"Apa ada lagi yang harus kita bawa, sayang?"
Mata Citra memandang bagasi mobil yang dipenuhi dua koper berisi barang-barang keperluan yang akan di bawa oleh mereka selama berada di Bali. Kemudian, wanita berambut pirang itu menggelengkan kepalanya menatap Reno. "Kayaknya udah lengkap semua, Mas."
Reno mengangguk dan bergerak mendekati Tari, Deska juga Alia di teras rumah. Di susul Citra disampingnya. Keduanya mulai berpamitan.
"Kabarin kalau kalian sudah tiba di Bali, ya." Kata Tari sambil mengusap lembut bahu Citra.
"Kak, gue titip kerjaan gue sementara ya." Tambah Reno memandang Deska dengan tatapan memohon dan penuh harap. "Kalau ada apa-apa, hubungi gue."
"Siap!" Angguk Deska sambil memberikan salam hormat kepada sang adik. "Pokoknya lo gak usah khawatir. Gue bakal kabarin lo apapun itu."
Reno mengangguk sembari menepuk pundak kokoh Deska. Ia juga berpamitan kepada Alia dengan senyuman hangat. Sedangkan, Alia hanya mengangguk kecil dan memancing keduanya mulai bergerak masuk menuju mobil. Begitu suara klakson mobil terdengar, mereka melambaikan tangan mengiringi kepergian keduanya hingga menghilang dari pandangan, begitu keluar dari gerbang rumah.
"Akhirnya, mereka bisa bulan madu juga." Kata Tari memandang Deska dan Alia bergantian. "Mama juga berharap, sangaaaat, sangat berharap kepada mereka untuk segera memiliki momongan." Tari tersenyum memandang lurus Alia sambil melipatkan kedua lengannya di bawah dada. "Bukankah setelah menikah, bulan madu lalu memiliki anak adalah dambaan setiap para wanita?"
Alia tertunduk bisu. Berusaha menyembunyikan sesuatu yang baru saja menghantam dadanya.
"Ma," Deska menarik bola mata Tari.
"Kapan kalian punya anak? Sudah tiga tahun menikah, apa kalian bosan hidup berdua?"
Deska tertelan, jakunnya bergoyang naik turun. Ia tertunduk sejenak lalu melirik Alia yang menyembunyikan wajahnya dari balik rambutnya yang tergerai. Tak lama kemudian, matanya kembali menatap Tari dengan dingin namun santai. "Mama ingin kami segera punya anak?"
"Ya ampun, Deska. Gitu aja pakai nanya segala!"
"Menurut Mama?"
"A-Apa?"
"Bagaimana menurut Mama jika kami mengadopsi anak terlebih dahulu sebagai pancingan. Sama seperti apa yang Mama dan Papa lakukan dulu?"
Tari terhenyak. Penuturan Deska yang santai membuat ia tertampar di tempat dan membuat bibirnya mendadak bungkam. Sementara, Alia menyembunyikan rasa keterkejutannya atas apa yang baru saja ia dengar. Dan, seolah mendapatkan pembelaan, Alia mengangkat wajah dan sesekali memandang Tari juga Deska secara bergantian.
"Bagaimana, Ma?" Desak Deska dengan tenang dan tatapan yang sulit di mengerti. Sorot matanya berkaca, namun wajahnya begitu santai seakan menahan gemuruh di dadanya.
Tari tak menjawab. Di saat itu juga, ia berpaling lalu pergi meninggalkan keduanya.
Deska menatap punggung ibunya yang menjauh tanpa sepatah kata. Suara langkah kaki Tari yang terdengar kuat, menandakan kekesalan yang tak dapat dihentikan.
Deska menarik napas pelan, lalu mendesis kecil. Sebuah senyum tipis tersungging di wajahnya, diiringi gelengan kepala yang nyaris tak terlihat.
Bukan karena geli, bukan pula karena pasrah. Lebih seperti seseorang yang lelah menjelaskan, tapi tetap harus berpura-pura tidak apa-apa dan melupakan semua yang baru saja menghantamnya.
"Mas," Alia menggenggam jemari kokoh Deska, menarik wajah lelaki itu dan memandangnya penuh perhatian. "A-Apa maksud dari ucapan kamu tadi? Kamu ..." Kalimat Alia terputus ragu.
Deska melirik jam tangan di balik tuxedo yang dikenakannya. "Sayang, aku harus pergi ke kantor sekarang. Kamu jaga diri kamu baik-baik."
"Tapi, Mas-"
Deska melempar senyum lalu mencium kening Alia sambil melepaskan genggaman yang tertahan. Ciuman itu ia rasakan hari ini seperti ritual yang tak bermakna. "Kalau ada apa-apa hubungi aku ya, sayang."
Tanpa menunggu jawaban, Deska melangkah pergi. Ia masuk ke dalam mobilnya dan mulai menyalakan mesin. Sedangkan Alia masih berdiri di sana. Suara mobil suaminya seperti gemuruh di dadanya. Alia membeku, dengan tatapan kosong hingga membiarkan lelaki itu pergi meninggalkan rumah.
****
Pandangan Deska masih terfokus pada kemudi, sementara pikirannya melayang atas apa yang baru saja ia katakan kepada Tari, di depan istrinya Alia.
Susah payah ia merahasiakan kehidupannya, namun dalam satu momen yang rapuh semuanya terlontar begitu saja. Deska menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam gejolak di dadanya.
Keheningan di dalam mobil begitu pekat, hanya terdengar deru mesin dan suara rintik hujan di kaca depan. Deska ingin saja menarik kembali kalimat yang telah meluncur dari bibirnya.
Bagaimana menurut Mama jika kami mengadopsi anak terlebih dahulu sebagai pancingan? Sama seperti apa yang Mama dan Papa lakukan dulu.
Sungguh, Deska seperti telah terjebak dalam situasi yang tidak terduga. Mulanya hanya ingin membuat Alia terlindungi dari serangan kalimat Tari yang berduri dan penuh sindiran, tapi justru membuat wanita itu semakin tak tenang.
Deska tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Dan, ia harus siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan Alia lontarkan padanya nanti.
Beeeep!