Karl memasuki kantornya. Seperti biasanya, ia akan menggantungkan mantel dan syal di tempat gantungan di dekat pintu lalu berjalan menuju meja kerjanya. Ia baru saja menyimpan tas kerjanya di atas meja saat ia melihat sebuah amplop cokelat tergeletak di atas meja.
Hari itu ia baru datang ke kantornya pada sore hari setelah ia cukup lama bekerja di lapangan, mempelajari kasus, kemudian ke pengadilan melakukan tugasnya, menjadi jaksa penuntut dan ke beberapa pertemuan dengan pengacara lainnya.
Sejenak ia menatap amplop itu sambil mengernyitkan alisnya tanda penasaran. Jadi, sebelum ia menyalakan laptopnya, hal yang biasanya ia lakukan sebelum memulai pekerjaan, ia membuka dulu amplop cokelt itu. Isinya sebuah surat dan satu USB berwarna hitam.
Isi surat itu hanya beberapa kalimat yang menjelaskan bahwa semua yang diminta ada di dalam USB. Karl tahu bahwa itu adalah informasi dari sang detektif sehingga dengan cepat ia menyalakan laptopnya karena rasa penasarannya yang makin menjadi.
Ia membuka dengan cepat isi dari USB itu dan menemukan beberapa fail dan foto-foto. Ia mulai membuka fail-fail yang isinya dokumen legal seperti akta kelahiran, pernikahan, perceraian bahkan sertifikat sekolah. Dari semua dokumen itu ia mempelajari empat nama dan semuanya saling terkait. Sergei Miller, Clara Miller, Agatha Clarke dan Emilia Clarke.
Dari semua dokumen itu pula lah ia sepertinya mulai memahami siapa sosok perempuan yang menjadi istrinya itu. Dari semua perempuan di foto-foto itu, meskipun keduanya mirip, tentu saja ia tahu siapa yang mirip siapa.
Karl termenung sejenak. Wajahnya terlihat sangat serius. Jika memang benar bahwa perempuan itu yang menjadi istrinya itu adalah seperti yang ia pikirkan, maka ia benar-benar tidak tahu malu dan memalukan karena telah terlalu sering menyakiti dirinya.
Ia cukup lama mengurung dirinya di kantor, berpikir apa yang harus ia lakukan. Setelah hampir waktu makan malam, ia merapikan semua barangnya, siap pulang dengan sebuah keputusan. Dengan cepat ia merapikan barangnya dan dirinya dan setelah selesai, ia keluar dari kantor dan langsung menuju mobilnya.
Mobil melaju di jalanan dan setelah setengah jam ia bersaing dengan mobil lain di kemacetan pada malam itu, akhirnya ia tiba juga di rumahnya. Karl turun dari mobil dan bergegas dengan tas kerjanya menuju rumah. Baru saja beberapa langkah, ia melihat Sophia berdiri di lorong menunggunya.
"Oh!" Karl tersentak kaget.
"Karl, kau sudah pulang!" Sophia terlihat sumringah. Ia berjalan menuju padanya dengan wajah bahagia.
"Ada apa? Kau sengaja menungguku?" tanya Karl.
"Uhm," jawab Sophia sambil menganggukkan kepalanya.
"Clara tidak menyambutmu pulang?" tanya Sophia sambil menatap wajah Karl seolah ingin tahu reaksi Karl.
"Iya. Aku memintanya agar tidak melakukannya dan menyuruhnya untuk menunggu saja di kamar." Karl menjawab tenang.
"Di kamarmu?" Sophia terlihat kaget.
"Iya. Biasanya dia hanya akan menyiapkan pakaian ganti dan air hangat untuk mandi." Karl menjawab lagi.
"Pembantu bisa melakukannya. Kenapa harus repot?" tanya Sophia.
"Dia ingin melakukannya," ucap Karl. Jawabannya masih terdengar dengan nada tenang.
Sophia tidak menjawab lagi.
"Ada apa kau menungguku?" tanya Karl.
"Aku ingin makan malam berdua denganmu. Kau ada waktu?" tanya Sophia dengan nada agak manja.
"Berdua? Sekarang?" tanya Karl memastikan.
Sophia menganggukkan kepalanya.
"Tentu saja tidak bisa. Ayah, aku, Brad, Clara, dan Ian akan rapat malam ini," ujar Karl. Memang itu alasannya. Karl tidak mengarang. Setelah mendapatkan informasi itu, Karl memang mengambil keputusan untuk menjelaskan semuanya kepada anggota lelaki keluarganya dan ibunya. Sophia dan Samantha memang hampir tidak pernah dilibatkan sampai semuanya benar-benar jelas, barulah mereka akan diberitahu.
"Oh," nada Sophia terdengar sedih.
"Clara ikut? Aku dan Samantha, tidak dilibatkan lagi?" Sophia terdengar protes.
"Karena ada kaitannya dengan Clara. Mungkin ibu juga akan ada di sana. Atau seperti kalian akan menerima berita sesudahnya." Karl menjelaskan.
"Baiklah. Aku harus ke kamar." Karl menatap Sophia dengan tenang. Ia tersenyum. Mereka berdiri di depan kamar Karl dan jelas mereka tahu bahwa Clara ada di balik pintu kamar itu menunggu Karl. Atau setidaknya pikiran mereka begitu.
Sophia melangkah mendekati Karl dan Karl jelas tahu apa yang akan dilakukannya. Biasanya dia tidak akan menolaknya, karena dulu bibir Sophia yang bersentuhan dengannya adalah salah satu bagian favoritnya dalam hidupnya. Namun, tidak malam itu, tidak setelah ia terlalu sering menghabiskan waktu dengan Clara, berbagi banyak hal.
"Selamat malam." Karl berucap dengan cepat membuka pintu, menghindari Sophia yang menunjukkan dengan jelas wajah yang kecewa.
Karl menutup pintu. Wajahnya terlihat agak kecewa saat ia tak mendapati Clara di sana. Alih-alih, ia mendapati secarik kertas di atas meja.
Karl, aku sudah menyiapkan pakaian untuk ganti dan air hangat untuk mandi. Saat kau pulang, aku tidak bisa menunggumu seperti biasanya. Aku minta maaf. Aku ada di perpustakaan. Saat aku menunggumu di sini, profesorku menghubungiku dan tetiba meminta beberapa penjelasan mengenai dataku. Jadi, mungkin aku akan berada lama di sana. Aku sudah makan malam. aku melakukannya lebih awal. Maaf. Selamat makan malam dan selamat malam.
Clara
Begitu kurang lebih isinya. Karl tersenyum. Tanpa pikir panjang, ia mandi dan berganti pakaian. Setelah itu, dengan cepat ia menyusul Clara ke perpustakaan. Ia menahan banyak hal dalam pikirannya. Setibanya di perpustakaan, tepatnya di lantai tiga, tempat semua buku-buku berkaitan dengan seni dan musik disimpan, ia tertegun. Dari kejauhan, ia bisa melihat dengan jelas, Clara berdiri di sana, di salah satu lorong berdiri sambil membaca buku dengan wajah yang terlihat serius. Jelas sepertinya ia tenggelam dalam bacaannya.