca. Selama ini, Alia belum pernah diperlakukan Tari seperti halnya Citra-yang dengan mudahnya dipeluk, disapa hangat, dan dianggap layaknya menantu kesayangan. Padahal Alia sendiri juga anak menantunya yang berhak diperlakukan seperti tadi. 


Tak pernah ada rangkulan, tak ada perhatian yang dijahit dalam bentuk sederhana seperti memilihkan seprai atau menyiapkan makanan khusus. Semua itu hanya ia saksikan dari jauh, seperti menonton sebuah adegan manis yang tak pernah diperankannya.


Alia menunduk, menyeka sudut matanya diam-diam. Ia tahu perasaan itu mungkin tak adil, tapi tetap saja, rasa itu hadir, menyesakkan juga nyata.


"Aku pulang,"


Alia terkejut mendengar suara seseorang membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar. Ia menyeka wajahnya, memandang jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. "Mas,"

Lihat selengkapnya