Setelah kejadian itu, Clara sering mengalami insomnia. Pun dia bisa tidur, dia akan mengalami mimpi buruk. Akibatnya dia sering terbangun pada malam hari dan menangis pelan. Dia menjadi sering kaget dan sensitif terhadap sentuhan. Ian yang pertama menyadarinya dan itu membuat Ian khawatir. Ia bercerita kepada ibunya sebab bagaimana pun Ian bertanya kepada Clara tentang kondisinya, perempuan itu selalu bilang bahwa ia hanya kelelahan dan di lain waktu dia tertekan karena disertasi yang ditulisnya atau dia bilang bahwa dia baik-baik saja.
Di sisi lain, Karl yang merasa semakin bersalah, juga mulai memperbaiki sikapnya. Ia sering menulis sebuah surat kepada Clara dan meminta maaf atas hal yang ia lakukan kepadanya, tapi Clara tak menggubrisnya. Semakin sering Karl melakukan itu kepadanya, semakin sering pula Clata mengalami perpindahan mood yang tiba-tiba.
Karl tidak bisa langsung berinteraksi dengannya sebab jika Clara melihat dirinya dari kejauhan dia akan dengan segera berlari menjauhi dan jika mereka bertemu secara tidak terduga dalam jarak dekat, Clara akan terlihat sangat ketakutan. Wajahnya akan memucat dan tubuhnya sering terlihat gemetaran. Dia akan mematung dan jika Karl hendak membuka suaranya, tatapan Clara menjadi terlihat sangat menyedihkan memohon agar ia tidak mendekati dan menyentuhnya.
Amanda pernah mengajaknya berbicara, tetapi sia-sia. Perempuan itu tidak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi dan alasan yang sama yang dikemukakan kepada Ian menjadi jalan penutup untuk perbincangan mereka.
Clara tentu saja berusaha mengatasi traumanya itu. Ia pergi berkonsultasi kepada seorang ahli kejiwaan dan dia terlibat dalam terapi yang cukup intens dan teratur dan seperti yang disarankan oleh ahli kejiwaan itu, ia tidak minum obat dan lebih memilih meditasi atau yoga untuk mengatasi masalahnya itu.
Perlahan keadaan Clara membaik dan ia mulai kembali pada rutinitasnya. Ana dan Hans yang menyaksikan sendiri bagaimana Clara tenggelam dalam situasi itu dan sekarang berangsur pulih ikut berbahagia dengan situasi majikannya itu. Meskipun mereka sama sekali tidak paham dengan kejadian yang menimpa majikannya itu, mereka masih bisa memprediksi tentang hal buruk yang dialami Clara itu pasti ada kaitannya dengan perubahan sikap Karl terhadap Clara yang jauh menjadi sangat lunak dan usaha memperbaiki diri Karl yang memang tidak main-main.
"Apakah Clara ada di kamarnya?" tanya Karl suatu pagi saat ia berpapasan dengan Ana di lorong utama rumah.
"Tidak, Tuan. Nyonya muda sedang jalan-jalan di halaman belakang. Biasanya dia akan pergi ke danau dan duduk di sana, mengerjakana sesuatu di laptopnya atau menulis sesuatu, Tuan!" Ana memberikan penjelasan yang cukup panjang.
Tentu saja Karl tahu itu. Usahanya untuk menebus kesalahannya itu membuatnya sering menguntit istrinya itu dan memang istrinya itu sering menghabiskan waktu di tepi danau atau di perpustakaan lantai tiga. Di tepi danau itu, biasanya istrinya akn sendiri atau ditemani Bando. Kadang-kadang, istrinya juga bersama Ian dan mereka terlihat asyik mengobrol dan entah kenapa, kadang-kadang jika ia menyaksikan keakraban mereka berdua, moodnya berubah menjadi jelek dan ia akan uring-uringan sepanjang hari.
Jika Clara pergi ke perpustakaan dan duduk di lantai tiga, itu artinya Clara sedang mengerjakan disertasinya. Perpustakaan lantai tiga menyediakan banyak referensi yang berkaitan dengan musik dan tarian. Di sana juga ia sering melihat Ian dan Clara mengerjakan sesuatu pada laptop mereka. Pada suatu kesempatan, ia pernah mendapati Ian dan Clara makan siang bersama di sebuah restoran vegetarian dan mereka terlihat asyik membahas sesuatu di laptop mereka. Jika sudah begitu, moodnya pasti rusak dan ia menjadi sangat mudah marah.
Ia pernah berbicara dengan Ian soal itu agar Ian tak terlalu dekat dengan istrinya, tapi ia benar-benar tak mendengarkan yang ia katakan. Ia malah menjelaskan kepada Karl bahwa ia menyukai Clara dan meminta Karl untuk menceraikan Clara agar ia bisa mendekatinya secara profesional. Mereka adu jotos gegara itu. Brad melerai perselisihan mereka dan setelah itu, mereka perang dingin.
