“Clara!”
Suara lirih Amanda menghentikan langkah Clara menuju perpustakaan.
Ia menoleh.
Tentu saja ia jelas tahu bahwa suara yang memanggilnya adalah suara Amanda. Oleh karena itu, ia mengembangkan senyum.
Nyonya besar itu adalah salah satu orang favoritnya di kediaman Brightman. Ia bisa merasakan bahwa sorot mata nyonya besar itu penuh dengan cinta dan kehangatan. Sama seperti ibunya. Oleh karena itu, Clara menyukainya.
Dan sebenarnya itu pertama kalinya Amanda memanggil dirinya secara sengaja sebab biasanya mereka hanya saling menganggukkan kepala seraya senyum atau bertegur sapa sederhana ketika mereka berpapasan.
“Iya, Nyonya!” jawab Clara dengan sopan dan ramah.
“Apa kau sudah lebih sehat sekarang?” tanya Amanda dengan nada yang ramah.
“Iya, Nyonya.” Clara menjawab dengan agak terhenyak. Hatinya terasa hangat sama seperti cara Amanda memandangnya.
“Syukurlah!” ujar Amanda sambil tersenyum.
Sekali lagi Clara terhenyak. Itu kali pertama untuknya melihat Amanda tersenyum dengan penuh ketulusan kepadanya.
Clara menganggukkan kepalanya. Ekspresi di wajahnya melukiskan rasa bingung dan heran; mengapa tetiba perempuan itu bertanya tentang keadaannya?
Memang benar ia baru saja sembuh dari sakitnya, belum sepenuhnya pulih, tapi ia mampu untuk melakukan tugas sehari-harinya yang biasa ia lakukan atas perintah Justice Brightman.
"Apakah kau akan pergi ke perpustakaan?" tanya Amanda setelah mereka diam beberapa saat dalam kecanggungan.
"Benar, Nyonya," jawab Clara dengan sopan.
"Uhm. Sampai jam berapa?" tanya Amanda.
"Sampai sore, Nyonya," ujar Clara. Itu memang kebiasaannya seperti yang ia sudah jelaskan sebelumnya keapda Hans dan itulah yang tengah ia lakukan.
"Kalau begitu buatlah pengecualian hari ini!" ucap Amanda.
"Pengecualian?" Ekspresi wajah Clara terlihat bingung. Dan itu sejalan dengan nada bicaranya.
"Iya, benar. Pengecualian. Hari ini aku ingin kau menemaniku minum teh di gazebo lalu kita akan pergi ke ruang seni sebentar dan melihat-lihat di sana." Amanda menjelaskan.
"Minum teh dan melihat karya seni?" gumam Clara pelan. Bukankah itu kebiasaan Amanda dan Sophia. Kenapa tetiba melibatkannya?
"Di mana Sophia, Nyonya?" tanya Clara.
Amanda tersenyum. Ia tahu persis yang dipikirkan Clara.
"Ada. Tapi, hari ini aku ingin menghabiskannya denganmu. Boleh kan?" tanya Amanda dengan wajah yang terlihat tenang.
"Tentu saja, aku tidak keberatan, Nyonya. Tapi, Tuan Brightman mungkin akan marah karena aku tidak melakukan pekerjaanku," ujar Clara.
Amanda lagi-lagi tersenyum.
"Justice urusanku!" ucapnya pendek.
"Ayo, ikut denganku!" jawab Amanda dengan tanpa ragu menuntun tangan Clara, membuat perempuan cantik dengan wajah mungil itu terhenyak.
"I-iya, Nyonya," ucapnya sambil agak gugup.
Mereka berjalan ke arah gazebo. Di sana tampak beberapa pelayan sudah menyiapkan hidangan dan siap menuang teh untuk mereka.
Mereka duduk berhadapan. Sambil menikmati sajian teh, keduanya tenggelam dalam pemikiran masing-masing.
"Sebenarnya, aku ingin berbicara tentang pertandingan keluarga." Amanda memulai pembicaraan.
Clara mengamini. Ia sudah menduganya. Oleh karena itu, ia menghentikan kegiatan minum tehnya dan meletakkan cangkir di atas meja tepat di hadapannya. Wajahnya terlihat serius.
"Apakah Hans sudah menjelaskannya kepadamu?" tanya Amanda.
"Ya, sudah, Nyonya. Sangat detail. Saya tahu yang harus saya lakukan," ucap Clara.
"Benarkah?" ucap Amanda dengan nada yang sedikit menantang.
"Ada hal lain yang harus kuketahui, Nyonya?" Mata Clara menyipit.
Amanda tersenyum.
"Kau pintar!" ucap Amanda. Ia terlihat bersemangat.
"Tidak, Nyonya. Siapa saja yang mendengar cara Anda berbicara akan dengan mudah memprediksi yang ingin Anda katakan sebenarnya," jelas Clara.
"Itu tidak benar! Hanya kau yang menangkap apa yang kukatakan. Setidaknya Samantha dan Sophia tidak berpikir begitu," ucap Amanda dengan suara memelan, berharap pelayan di sekitarnya tak mendengar komentarnya.
"Benarkah seperti itu?" Clara tersentak kaget.
"Nyonya, apakah Anda sedang mengujiku? Aku tidak percaya bahwa mereka tidak menangkap yang Anda maksud. Sophia bisa jadi tidak menangkap karena hatinya sangat polos dan ia sangat naif," ujar Clara.
"Tidak juga." Amanda memotonh demgan cepat.
"Eh!" Clara tersentak.
"Dia tak sepolos yang kau pikir, Clara!" ucap Amanda sambil tersenyum.
"Kurasa sebaliknya," sambungnya memberikan dua kerutan di kening Clara.
Amanda tersenyum kecil.
"Suatu hari jika kau siap dan mau, aku siap untuk mendengar semua ceritamu. Aku tak percaya dengan media yang menjelaskan siapa dirimu. Aku ingin mendengarnya langsung darimu. Bagiku kau lah yang polos dan naif." Amanda tersenyum sambil menatap Clara dengan hangat.
Clara terlihat bingung.
Amanda sekali lagi tersenyum.