Gedung hijau berbentuk rumah kura-kura terpampang megah, terlewati olehnya dengan kecepatan standar pelari amatir. Nama gedung itu bukanlah gedung kura-kura, atau gedung hijau, seperti kata orang-orang. Gedung penuh sejarah, berdiri dua puluh tahun setelah Presiden pertama Indonesia memproklamirkan kemerdekaan negara. Bukan hanya sejarah politik dan kenegaraan yang menjadikan gedung itu sebagai saksi, namun sejarah kemistisan yang konon mendiami gedung itu hingga sekarang. Namanya Gedung Conefo, berlatar di komplek Parlemen di daerah Senayan, Jakarta. Sudah banyak yang mengulas sejarahnya di media-media.
Ketika teringat sejarah gedung berwarna hijau yang ia lewati, seketika itu juga napasnya yang tadi seirama harmonis dengan entakkan kakinya tiba-tiba tersengal. Ia harus memelankan larinya jika tidak ingin pingsan kehabisan napas.
Bukan karena mengingat salah satu sejarah berdirinya gedung itu, atau sejarah mistisnya yang sampai sekarang masih menjadi misteri. Namun makhluk jelita yang berlari berlawanan arah dengannyalah yang membuat napas itu seolah kehilangan iramanya. Kepalanya menoleh cepat. Perempuan dengan wajah putih kemilau bersimbah keringat berpenampilan bak pelari profesional baru saja melewatinya, mencuri helaan napas dan detak jantungnya.
Namun ternyata terpukaunya mendatangkan sengsara, karena sekonyong-konyong muncul petugas kebersihan membawa gerobak sampah dari sampingnya.
Gedebuk!
"Ouch!" pekiknya.
"Astagfirullah, Bang! Nggak apa-apa, kan?" tanya si petugas kebersihan panik.
Ia jatuh tersungkur menabrak gerobak sampah yang tingginya seukuran anak kelas tiga SD. Kosong sih, tapi ia sampai jatuh begitu yang otomatis membuat wajahnya langsung memanas.
Nggak apa-apa, Ndasmu! Malunya ini!