Pagi itu, Clara berjalan menyusuri jalan setapak menuju danau. Ia memang tidak membawa apa-apa sebab hari itu ia hanya ingin menikmati udara pagi. Rencananya, ia hanya akan mengitari danau kemudian berjalan kembali pulang dan bertemu Ian di perpustakaan.
Ada hal yang mengganggu pikirannya dan ia memilih menghirup udara segar pagi agar pikirannya menjadi lebih jernih dan ia bisa berpikir lebih baik. Dua minggu yang lalu, setelah ia selesai makan dan tengah berkonsentrasi pada disertasinya di laptop, ia tetiba merasa mual dan muntah beberapa kali. Ia terhenyak sebab ia sadar bahwa ia sudah hampir tiga bulan ia tidak mengalami menstruasi. Awalnya ia berpikir bahwa itu ada kaitannya dengan trauma dia dan karena stres, biasanya menstruasi menjadi tidak lancar.
"No way! Tidak mungkin!" Clara menggumam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tentu saja ia tidak punya alat uji kehamilan untuk meyakinkan pikirannya sebab seks, hamil, dan bayi tidak ada dalam catatan hidupnya. Jangankan itu, pernikahan saja tidak ada di dalam daftar hidupnya. Rencananya sangat sederhana. Menyelesaikan disertasinya, membongkar semua kejahatan ayahnya, bercerai dari Karl Brightman dan melanjutkan hidupnya tinggal di sebuah tempat terpencil di luar negaranya dengan ibu dan adiknya dan menjadi guru musik di sebuah sekolah; SD, SMP, SMA tidak apa-apa dan selebihnya, apa pun itu, itu tidak penting.
"Bagaimana ini kalau benar-benar hamil? Anak seorang Miller, pasti tidak diinginkan oleh Brightman. Aku harus bagaimana?" Clara mengusap-usap pelipisnya pelan.
"Astaga!! Ada banyak hal yang harus kulakukan! Bagaimana ini!" lirih Clara lagi.
Dia langsung bersiap dan pergi ke apotek malam itu juga dan setelahnya ia kembali dengan beberapa alat uji kehamilan dengan merek yang berbeda-beda. Selama hampir dua minggu setiap pagi buta, ia akan mengujikan alat tes kehamilan itu dan semua hasilnya sama. Garis dua, atau tanda plus. Itu artinya, ada bayi di dalam perutnya. Anak dia dan Karl Brightman tentunya.
Hal itulah yang selalu mengganggu pikirannya. Ini cukup rumit karena ada banyak hal yang berubah dari dirinya dan pada saat yang sama ia harus berpura-pura untuk tetap menjadi dirinya sendiri. Ia harus menyembunyikan itu bahkan dari para pelayannya.
Pagi itu, ia masih menyusuri jalan setapak menuju danau dan ia tidak menyadari bahwa di belakangnya Sophia tengah bersepeda menyusuri jalan yang sama. Sophia menatap Clara dari kejauhan dari sepedanya dan sekarang rasa cemburu dan marahnya bertambah-tambah.
Pertama, misi dia tak tercapai saat mereka berada di hotel asosiasi pengacara. Seharusnya ia dan Karl melakukan hal-hal yang indah dan menyenangkan, tapi itu tidak sesuai dengan pikirannya. Karl selalu tetiba menghilang dan jika ada yang ia bicarakan dari mulutnya itu adalah perempuan yang ia benci tapi namanya tak pernah lupa ia sebut dalam setiap napas dan amarahnya.
Lalu, setelah mereka kembali, sikap Karl benar-benar berubah drastis. Ia terlalu sering mengamati Clara dan terlalu sering berdiri di depan kamar perempuan itu dengan sebuket bunga dan secarik kertas. Entah apa isinya. Pernah ia sekali menemukan kertas itu di tempat sampah dan ia mengambilnya lalu membacanya dan dalam kertas itu hanya sebuah tulisan permintaan maaf yang ia tidak mengerti dasarnya.
Mengingat semua kejadian itu, amarah Sophia semakin menjadi. Ia mengeratkan pegangan pada kendali sepeda dan mengayuhnya dengan cepat lalu menabrakannya pada Clara. Clara yang kaget, terhempas ke pinggir dan jatuh berguling-guling ke bawah yang adalah halaman berumput. Ia masih sadar saat melihat siapa pelakunya dan Sophia dari atas jalan itu tersenyum dengan sinisnya. Ia kemudian menjatuhkan dirinya dari sepeda dan berpura-pura merintih kesakitan. Karl yang tengah dalam perjalanan menyusul Clara melihat kejadian itu.
Dengan segera ia membawa Sophia kembali ke rumah tanpa menyadari bahwa Clara tengah merintih kesakitan dan berjuang merangkak menuju sebuah pohon yang tak jauh dari sana untuk bersandar. Ia melihat dari sana bagaimana Karl membawa Sophia dengan wajah yang terlihat cemas. Dan ia hanya tersenyum getir menertawakan nasibnya sendiri yang lebih menyedihkan daripada seekor anjing yang dibuang oleh tuannya.