Kehadiran Deska membuat wanita itu menjadi lebih tenang. Dengan cara pertemuan yang tak terduga, Deska seakan membuka kembali cerita yang belum sempat diselesaikan.
Karin, yang masih duduk di kursi penumpang itu tahu dan cukup sadar diri bahwa kini ia tak pantas untuk di miliki oleh siapapun. Sebab, si jabang bayi yang ia kandung telah menjadi bukti nyata bahwa sosok wanita yang berharga kini jauh lebih rendah dan hina. Dan, itu dirinya.
Tetapi, saat Deska kembali, semua perasaan itu lenyap, semua langkah yang ragu kini kokoh dan kuat. Lelaki itu membuat Karin merasa lebih aman dan lebih percaya diri untuk melangkah dalam menjalani kehidupan yang tak selalu mudah. Meskipun kisah mereka telah usai, namun kehadirannya seperti cahaya matahari yang sudah lama terbenam.
"Sudah tiba, Bu." Ucap sang sopir, memecah setengah lamunan Karin. Matanya singgah sejenak memandang Karin melalui kaca spion.
Karin menoleh, matanya memandang sebuah gedung yang berdiri kokoh di antara rerimbunan pepohonan pusat kota. "Benar ini gedungnya, Pak?"
"PT Global Mahendra. Betul, Bu. Ini gedungnya." Angguk lelaki setengah abad itu.
Karin merogoh ponselnya dan membayar argo taksi lewat aplikasi online. Jemarinya begitu lincah menari di atas keyboard, hingga membuat ponsel sang sopir bergetar tanda pembayaran berhasil.
Dengan hati-hati, Karin beringsut turun dari badan mobil dan mulai melangkah masuk ke dalam area gedung pencakar langit itu.
Napasnya terasa berat, meski wajahnya tampak tenang. Setiap langkah yang terbungkus oleh high heels berukuran rendah, membawa kenangan yang bercampur dengan harapan baru, seolah pintu itu bukan hanya gerbang sebuah gedung, tapi juga gerbang menuju babak hidup yang berbeda.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Sapa seorang wanita di balik meja informasi.
"Saya ingin bertemu dengan Deska Laksana Mahendra. Apa benar ini kantornya?" Tanya Karin dengan perasaan berat dan ragu, namun hati dan pikirannya ingin tetap ia melangkah maju.
"Benar. Dengan siapa?"
Karin menelan saliva sebelum menjawab. "Karina Sita Pradisti. Saya masih keluarganya."
"Baik. Mohon di tunggu sebentar, ya." Ujar wanita itu sambil mempersilahkan Karin duduk menunggu di ruang tunggu.
Karin mengangguk, menurut. Ia mulai duduk di sebuah sofa empuk, di bagian ruangan yang sejuk oleh hembusan AC dan aroma parfum jeruk yang segar, mengisi udara dan menambah perasaan gugupnya sebelum ia benar-benar bertemu Deska hari ini.
Setelah sangat lama mereka tak lagi berjumpa dan berkomunikasi, lantas sekarang Karin ingin menjalin hubungan yang sempat tertunda. Ini memang gila. Batin Karin dengan penuh kesadaran diri. Ia bahkan tak peduli bagaimana ia kotor dan hina, yang jelas, semua ini bukan kemauannya. Dan yang lebih penting dari segalanya, ia mau Deska bisa menerimanya kembali.
Hampir setengah jam menunggu, Karin beranjak dari sofa saat melihat Deska keluar dari pintu lift bersama seseorang.
Jantungnya berdegup lebih kencang, campuran antara kecemasan dan harapan yang sulit diungkapkan dengan kata mulai membelenggu.
Tak ada banyak yang berubah dari sosok Deska, dengan langkah tenang dan senyum tipis yang selalu mampu menenangkan suasana, lelaki itu masuk ke dalam ruangan setelah wanita tadi memberitahu bahwa ia sudah menunggu cukup lama.
Karin menarik napas dalam-dalam, menyiapkan dirinya untuk berhadapan dengan sosok yang ditunggunya, meski hati kecilnya bertanya-tanya apa ia pantas untuk melakukan semua ini.
