"Baiklah, aku sudah menjelaskan semuanya." Clara bernapas lega dan setelah itu hening beberapa saat. Beberapa pasang mata mengarahkan pandangannya satu sama lain dan mereka akhirnya menganggukkan kepala satu sama lain.
"Kalau begitu, kau ingin kami melakukan apa?" tanya Justice. Suaranya melembut dan itu membuat semua yang ada di sana terhenyak. Masalahnya, itu kali pertama Justice berkata dengan lembut pada Clara.
Clara yang juga masih tertegun sekaligus terenyuh mengangkat kepalanya dan menatap Justice dengan tenang.
"Tuan, Anda dan yang lainnya sudah tahu kebenarannya. Aku hanya memohon agar semuanya tidak berkata apa-apa tentang ini. Tolong bersikap sama sebagaimana mestinya. Sebenarnya, aku sangat malu karena aku telah banyak meminta kepada kalian dan aku sadar aku sangat merepotkan juga." Clara menjelaskan.
Ia mencopot kalung di lehernya dan mengambil liontinnya lalu mencopot antingnya. Ia menyatukan bagian anting dan liontin itu dan sekarang alih-alih mirip liontin dan anting-anting, benda itu lebih seperti USB.
Semuanya tercengang menatap pemandangan itu. Bagaimana bisa perempuan itu bertindak seperti salah satu agen pemerintah yang sedang melakukan Mission Impossible. Namun, semuanya masih diam, menunggu lanjutan penjelasan dari Clara.
"Ini adalah 30% bukti kejahatan ayah. Kalian bisa mempelajarinya. 30% bukti lain akan kuberikan setelah aku siap pergi dan sisanya setelah aku benar-benar pergi dari sini. Maafkan aku karena melakukan hal seperti ini. Aku tahu aku tidak tahu malu, tapi aku tak melihat solusi yang lebih baik daripada cara ini. Sekali lagi lagi maafkan aku," ucap Clara dengan nada yang sedih dan jelas menyesal. Ia menyimpan USB itu di atas meja. Ia lalu mengusap air matanya yang tak bisa lagi ia bendung.
"Jika kalian mengizinkan, apakah boleh malam ini aku tidak tidur di rumah malam ini. Aku ingin menenangkan diriku beberapa hari. Lusa aku akan kembali. Mohon maaf. Aku benar-benar malu tentang semuanya." Tangan Clara masih menyeka air matanya yang tak berhenti bergulir.
"Oh, Honey. Come here! Take your time." Amanda mendekati Clara dan tanpa ada rasa sungkan, ia memeluk perempuan itu sambil mengelus punggungnya. Clara menangis di pelukan Amanda. Sementara yang lainnya, satu demi satu meninggalkan tempat itu, kecuali Karl.
Amanda dan Karl saling menatap dan mengembangkan senyum. Amanda melepaskan pelukannya lalu menangkup wajah mungil Clara.
"Ibu!" lirih Clara. Ia terlihat sangat malu.
"Kau harus berbicara dengan Karl," ucap Amanda sambil melihat ke arah Karl yang tengah menunggu tak jauh dari sana.
Clara menatap Karl yang juga tengah menatapnya dengan lembut. Clara tertunduk malu.
"Aku akan meninggalkan kalian di sini," ujar Amanda sambil mengelus kepala Clara dan tersenyum.
Clara menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terima kasih. Amanda berjalan menuju Karl kemudian mengusap lengan atasnya sebentar sambil tersenyum.
"Kau harus meminta maaf kepadanya. Kau tahu kesalahanmu, kan!" ucap ibunya sambil menatap Karl lembut.
"Iya, Bu!" ucap Karl sambil menganggukkan kepalanya. Nadanya jelas mengandung rasa penyesalan.
Suara pintu ditutup. Karl berjalan menuju Clara yang menundukkan kepalanya karena benar-benar malu dan ia sejujurnya benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Emilia," lirih Karl.
Clara terhenyak saat Karl memanggil nama dirinya yang sebenarnya.
