YANG BELUM USAI

essa amalia khairina
Chapter #7

7

Setelah menjalani beberapa serangkaian pemeriksaan, Deska dan Alia akhirnya kembali ke ruang tunggu dengan wajah lelah namun penuh harap. Mereka saling menatap, saling menenangkan diri di antara rasa cemas yang tak dapat mereka ungkapkan. 


Beberapa menit kemudian, pintu ruang dokter terbuka perlahan, dan seorang perawat memanggil nama mereka. Deska dan Alia berdiri dari kursi koridor, mereka mengikuti sang perawat lalu masuk ke dalam. 


"Apa kabar, Pak Deska dan Bu Alia?" sambut seorang wanita berjubah putih itu, dibalik kacamatanya terlihat tegas namun ramah. "Silakan duduk," katanya sambil mengulurkan jemarinya ke depan, mempersilakan mereka duduk di seberangnya.


Keduanya menurut. Deska dan Alia duduk bersebelahan. Wajahnya semakin tak bisa menyembunyikan kecemasan mereka. Tanpa sepengetahuan Dokter, ruas-ruas jemari mereka saling mengikat bersembunyi di bawah meja. 


"Baiklah. Bu, Pak ... Berdasarkan hasil lab, anda berdua sebenarnya cukup sehat dan tidak ada masalah apapun pada kesehatan reproduksi anda."


Deska dan Alia menghembuskan napasnya penuh lega bersama-sama. 


"Namun, ada satu hal yang perlu kita perhatikan lebih lanjut." Dokter itu berhenti sejenak menatap Deska dan Alia bergantian. 


"Apa itu, Dok?" Tanya Deska.


"Hasil menunjukkan bahwa kemungkinan besar anda berdua dapat memiliki anak secara alami, namun perlu waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pasangan lain. Ini disebabkan oleh kondisi sperma dan sel telur yang membutuhkan waktu yang tepat untuk mencapai pembuahan. Jadi, saya sarankan agar anda berdua menjalani pola hidup sehat secara konsisten." Mata sang Dokter beralih pada Alia. "Dan untuk Ibu, usahakan jangan terlalu banyak pikiran ataupun stres berlebihan, ya."


Alia menganggukkan kepalanya. "Terima kasih, Dok. Saya akan berusaha untuk itu."


"Bagus. Jangan lupa untuk menjaga pola makan yang seimbang. Dan terakhir, jika anda berdua memiliki pertanyaan atau kekhawatiran, silahkan jangan ragu untuk hubungi saya."


Deska dan Alia mengangguk serempak, merasa bahwa mereka telah mendapatkan jawaban yang mereka cari. Usai berpamitan dengan dokter, mereka kembali menuju mobil dan meninggalkan rumah sakit. 


Deska melepas persneling dan menggenggam tangan Alia dengan erat, matanya sekilas melirik wanita itu lalu terfokus pada kemudi. "Kita bisa melakukan ini, sayang." Ucapnya penuh keyakinan. 


"Iya, Mas." Angguk Alia. "Dengan begitu, Ibu kamu tidak akan meragukan kita lagi."


"Nanti biar aku yang menjelaskan ini semua pada Mama."


Alia mengangguk. Di saat yang sama, sebuah getar ponsel mengusik perbincangan. Deska melepas genggaman lalu merogoh saku celana dan melihat layar yang menyala. "Siapa, Mas?" Alia memandang wajah Deska yang mendadak serius. 


"Aku harus ke kantor segera, sayang." Ucap Deska sembari memasukan kembali ponselnya ke saku. "Ada kendala di kantor. Kamu ikut aku ke kantor dulu, ya. Habis itu aku antar kamu pulang."


"Baik, Mas." 


Jawaban Alia membuat Deska sedikit lega. Ia membanting setir mobilnya mengambil salah satu persimpangan jalan, menuju jalan alternatif menuju kantornya. 


Kurang dari lima belas menit, mereka tiba di depan gedung kantor tempat Deska bekerja sebagai seorang direktur perusahaan yang selama ini susah payah mengembangkan bisnis almarhum Ayahnya, Mahendra Wicaksono, di bidang properti yang sudah lebih dari lima belas tahun bertahan. 


"Sayang, kamu tunggu di sini, ya." Ucap Deska setibanya mereka berada di depan ruangan pribadinya. 


Deska membuka pintu dan mempersilakan Alia masuk terlebih dulu sebelum melangkah menuju mejanya. Wajahnya menunjukkan kesibukan yang tak bisa ia tunda. "Kalau ada apa-apa hubungi aku."


Alia menganggukkan kepalanya, mengerti, sambil menarik senyuman kecil di wajah tirusnya. Kemudian, Deska berlalu pergi, meninggalkan Alia yang perlahan melangkah masuk lebih dalam ke ruangannya. 


Di dalam, terdapat aroma khas citrus yang masih melekat di udara dengan semilir AC yang sejuk, seakan menyimpan jejak kehadiran sang pemilik ruangan. Alia menatap ke sekeliling, ada sebuah meja kerja dengan tumpukan dokumen yang tersusun rapi di pojok. Beberapa sofa empuk dan nyaman berada di tengah ruangan dengan meja kaca bundar di tengahnya, matanya lalu berhenti pada salah satu bagian dinding yang tergantung beberapa foto yang terpajang. 


Alia kemudian bergerak mendekati salah satu dinding berlapis panel kayu yang tampak lebih tebal dibandingkan sisi lainnya itu. Ia mulai mengamati satu per satu foto yang terpajang di sana. Mulai dari foto keluarga, foto Deska bersama sang Ayah, Mahendra Wicaksono. Hingga ... 


Alia mendadak bisu tanpa sedikit gerak. Bola matanya nyaris tak berkedip saat memandang wajah familiar itu, terlalu dekat dengan ingatannya, segurat wajah yang serius namun dengan tarikan senyum yang ramah dan bersahabat. "Sa-Satria," Gumamnya. 


"Des, gue hubungi lo tap-"


Alia terkejut dan menoleh ke ambang pintu yang mendadak terbuka lebar. "Satria," Ulangnya lagi saat mendapati lelaki itu mendadak terpaku di tempatnya. 


Keduanya terdiam sejenak, saling menatap dengan mata yang tak berkedip. Alia merasa seperti kembali ke masa lalu, masa dimana mata itu tanpa sengaja mendapatinya, membuat dadanya berdesir hangat merasakan guncangan hebat nyaris tak terkendali, menumbuhkan harapan yang tak terbatas. Tapi sekarang, harapan itu harus bisa ia kendalikan, sebab ada batas yang menghalanginya untuk melupakan kisah yang seharusnya tak lagi ada. 


Satria terkesiap saat ponselnya berdering. Ia berpaling sejenak dan menatap layar yang menyala. "Halo?" Suaranya lembut dan kharismatik. 


"Ada apa, Yud?" Suara Deska terdengar di seberang sana. 


Lihat selengkapnya