Matahari pagi menyeruak lebih cepat dari jam biasanya, menyisakan embun pagi yang menempel di kaca jendela kamar mereka. Alia lebih dulu bangun, kemudian di susul Deska yang segera pergi menuju kamar mandi. Tak ada jadwal kantornya hari ini, melainkan bersiap diri untuk menemui sahabatnya.
Beberapa menit, saat suara gemericik air tak lagi terdengar, dari balik cermin, Alia memandang Deska keluar dari kamar mandi. Lelaki itu nampak sempurna, tubuhnya yang terbentuk dari rutinitas olahraga yang teratur menjadikan penampilannya memukau dalam balutan handuk yang melilit pinggangnya. Sedangkan, rambut dan sekujur tubuhnya yang bertelanjang dada dibasahi oleh sisa air dengan membawa aroma sabun yang khas.
"Aku sudah siapkan kamu pakaian, Mas." Ujar Alia sambil memperlihatkan sebuah kemeja coklat yang menggantung di kenop lemari.
Deska mengangguk. Matanya sekilas memandang pakaiannya itu. Kemudian, matanya beralih pada Alia, yang tampak cantik hari ini.
Gaun yang sengaja dibeli Deska kemarin itu tampak sangat cocok dikenakan Alia. potongan gaun berwarna krem itu nampak sederhana namun tetap memancarkan kesan anggun dan tenang. Sementara itu, rambutnya dibiarkan tergerai dengan poni bergelombang yang membingkai wajah tirusnya. Sentuhan make-up yang natural semakin menonjolkan sosok Alia yang sesungguhnya.
"Kamu lupa ini," Deska mengambil sebuah kalung yang tergeletak di atas meja rias. Kalung yang pernah ia berikan pada Alia beberapa minggu lalu.
"Oh iya, Mas." Alia mengangguk, menyadari kelalaiannya.
Deska lalu bergerak lebih dekat, berdiri di belakang Alia, lalu dengan hati-hati memasangkan kalung itu di leher jenjang Alia.
"Cantik," Lirih Deska sambil mencium bahu telanjang Alia kemudian. "Aku bangga punya istri secantik kamu, sayang." Deska memeluk Alia dari belakang. "Apa kamu ingat dengan pertemuan pertama kita?"
Alia yang masih mengunyah setiap pujian Deska, hanya mengangguk tanpa suara.
"Aku melihatmu sebagai wanita yang teramat rapuh, tapi tetap bertahan. Dan sekarang, bukan hanya bertahan tapi kamu juga tumbuh cantik dan kuat." Beber Deska menatap Alia dari cermin yang ada di depan mereka. "Cantik, tulus, kuat, dan utuh."
Pujian itu menelusup pelan ke dalam ruang dari diri Alia dan menggema di pikirannya. Perlahan, air mata haru membasahi kelopak matanya sehingga pandangannya sedikit kabur, namun ia tak menepisnya. Alia membiarkan perasaan itu mengalir sepenuhnya. Sehingga, suasana pagi yang dingin dan tenang, kini menjadi hangat diselimuti diam yang bermakna.
"Makasih ya, Mas." Ucap Alia kemudian.
Deska mendesis, tertawa ringan dan tenang. "Lagi dan lagi kamu selalu mengucapkan kalimat terima kasih. Untuk apa, Alia? Kamu berhak mendapatkannya."
Alia berbalik menghadap Deska tanpa melepaskan pelukan. Wajahnya dengan wajah lelaki itu hanya berjarak beberapa senti. "Terima kasih karena kamu adalah seseorang yang berhasil membuat aku bangun dari jatuh dan menemani aku menjalani kehidupan yang tak setiap harinya baik-baik saja."
Deska tersenyum dengan anggukan di kepalanya. Namun, itu bukanlah sepenuhnya jawaban. Lebih dekat lagi, Deska kemudian meraih dagu Alia agar mata mereka yang dekat, berbicara.
Di antara jeda yang mengalir bersama napas dan detak yang tak terkendali, Alia masih terpatung, tak menghindar. Tatapan mereka saling menggenggam dalam diam seakan tengah saling membaca hati yang selama ini sulit terucap.
****
"Non cantik."
Alia tersenyum sipu mendapat pujian manis dari Mbok Sum. "Aku nampak seperti hari biasa kok, Mbok. Hanya mengenakan gaun ini saja."
"Alia emang cantik." Sanggah Deska menarik kursi makan lalu duduk di samping Alia.
"Si Mbok ke dapur dulu."
Deska mengangguk sembari membalikan piring makannya. "Makasih ya, Mbok."
"Sama-sama, Den." Mbok Sum berlalu pergi kembali menuju dapur.
"Mas, aku gak suka di puji berlebihan." Protes Alia.
Deska tersenyum sembari mengusap lembut helai rambut Alia. "Kamu emang cantik kok, sayang."
"Mas," Alia meringkuk manja di pangkuan bahu kokoh Deska sebentar. Setelah itu, ia mulai menuangkan beberapa nasi dan lauk pauk ke piring suaminya itu.
"Hmmm-mmm."
Keduanya terkesiap. Deska dan Alia sama-sama mendapati Tari yang datang mendekatinya, lalu duduk di kursi lain, tepat di seberang mereka. Dari balik maskara yang mempertegas matanya, wanita itu memandang mereka secara bergantian dengan tatapan tajam dan menusuk. "Mau pergi kemana?"
Deska menarik senyum. "Aku mau menemui Yuda."
"Yuda teman kuliahmu dulu?" Tari menebak.
"Iya, Ma. Dia baru saja kembali lagi kesini setelah dua tahun tinggal di Tanggerang." Jelas Deska sambil melahap makanannya. "Rencananya, dia akan menetap di Bandung."
"Kamu ...," Tari melirik Alia sejenak. "Ajak dia?"
"Kenapa?" Angguk Deska.
"Kamu gak salah?"
"Maksud Mama?"
Tari tersenyum tipis, namun ada kesan sinis di balik senyumnya. Senyum yang perlahan membuat Alia kehilangan rasa percaya dirinya. Senyum yang membuat wajah penuh semangat Alia perlahan lenyap begitu saja.
"Ma," Deska meletakan sendok makan di atas piring sambil melirik jam di lengannya. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. "Aku sama Alia harus pergi sekarang."
"Mas," Alia terkesiap melirik Deska.
Deska segera menarik lengan Alia untuk beranjak dari kursi makan, langkahnya cepat dan mantap meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh lagi.