"Karin," Sapa Deska, begitu lelaki itu masuk ke ruangan bersama seorang lelaki dengan balutan pakaian yang lebih santai namun tetap rapi dan beribawa.
"Sa-Satria," Tergagap Karin. "Sa-Satria, di sini juga?"
"Iya." Angguk Deska. "Kami baru saja mengobrol setelah cukup lama kami tidak lagi bertemu."
"Maaf, aku mengganggu kalian." Nada kecewa Karin terdengar sangat jelas, terlebih saat Satria memandangnya penuh curiga.
Deska tertawa ringan. "Tidak apa-apa. Kedatangan kamu juga, anggap saja kita sedang reuni kecil-kecilan. Iya, gak?!" Dsska menyenggol sikut Satria.
Satria mengangguk sambil melirik jam di lengannya. Ia seolah sibuk, padahal ia hanya ingin memberikan kesempatan kepada mereka untuk bicara berdua. Meski, ia ingin tahu apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Hubungan asmara? Bukankah Deska dan Karin sudah berpisah sejak lama? Deska bahkan sudah memiliki istri, Alia. Batinnya bertanya-tanya. Mata Satria yang menatap Karin mulai melihat perutnya yang sedikit mengembang dan tubuhnya yang tak seideal dulu. Karin hamil? Apa dia sudah menikah?
"Gimana kalau kita ngobrol sambil makan siang?" Ajak Deska. "Gue yang traktir!"
"Bro, sorry." Sanggah Satria sambil menepuk pundak kokoh Deska. "Bukannya gue nolak rejeki, tapi gue masih ada urusan."
Bagus! Batin Karin bersorak senang. Meski wajahnya tetap datar, ia harus berusaha menyembunyikan kegembiraannya itu.
"Gue harus cek ke lokasi pembangunan studio baru gue."
"Oke. Hati-hati, bro!" Angguk Deska sembari menjabat tangan Satria, dengan gaya salam khas yang mereka lakukan dengan cepat dan kompak.
Tanpa banyak kata, Satria melangkah keluar dari ruangan. Gerak kakinya cepat dan tegas, namun dalam hatinya terselip dorongan untuk berhenti dan berbalik, sekadar untuk memastikan apa yang sebenarnya direncanakan Karin, wanita yang sejak tadi memandangnya dengan sorot mata penuh kehati-hatian dan makna yang sulit ditebak.
"Gimana kalau kita ngobrolnya sambil makan siang?" Deska mengejutkan.
Karin mengangguk mantap. "Tentu!"
****
Restoran yang mereka kunjungi tidak terlalu jauh dari tempat kerja Deska. Terletak di sebuah food court, tempat Deska pernah mengajak Alia makan ramen beberapa pekan lalu.
Kali ini, mereka mengunjungi rumah makan yang lebih santai berkonsep semi outdoor yang luas dan nyaman. Dengan kursi-kursi vintage bermaterial kayu, menambah kesan hangat dan akrab.
Deska dan Karin duduk berhadapan, mereka berbincang sambil menikmati makan siang mereka. Suasana yang sangat kental dan seharusnya dihiasi oleh kehangatan dan tawa ringan, namun percakapan mereka sangat datar dan hambar. Canggung. Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menilai situasi mereka saat ini.
Ada jarak tak kasat mata yang kini terasa begitu nyata. Dulu, selalu terucap ribuan kalimat romantis dan penuh cinta, tapi kini seperti ada sesuatu yang tidak terucap, menggantung di udara, menahan tawa yang seharusnya bisa pecah, kini hanya kalimat yang tak lepas dari jawaban sejauh apa mereka menjalani hidup.
Andai saja ada Satria, mungkin suasana akan berbeda. Batin Deska melahap lagi makanannya.
"Deska," Kata Karin lagi setelah beberapa saat mereka saling membisu. "Sebenarnya, aku menemuimu ingin mengucapkan terima kasih dan-"
Belum saja kalimat Karin selesai, sebuah getar ponsel menyala dari atas meja. Deska si pemilik ponsel itu segera menanggapi sambungan panggilan di luar sana. "Halo?"
"Mas, kamu hari ini pulang jam berapa?" Suara Alia terdengar berat dan tertelan.
"Seperti biasa, jam lima atau enam sore. Sayang, apa kamu baik-baik aja di rumah?"