Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan gerbang sebuah pemakaman yang letaknya tak begitu jauh dari pusat kota.
Deska keluar dari mobilnya lebih dulu, kemudian membukakan pintu untuk Alia yang duduk di kursi penumpang.
Mereka mulai melangkah masuk ke dalam dan berjalan menelusuri area pemakaman yang sunyi, hanya terdengar derik dedaunan yang bergesekan ditiup angin yang tak begitu kencang. Langkah kaki mereka menyusuri jalan setapak berkerikil, melewati deretan nisan tua yang sebagian sudah nyaris tak terbaca.
Beberapa menit kemudian, mereka akhirnya tiba di sebuah makam sederhana yang dikelilingi semak kecil dan bunga-bunga liar. Deska berdiri terpaku sejenak, di samping Alia sambil menatap batu nisan itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Alia terduduk di depan makam, jemarinya menyentuh pelan permukaan batu nisan bertuliskan nama Wina, Ibunya yang dingin dan berembun. Ia menunduk, membiarkan air mata jatuh tanpa suara, sementara Deska berdiri di sampingnya.
Entah apa yang Alia ucapkan di dalam hatinya. Setelah sepuluh menit bergeming tanpa gerak, Alia menangkupkan kedua jemarinya. Gerakan itu memancing Deska untuk melakukan hal yang sama. Mereka memanjatkan doa untuk sang Ibu agar mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan. Setelah itu, Alia menaburkan bunga melati di atas makam. Satu per satu, bunga itu ditaburnya dengan gerakan pelan seakan harus terangkai apik dan penuh makna. Makna dari kerinduan Alia terhadap sang Ibu yang kian banyak seperti kelopak bunga yang telah ia tabur dan siram oleh sebotol air yang perlahan menyatu dengan tanah.
Setelah semuanya selesai, Alia dan Deska kembali menuju mobil yang terparkir di luar area pemakaman. Mesin mobil yang dikendarai Deska mulai menyala dan perlahan meninggalkan tempat tersebut.
"Sayang, kamu baik-baik aja?" Tanya Deska memecah keheningan di antara mereka.
"Iya, Mas." Angguk Alia sambil mengabsen pepohonan yang tertancap di sisi jalan yang mereka lewati.
"Oh ya, kenapa kamu tiba-tiba kangen sama Ibu kamu?"
Alia tertegun. Sesungguhnya, ia menangis bukan karena ia merindukan sang Ibu yang jelas-jelas telah menjadi teman setiap harinya. Melainkan, luka yang masih menganga atas perkataan dan sikap yang Tari lakukan terhadapnya. Kata-kata yang menusuk, dingin serta tajam. Membuat Alia tersudut, nyaris runtuh.
Alia tersenyum menatap jalanan yang lenggang. "Ibu Meninggal mendadak, karena serangan jantung yang tiba-tiba. Hal itu jelas membuat aku begitu sangat kehilangan Ibu, Mas." Alia tersenyum getir dan tertunduk. "Apalagi setelah Kak Andi berhasil diterima kerja di luar kota, semua yang aku miliki seolah hilang begitu saja. Ibu sudah bahagia bersama Ayah di sana, dan Kak Andi kini menjalani kehidupan sesuai dengan impian yang selama ini ia perjuangkan."
Deska melempar senyum. Sejenak, ia melepaskan tuas persneling mobilnya dan menangkup ruas jemari Alia yang nampak rapuh lalu mengusapnya lembut. "Kamu masih punya aku, sayang. Kamu gak sendiri."
"Makasih ya, Mas."
Deska mendesis. "Kamu tidak hanya punya aku. Kamu punya Ibuku dan Reno, mereka bagian dari keluargamu juga, sayang."
Tapi Ibu kamu sampai saat ini tidak pernah bisa menerimaku sebagai menantunya, apalagi menganggap aku seperti anak kandungnya sendiri, Mas. Alia tersenyum dengan sebuah anggukan di kepala.
Di saat yang sama, sebuah getar ponsel terasa di balik saku celana katun hitam yang dikenakan Deska. Dengan sigap, sebelah tangannya merogoh benda tipis itu.
Layar ponsel menyala, menampilkan nama yang tak asing dan membuatnya sedikit terkejut.
"Siapa, Mas?" Tanya Alia penasaran.
Deska menggeser ikon merah panggilan, tanda ia menolak panggilan. "Karyawanku, sayang." Jawabnya sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku seperti semula. "Kamu lapar? Gimana kalau kita makan siang di restoran dekat sini?"
"Boleh, Mas." Angguk Alia.
Deska tersenyum kecil sambil menatap lagi ke depan jalan raya yang sedikit lenggang siang ini. Ia membanting setirnya, membelok kanan, memasuki jalanan komplek yang dipenuhi deretan ruko tua dan pohon ketapang di sisi kiri dan kanan bahu jalan.
"Di sini ada banyak restoran enak." Ungkap Deska tanpa menoleh. "Aku sering melakukan pertemuan dengan klien di sini sambil jam makan siang."
"Mas?"
"Ya, sayang?"
"Aku mau makan yang hangat dan berkuah."
Deska tersenyum, masih fokus menyetir. "Bakso atau ramen?"
Alia berpikir sejenak. "Ramen." Jawabnya. "Kamu gak keberatan kan, Mas?"