"Makan malamnya sudah siap," ujar Clara di ambang pintu ruang musik.
Ia cukup lama berdiri di sana mengamati suaminya yang tengah merapikan barang-barang di ruang itu dengan tekun. Posisi suaminya itu membelakanginya sehingga ia bisa dengan leluasa menatap punggung Karl dan bisa dengan pasti memastikan bahwa punggung yang ia tatap itu adalah punggung lelaki yang permainan pianonya telah mendebarkan hatinya.
"Iya, terima kasih," ujar Karl menoleh sebentar lalu kembali pada pekerjaannya sejenak. Setelah itu, ia bangkit dari pekerjaannya dan berjalan menuju dapur. Di sana, ia mendapati Clara tengah duduk menunggunya.
"Kenapa tidak makan duluan?" tanya Karl sambil menghampiri Clara.
"Tidak apa-apa. Makan bersama jauh lebih baik," jawabnya singkat.
"Yang mana yang kau mau?" tanya Clara siap mengambilkan makanan untuk suaminya.
"Semuanya, tapi sedikit sedikit saja," ujar Karl.
"Iya," jawab Clara lalu mengambil semua masakan sedikit-sedikit dan menyimpannya di piring Karl.
"Terima kasih," ucap Karl sambil menerima piringnya.
Clara menganggukkan kepala dan tersenyum.
Mereka mulai makan.
"Uhm, ini enak sekali!" ucap Karl sambil menunjuk pada makanan di piring.
"Terima kasih," ujar Clara.
Itu adalah waktu terpanjang mereka bertemu dan sama sekali tidak mengeluarkan argumen arau bertengkar. Jika seperti itu selamanya, dunia ini akan damai dengan sendirinya.
"Aku akan mencuci," ujar Karl.
Mereka selesai makan.
"Tidak, aku akan melakukannya. Kau kembali saja pada pekerjaanmu. Nanti, aku akan ke sana membantumu." Clara menjelaskan.
"Baiklah!" jawab Karl dan tanpa pikir panjang kembali ke ruang musik dan melanjutkan pekerjaannya.
Tak lama kemudian Clara menyusul ke sana dan mereka berbagi tugas. Setelah menjelang tengah malam Clara sudah menyelesaikan pekerjaannya dan memutuskan untuk beristirahat duluan. Sementara itu, Karl masih mengotak-atik sesuatu di ruang musik itu dan mulai membenahi satu bagian ruang seolah dia akan menyimpan sesuatu di sana.
Tengah malam Clara bangun dan berjalan menuju ke arah dapur untuk minum. Saat melewati ruang tengah, ia melihat Karl tertidur pulas di sofa dengan pakaian yang masih sama. Lampunya memang padam di ruang itu, tapi Clara bisa melihat dengan jelas bahwa lelaki yang selama ini sering bertengkar dengannya itu mendapatkan luka gores di bagian kakinya. Clara mengamati luka itu dan ia ingat Karl berteriak kecil saat ia menggeser piano dan meja yang tak jauh letaknya dengan jendela.
"Kenapa dia tak mengobatinya?" lirih Clara. Setelah ia pergi ke dapur dan mencari alat P3K, ia baru menyadari bahwa alat itu ada di laci nakas di kamar. Dan sekarang ia paham kenapa ia tak mengobati lukanya itu.
Clara membawa alat P3K keluar dari kamarnya dan perlahan ia mengobati luka gores di kaki Karl. Mungkin karena terlalu lelah, Karl sendiri tidak mneyadari hal itu dan masih lelap dalam tidurnya.
"Dia sangat tampan," lirih Clara ketika sesekali mengamati wajah Karl ketika sedang mengobatinya. Lalu, dia tersenyum sendiri.
Sebenarnya itu pertama kalinya ia bisa memberikan komentar terhadap lelaki dengan normal tanpa harus ada kedekatan seperti halnya dia dengan Tanner. Dengan Tanner iru seperti cinta berjalan seiring waktu karena mereka selalu bersama dan merasakan kenyamanan satu sama lain, perasaan itu hadir tidak tercela, tapi tersembunyi rapi di balik jalinan persahabatan dan muncul setelah perpisahan yang panjang dan selesai ketika mereka bertemu lagi dalam keadaan dan situasi yang berbeda.