Sudah genap dua bulan Clara tinggal di mansion itu dan selama itu ia telah menyelesaikan semua pekerjaan yang diberikan oleh Justice berkaitan dengan perpustakaan.
Hal yang paling penting baginya adalah menghindari Karl agar tidak selalu terjadi perdebatan. Itu sangat membuang waktu dan menguras emosi. Ia paham benar Karl sangat membencinya dan alasannya karena ia juga nenjadi penghambat dalam berkembangnya hubungan antara dirinya dan Sophia.
Meskipun begitu, pada kenyataannya, Clara sering sekali memberi kesempatan untuk mereka selalu bersama dalam berbagai acara. Ana dan Hans adalah orang-orang pertama yang menyadari hal itu.
"Kenapa Nyonya melakukan hal itu?" tanya Ana suatu hari saat membiarkan Karl dan Sophia hadir di pernikahan koleganya, padahal seharusnya Karl membawa Clara.
"Agar mereka punya waktu lebih banyak tentu saja. Dengan begitu, aku juga menjadi tenang karena tidak menjadi perusak hubungan mereka. Juga sudah kubilang bahwa aku hanyalah pemain figuran di antara mereka, jadi tidak seharusnya aku berada di antara mereka." Clara menatap Ana sambil tersenyum.
Ana tidak memberikan komentar apa-apa. Dia hanya menganggukkan kepala lalu menunduk. Ia berpikir majikannya itu terlalu baik. Semakin ia dekat dengan Clara, semakin ia menyadari bahwa majikannya itu jauh dari yang Justice Brightman gambarkan.
Sementara itu di ruang kerja Justice, semua wajah lelaki Brightman tampak kaget. Pasalnya Hans baru saja memberitahu bahwa Clara sudah menyelesaikan semua bacaan yang ada di perpustakaan.
"Perpustakaan itu ada tiga lantai, Hans. Apakah maksudnya dia menyelesaikan semua buku di lantai satu saja?" Brad mengonfirmasi.
"Tidak, Tuan. Nyonya Muda Clara sudah menyelesaikan semuanya. Dia bahkan menyusun ulang semua buku yang ada di sana berdasarkan kategori dan bidangnya. Ia juga membuat katalog untuk semua buku dan ringkasan dari setiap buku dalam katalognya. Saya sudah masukkan semuanya ke dalam sistem baru. Jadi, ini jauh lebih praktis." Hans menjelaskan panjang lebar.
"Itu tidak mungkin. Dia mengalahkan aku," ucap Karl dengan wajah tak percaya. Ia mengepalkan tangannya.
"Benar! Mengalahkan semua kupikir," ujar Ian.
"Bahkan Sophia tidak bisa menyelesaikan semuanya dalam waktu satu tahun. Bagaimana ia bisa melakukannya dalam waktu dua bulan?" sambung Ian.
"Saya mengawasi dia setiap hari dan dia membaca sangat cepat. Dia bisa menyelesaikan ratusan buku dalam sehari," jawab Hans dengan lancar.
Ian tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Ia menatap ke arah Karl yang terlihat masih marah.
"Sergei melatih semuanya. Aku paham tujuannya. Tapi apa harus seekstrim itu?" gumam Justice sambil menatap ke arah luar.
"Tuan, tugas apa yang akan diberikan kepada Nyonya Muda selanjutnya?" tanya Hans sambil menatap Justice dengan penuh hormat.
"Sebelum memberikan tugas baru kepadanya, aku ingin mengujinya terlebih dahulu," ujar Justice sambil menatap Hans. Lalu, ia beralih pada Brad, sementara Hans menganggukkan kepala tanda mengerti.
"Brad buat soal tentang isi semua buku di perpustakaan. Buatlah menjadi sangat sulit untuknya agar ia kembali membaca di perpustakaan." Justice memerintah.
"Aku paham ayah." Brad menganggukkan kepalanya.
"Karl, buatlah contoh kasus yang cukup rumit dan berikan kepadanya. Biarkan dia tenggelam dalam studi itu di perpustakaan. Intinya, jangan sampai dia berbuat macam-macam. Buat dia sibuk dan kewalahan," ujar Justice kepada Karl. Karl langsung menganggukkan kepala.
Begitulah! Clara diberikan semua soal dan kasus itu. Dan sekali lagi para lelaki Brightman harus menganga sebab hasilnya sempurna.
