YANG BELUM USAI

essa amalia khairina
Chapter #9

9

"Permisi, paket!"


Suara itu membuat Tari segera bergerak dari ruang makan, menuju pintu depan rumah. Ia membuka pintu dengan cepat dan mendapati seorang kurir berdiri di sana sambil memegang ponselnya. 


"Dengan Ibu Alia?" Tanya pria berjaket merah itu. 


"I-Iya, benar. Tunggu sebentar." Ujar Tari. "Aliaaa! Aliaaaa!"


Suara Tari menggema ke dalam rumah, memanggil anak menantunya yang mungkin masih menikmati sarapan paginya. Ia sempat melirik sekilas ke arah pria di depan pintu, lalu wajahnya kembali menyapu setiap sudut dalam rumahnya. "Aliaaaa!"


Tak lama, langkah kaki terdengar mendekat, lalu muncul Alia bersama Deska. Deska sudah berpakaian rapi, mengenakan seragam kerjanya lengkap dengan tas kantor yang selalu ia jinjing. 


"Atas nama Ibu Alia?" Tanya sang kurir memastikan. 


Alia mengangguk dengan gerak melambat, pikirannya dipenuhi tanda tanya. Terlebih, Deska yang tampak tergesa-gesa namun penasaran melihat kurir yang datang sepagi ini di depan rumah mereka dan menyebut nama istrinya. "Kamu pesan paket, sayang? Tumben."


"Aku gak tahu, Mas." Lirih Alia. 


"Pesanan paket atas nama Ibu Alia sebesar tujuh juta lima ratus ribu rupiah. Pembayarannya mau via transfer apa cash, Bu?"


Mereka semua terperanjat. Bibir Alia terkatup rapat, seolah semua kata tercekat di tenggorokan. Wajahnya tiba-tiba menegang dengan debar jantung yang berdegup ganda. Sementara, Tari tercengang sambil memandang Deska yang melongo bukan main. 


"Sayang, kamu pesan paket apa semahal itu?!" Tanya Deska penasaran. 


"Ma-Mas." Geleng Alia tergagap. "A-Aku gak pesen apa-apa, Mas. Aku gak tahu, mungkin Mas kurirnya salah orang atau-"


"Alamat yang ditunjukkan sudah tepat, Alia. Kamu gak usah mungkir lagi!" Tandas Tari melirik sang kurir. "Jalan Anggrek nomor empat satu tiga, betul Mas?"


"Betul, Bu." Angguk kurirnya. "Atas nama Alia Putri Kirana."


Tari melipatkan kedua lengannya di bawah dada sambil menatap tajam Alia. "Itu kan nama kamu?!"


Alia mengangguk. "Tapi aku gak pesan pernah pesan paket, apalagi sebanyak itu Tante."


"Jelas-jelas itu nama kamu, sayang." Deska memandang Alia dengan dahi berkerut. 


"Deska, mungkin istri kamu itu belanja buat ngilangin stress-nya! Dokter kan bilang, kalau dia gak boleh banyak pikiran apalagi stress, makanya dia belanja sebanyak itu!"


Alia menggeleng, lagi. Menolak, kali ini dengan gerakan lebih jelas. Matanya berbinar, menatap Deska dengan mata memohon. "Mas, tolong percaya sama aku, aku gak pernah pesan paket sebanyak itu, Mas. Apalagi dengan jumlah yang sebegitu banyaknya!"


"Mana ada maling ngaku!" Celetuk Tari sambil membaurkan bola matanya ke atas. "Mama gak ikut campur!"


Tari segera bergerak masuk ke dalam rumah. Sedangkan Deska memandang Alia, raut wajahnya masih berkerut, menggenggam rasa kecewa yang kali pertama Alia lihat. "Kamu bayar itu sama tabungan kamu sendiri."


"Mas ...,"


"Ini hukuman buat kamu." Deska berlalu pergi. Ia masuk ke dalam mobilnya dan berlalu pergi. 


Bukan karena nominal yang harus Deska keluarkan, melainkan rasa kepercayaannya terhadap Alia dalam mengatur keuangan itu sendiri perlahan goyah.


Tapi tak lama, pikirannya kembali pada Karin. Sejak semalaman kemarin sampai saat ini, ia tak bisa untuk tidak melupakan perkataan wanita itu. 


Wajahnya yang penuh mengundang rasa iba, menghadirkan kerinduan yang selama ini tak pernah lagi Deska simpan. 


"Aaaaah! Apa-apaan gue!" Gerutu Deska sambil memukul setir, mengutuk dirinya sendiri. "Ini gila! Ini gilaaa! Sadar, Des! Karin masa lalu lo dan Alia masa depan lo yang harus lo perjuangin!"


Kalimat itu diucapkannya tegas, namun hatinya seakan menolak keras. Deska tertekan dengan sebuah gelengan. "Ngga, ngga! Gue gak boleh pikirin yang macem-macem." Gumamnya lagi sambil menancapkan pedal gas mobilnya di jalanan yang masih lenggang itu.


****


Indah matamu seperti cahaya bulan. Berkilau terang, diantara gelapnya hati. Aku, mengagumimu layaknya bintang. Menemanimu saat sepi datang. Satria Yuda Pratama


Wajah Satria tersenyum-senyum sendiri ketika membaca dalam hati, sebait puisi yang pernah ia buat sejak sekolah dulu. 


Dirinya masih sangat ingat pada saat kali pertama dirinya tanpa sengaja saling bertatapan mata dengan sosok gadis sederhana, namun menurutnya memiliki segala kelebihan, termasuk senyuman tipis yang indah. Yang membuatnya sulit melupakan, seperti sekarang. 


"Cinta pertama memang sulit untuk dilupakan." Gumamnya pada diri sendiri sambil memandang secarik kertas yang ia genggam. "Terlalu indah. Meskipun kejadiannya sudah tak lagi diingat, tapi rasa itu akan selalu dikenang, Al-"


"Satria...!" 


Satria terkesiap. Ia beranjak dari sofa yang menghadap balkon kamarnya sambil melipatkan lagi kertas itu dan meletakkannya ke tempat semula, menyimpannya di bawah tumpukan baju isi lemarinya.


"Sat!"


"Iya, Ma!" Satria bergerak cepat keluar kamar. Bergerak menghampiri ke arah sumber suara Ibunya yang berada di lantai bawah. 


"Kenapa, Ma?" Tanyanya begitu mendapati seorang wanita berparas teduh awet muda itu tengah duduk di kursi makan. 


"Kamu gak sarapan?"


Satria mengangguk dengan senyuman. Ia menarik kursi lalu duduk di hadapan Mona, Ibunya. Di depannya, terdapat beberapa lauk pauk sarapan. Mulai dari nasi goreng, segelas susu, roti juga buah. Ia mengambil sepotong apel lalu digigitnya kecil. 

Lihat selengkapnya