Clara mengangkat kepalanya dan menatap Karl lalu memalingkan wajahnya dengan senyuman malu. Tangan kanannya mengelus-elus lengan kirinya dan jelas dari sikapnya, Karl bisa menilai bahwa saat itu Clara tengah merasa kikuk dan bingung.
"Maafkan aku!" ucap Karl.
"Hah?" Clara menatap Karl heran.
"Aku yang seharusnya meminta maaf," lirih Clara. Ia menundukkan kepala.
"Tidak, aku juga melakukan kesalahan. Aku bersikap kasar kepadamu. Aku sudah melakukan hal yang sangat buruk kepadamu. Karena sikapku, hidupmu tidak baik di sini," ucap Karl dengan nada yang jelas mengandung penyesalan. Mereka duduk bersebelahan.
"Tidak. Kau tidak kenal aku. Kau menganggapku Clara. Lagipula, semuanya sudah terjadi. Sudah kubilang, aku tidak membencimu. Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya kepadamu. Maafkan aku!" lirih Clara. Ia menundukkan kepalanya lagi.
Mereka hening sejenak.
"Kau dan Tanner, uhm ..." Karl tidak melanjutkan bicaranya. Ia terlihat agak ragu.
"Tanner?" Clara mengernyitkan alisnya.
Ia sebenarnya cukup bingung. Ada banyak masalah yang seharusnya lebih prioritas dibahas antara dia dan Karl dan Tanner sepertinya tidak ada di antaranya atau kalau pun ada sepertinya Tanner tida masuk ke dalam kategori prioritas. Jelas, itu tidak sama dengan pikiran Karl. Toh pemicu sikap busuk Karl yang membuatnya merenggut hal yang berharga perempuan yang ada di depannya itu adalah lelaki itu.
"Hanya teman. Kami memilih itu," ujar Clara, terlepas dari kebingungannya, dengan cepat menjawab dan dari nada bicaranya ia seolah meminta Karl agar tidak bertanya lagi soal Tanner, tapi Karl sepertinya tidak paham sebab ia melanjutkan pertanyaannya mengenai mereka.
"Dia cinta pertamamu?" tanya Karl. Ia menatap penasaran.
Clara tertegun lalu menghela napas sejenak. Ia membalas tatapan Karl sambil tersenyum.
"Bukan," jawab Clara dengan singkat.
"Oh!" Karl terlihat kaget.
Jelas ia ingat saat Clara sakit ia berbicara bahwa Tanner adalah orang yang ia suka tapi memang tidak pernah menjelaskan bahwa lelaki itu adalah cinta pertamanya.
"Kau mau ke mana?" tanya Karl. Ia terlihat kaget sebab tetiba Clara berdiri dari duduknya.
"Aku mau mengambil sesuatu dari kamar," ucap Clara.
"Ikutlah denganku!" sambungnya dan ia berjalan mendahului Karl.
Tak lama mereka sudah berada di dalam kamar Clara dan Clara mengeluarkan sesuatu dari dalam salah satu boks di lacinya. Ia mengambilnya dan meraih tangan Karl lalu menyimpan sesuatu di atasnya.
Karl membelalakkan matanya.
"Ini!" Karl menelan ludah. Tatapannya pada kalung dengan liontin berbentuk plektrum gitar.
"Kau menjatuhkannya saat selesai bermain piano," ujar Clara.
"Kau tahu itu aku?" tanya Karl dengan tatapan yang tidak percaya.
Kedua ingatan orang itu sekarang terjebak di masa lalu saat Karl SMA dan Clara alias Emilia masih di kelas dua SMP.
"Cinta pertamaku adalah permainan pianomu," ucap Clara sambil tersenyum.
"Aku sangat menyukai lagu yang kau mainkan waktu itu," sambungnya. Dia menundukkan kepalanya sambil tersenyum.
"Itu lagu yang sama yang kau mainkan untuk Luka dan Stjepan. Aku sungguh-sungguh menyukainya." Clara menatap Karl sambil tersenyum malu.
Karl menganga.