"Tidak ada yang bisa menyelesaikan kasus ini selain aku dan Jeff. Bagaimana bisa ia melakukannya dengan sempurna?" gerutu Karl.
"Benar! Soal yang kubuat juga tidak main-main." Brad mengeluh.
Semuanya diam. Setelah itu tidak ada pembicaraan. Yang jelas, Justice membiarkan Clara sementara waktu sebab ia harus melakukan banyak kegiatan dengan Brad.
Sudah berjalan tiga bulan sekarang. Hal pertama yang harus mereka lakukan adalah wawancara. Acara itu akan disiarkan oleh televisi nasional dan artinya akan ada banyak orang di negara mereka menonton acara itu.
Clara duduk di depan meja riasnya. Rambut pirangnya ia biarkan tergerai elegan dan make upnya samgat tipis tapi masih bisa menonjolkan kecantikannya. Gaun tertutup yang ia kenakan berwarna biru langit memberikan kesan elegan. Ini dipadu padankan dengan sepatu yang berwarna cream abu-abu dan warna tas jinjing yang senada juga.
"Awas kalau kau mempermalukan keluargaku dan khususnya aku!" nada Karl mengancam. Sudah dua kali dia bilang seperti itu. Tadi malam dan saat mau berangkat.
"Bersikap normal dan jadilah perempuan yang bermartabat, kau paham!" sekali lagi Karl berbicara dengan nada yang membuat Clara jelas tidak nyaman. Namun, Clara memilih diam.
Mereka bersikap seperti suami istri yang memiliki hubungan baik dan Karl memainkan peran yang sangat hebat. Begitu ia turun dari mobil, ia menggenggam tangan Clara erat dengan senyuman nampak jelas secerah matahari seolah Clara adalah cinta satu-satunya sampai mati.
Clara sempat kaget dibuatnya. Namun dengan cepat ia memahami yang tengah dilakukan Karl kepadanya. Oleh karena itu, ia mengikuti alur permainannya dengan baik.
Wawancara dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan umum dan semuanya hampir ditujukan kepada Clara.
Bagaimana perasaannya menjadi seseorang yang selalu diimpikan oleh semua gadis di negara mereka, menjadi bagian dari Brightman.
Menyebalkan.
Oh itu hanya yang dijawab dalam hatinya.
"Aku adalah wanita paling beruntung di dunia ini. Ayah dan Ibu memperlakukan aku dengan sangat baik. Suamiku juga. Semua orang di sana memperlakukan aku dengan baik dan hangat, terlepas bahwa aku adalah seorang Miller." Clara menjawab sambil menatap Karl yang duduk di sebelahnya dengan lembut. Tak lupa ia sunggingkan sebuah senyuman yang hangat dan genggaman tangan yang erat.
Giliran Karl yang terkejut. Hati kecilnya harus mengakui bahwa perempuan yang berstatus istrinya itu memang memiliki daya tarik yang tak ecek-ecek dan sekeras apa pun dia menyangkalnya, dia tak bisa melewatkan tatapan hangat dan senyuman tulus dari perempuan berambut pirang itu.
Karl menenangkan dirinya. Ia tidak suka dengan cara dirinya menelan ludah dan cara jantungnya yang berdegup dengan kencang dengan tetiba karena wangi tubuh perempuan itu menggelitiki hidungnya dengan paksa. Ia tidak suka bahwa tangannya begitu menikmati jalinan dengan tangan perempuan itu yang lembut dan hangat. Dan siapa sangka kombinasi semua itu mampu menghidupkan bagian tertentu dari tubuhnya.
Astaga, Karl! Apa kau sudah gila! Brace yourself! rutuk hatinya.
Wawancara masih berlangsung dan pertanyaan bergulir dari satu ke yang lain dan walaupun semuanya klise tapi semua itu adalah informasi baru untuk seorang Karl Brightman.
Bahwa Clara menguasai 10 bahasa dunia adalah hal baru baginya. Ia menyaksikan bagaimana Clara ditantang oleh pewawancara untuk mengatakan apa saja dalam bahasa-bahasa yang dikuasai itu dan Clara melakukannya. Sejujurnya, ia sangat takjub tapi ia tak memperlihatkannya karena gengsinya.
"Bagaimana Karl di mata Anda?" tanya pewawancara.
