Ian harus menerima kenyataan bahwa ia kalah dalam persaingan memperebutkan cinta Clara. Malam itu, ia akan pamit pulang pada Clara dan menyatakan perasaan yang sebenarnya. Namun, alih-alih pamit, ia malah mendengar lenguhan Karl yang cukup panjang dari kamar Clara dan itu cukup membuatnya untuk mengurungkan niat pamitnya tapi tidak untuk menyatakan perasaan cintanya.
Malam itu, ia tidak jadi pulang dan memutuskan untuk berbicara kepada Clara keesokan paginya. Itu terjadi. Tepatnya setelah Clara mengantar Karl pergi ke kantor di depan halamam rumah mereka.
"Emilia!" lirih Ian. Clara menoleh.
"Ian?? Kau belum pulang?" ujar Clara dengan wajah yang terlihat kaget.
"Ada yang ingin kubicarakan kepadamu," ucap Ian, tapi ia agak teralihkan sebab tatapannya berfokus pada leher Clara yang penuh dengan jejak merah. Tentu saja ia tahu jejak macam apa itu.
"Ada apa?" tanya Clara mengabaikan tatapan Ian pada lehernya. Ia sebenarnya menaydari yang Ian lakukan tapi jika ia mulai bertingkah kikuk, maka itu akan menjadi lebih aneh. Oleh karena itu, ia berusaha bersikap biasa saja.
"Bisa kita duduk sebentar saja di tempat kita biasa berbicara?" tanya Ian.
"Kau ingin kita ke danau?" tanya Clara memastikan.
Ian menganggukkan kepalanya.
"Tentu saja, ayo!" Clara tersenyum. Mereka berjalan bersama menuju danau.
Mereka duduk bersebelahan menghadap danau dan diam sejenak menikmati udara pagi.
"Aku senang mengetahui semua hal yang sebenarnya tentangmu. Meskipun sebenarnya aku tak terlalu peduli tentang ini. Siapa pun dirimu, aku benar-benar menyukaimu," kata Ian membuka percakapan. Ia menatap Clara dengan penuh kehangatan.
"Oh, terima kasih! Kau lelaki yang baik," ujar Clara sambil tersenyum. Ia mengelus punggung Ian sejenak.
"Perasaanmu bagaimana sekarang?" tanya Ian lagi.
Clara melirik ke arah Ian sambil tersenyum.
"Aku merasa lega." Clara menghela napas panjang.
"Apakah yang kau katakan tadi malam itu benar?" tanya Ian lagi.
"Yang mana?" jawab Clara.
"Bahwa kau akan pergi meninggalkan kami setelah kau menyelesaikan masalahmu," ujar Ian.
"Oh, itu! Iya, rencana awalnya begitu." Clara menundukkan kepalanya sebentar.
"Rencana awal?" Ian mengernyitkan alisnya.
"Kau mengubah rencana?" sambung Ian dengan nada penasaran.
Clara diam sejenak lalu menganggukkan kepalanya.
"Biar kutebak! Apakah karena Karl?" Ian memastikan.
Clara terlihat agak terkejut. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain menyembunyikan rasa malunya.
"Kau mencintai Karl?" Akhirnya Ian memberanikan diri untuk menanyakan itu. Pertanyaan yang ia sangat khawatir bahwa jawabannya adalah kasus terburuk dalam hidupnya.
Wajah Clara memerah. Ia tersenyum malu.
"Ah! Aku sudah paham. Kau tak perlu menjawabnya." Ian menjawabnya sendiri, Hatinya belum siap dengan lontaran 'I love you' Clara jika bukan untuknya.
"Karl ingin aku tetap berada di sisinya. Aku pikir aku juga begitu. Aku juga ingin dia ada di sisiku. Aku merasa nyaman dengannya," jelas Clara.
"Bagaimana denganku?" tanya Ian. Ia memberanikan diri.
"Aku tidak paham dengan yang kau katakan," ujar Clara. Wajahnya memang terlihat agak kaget dan juga bingung.
"Apakah kau merasa nyaman denganku?" tanya Ian lagi.
"Ian? Tentu saja aku nyaman denganmu. Aku sangat peduli padamu dan kau tak perlu meragukannya. Aku sangat menyayangimu," ujar Clara lagi. Wajahnya masih terlihat bingung.
"Jadi, apakah ada ruang untukku di hatimu?" tanya Ian lagi dengan wajah yang serius.
"Iya, tentu saja. Kita keluarga, bukan?" Clara tersenyum. Ia mengelus pipi Ian pelan.
"Tidak. Aku tidak mau ruang itu. Aku mau ruang yang sama yang kau ciptakan untuk Karl. Aku mau ruang yang sama," jelas Ian dengan tatapan yang serius.
"Apa?" Clara menganga.
Ian memalingkan wajahnya lalu menarik napas panjang.
"I love you. Aku tak pernah melihatmu seperti keluarga atau menganggapmu teman. Bagiku, kau adalah perempuan yang istimewa. Aku mencintaimu, seperti seorang lelaki kepada perempuan. Perasaan seperti ini adalah yang pertama untukku dan aku merasakannya kepadamu." Ian menjelaskan. Air matanya mengalir. Sementara itu, Clara hanya menganga. Ia kewalahan dengan semua perkataan Ian baru saja.
"Didn't you get my signal?" Ian menghapus air matanya.
"Ian, aku, ..., maafkan aku! Astagaa!"Clara memegang satu pelipisnya.
Ian diam. Ia menghapus air matanya.