Lelaki yang paling tidak ingin aku kenal di dunia ini dan aku sama sekali tidak ingin ada urusan dengannya.
Lagi-lagi hatinya yang menjawab duluan. Clara tersenyum dan melihat ke arah Karl. Lalu, ia melihat ke arah pewawancara.
"Orang-orang selalu bilang bahwa dia adalah orang yang datar dan dingin. Jauh sebelum menikah aku selalu mendengar hal itu dari banyak orang. Dia adalah lelaki yang sulit untuk ditaklukkan. Begitulah kurang lebih!... Semua orang tahu bahwa pernikahan kami adalah politik ayahku dan tujuannya, .... kalian bisa menafsirkannya sendiri. Aku merasa khawatir pada awalnya, karena aku seorang Miller, tapi kekhawatiranku berlebihan. Kami bersama dan kami baik-baik saja. Dia sebenarnya orang yang paling perhatian dan hangat. Dia selalu meyakinkan aku bahwa aku menjalani kehidupanku sendiri dan bukan jalan ayahku. Karl... dia lelaki yang sempurna dan suami yang baik. Aku menyukai semuanya. Aku menyukai tatapannya yang hangat. Dia romantis dan cara bicaranya selalu lembut. Aku merasa tersanjung dan sebenarnya aku merasa Karl tidak cocok denganku. Dia terlalu sempurna." Clara menatap Karl sejenak lalu tersenyum. Yang ditatap membalas senyumannya.
Sekilas terlihat wajah Clara juga memerah. Ia juga merasakan hal yang sama; mengapa jantungnya tetiba berdebar cepat saat Karl tersenyum kepadanya dan senyumannya itu terlihat sangat tulus.
"Wanita itu benar-benar seorang aktris!" ujar Ian bertepuk tangan sambil tertawa dengan renyahnya. Keluarga Justice menonton acara itu di ruang keluarga.
Amanda memukul bahu Ian pelan mengingatkan agar tak melakukan hal itu.
"Iya, dan dia rupanya penuh dengan kejutan. 10 bahasa. Siapa yang bisa melakukannya? Apakah dia seorang intel?" Samantha ikut berkomentar.
Brad dan Justice bertatapan sejenak. Lalu mereka kembali berfokus pada layar lebar tepat di hadapan mereka.
"Kalian sudah tiga bulan menikah, apakah tidak ada tanda-tanda bahwa kalian akan segera memiliki momongan? Apakah sesuatu terjadi?" Pewawancara kali ini bertanya dengan nada yang menggoda.
Clara tertawa kecil. Dan semua agak tertegun. Cara dia tertawa membuat semuanya terpesona, bahkan para perempuan yang ada di balik layar.
"Maaf, tapi apa maksudnya itu?" tanya Clara dengan sopan. Wajahnya terlihat naif dan sang pewawancara melihatnya dengan cara yang agak aneh di matanya.
"Hei, si pewawancara itu tampaknya menyukai kakak iparku, hmmm!!!" Ian berkomentar. Ia mengacungkan jari telunjuk dan tengah pada kedua tangannya membuat tanda kutip khususnya ketika ia mengucapkan kata "kakak iparku".
Karl menghela napas lega.
"Itu artinya apakah kita bermasalah dalam kesehatan sehingga kita tidak bisa dengan segera punya keturunan, Sayang?" ucap Karl sambil memainkan alisnya.
"Haaah! Maksudmu kita... uhm... do that! Woah!!!!" Clara memegang pelipisnya. Wajahnya memerah. Karl jelas melihat itu.
Perempuan ini benar-benar pintar berakting. Dia bersikap seolah-olah dia polos dan naif. Dasar wanita murahan!
Itu yang dikatakan Karl dalam hatinya.
"Anda tidak perlu menjawabnya kalau itu mengganggu," ujar si pewawancara. Dari nada bicaranya terdengar ia tengah merayu Clara.
"Eh! Ya, itu lebih baik. Aku akan melewatkan pertanyaan itu jika boleh. Terima kasih," ujar Clara terlihat lega. Dia tersenyum malu. Saat ia melakukan itu, wajahnya terlihat sangat memesona.
"No way! Sayang, ayolah! Kau harus menjawabnya. Katakan saja! Aku tak keberatan," ujar Karl sambil mengelus punggung Clara dan itu membuat Clara tegang.