Jam makan siang sudah hampir habis. Pukul satu kurang tujuh menit Ayunda dan Kila naik lift untuk ke ruangan masing-masing. Ayunda di lantai lima sementara Kila di lantai enam. Di pertengahan lift naik Kila merogoh dompetnya mencari uang lima ribuan yang tak kunjung ia temukan. Ia lalu membuka sela-sela dompetnya untuk mencari kepingan koin yang ia harapkan bisa ia kumpulkan hingga genap lima ribu.
"Udah, nanti aja bayarnya," seru Ayunda, risi melihat kerepotan Kila.
"Nggak, nggak. Gue harus bayar sekarang, biar nggak lupa," balas Kila.
"Lima ribu doang ya ampun, Kil. Entar aja."
"Eh, dapet! Nggak apa-apa kan duit koin? Kayaknya nyampe lima ribu nih." Kila mengeluarkan semua isi koin di dalam dompetnya lalu menghitungnya satu per satu. Koin seribuan itu tampaknya mencukupi untuk membayar utang makan siang yang tadi dibayarkan dulu oleh Ayunda karena Mbak Kasir di kantin tidak memiliki uang kecil untuk kembalian.
Ayunda mendecak. Dilihatnya layar lift yang sebentar lagi akan sampai di lantai lima, lantai ruangannya berada. Ia akan buru-buru keluar sebelum Kila sempat menyodorkannya uang-uang koin itu.
Ding!
Ia memencet tombol buka berkali-kali untuk kemudian melesat keluar lift secepat kilat.
Tetapi Kila tak kalah cepat. Perempuan itu menarik tangan Ayunda kemudian mengepalkannya koin lima ribu miliknya.
"Ih, Kila! Aku ikhlas bayarinnya!"
"Nggak mau! Nih duitnya gue balikin. Makasih ya, Darling."
Keduanya tertawa.
Pintu lift tak lama kemudian menutup mengangkut Kila yang masih berada di dalamnya. Sementara Ayunda, karena terburu-buru keluar dari lift sambil tangannya kerepotan dijejali koin yang banyak, tanpa sengaja menjatuhkan koin-koin itu hingga berbunyi berisik.
Akibat kegaduhan yang ditimbulkan oleh koin-koin yang berjatuhan itu, beberapa orang sempat menatapnya. Ia hanya menunduk berfokus pada koin-koinnya yang berjatuhan, sempat juga menginjak beberapa koin itu supaya tidak menggelinding terlalu jauh. Terdengar beberapa orang menertawakannya pelan, termasuk petugas keamanan di sisi kiri lift.
Meskipun wajahnya memanas seketika, tetapi ia tetap memunguti koin-koin itu di lantai. Saat semuanya terkumpul ia pun berdiri dan mendapati seorang perempuan, kakak seniornya, tengah menatapnya galak. Perasaannya langsung tak enak.
"Lo yang namanya Ayunda bukan?" tanya si kakak senior tegas.
Ayunda mengangguk, berusaha tersenyum ramah.
"Dicariin Pak Tarna tuh."
"Ada apa ya, Kak?" tanyanya bingung. Setahunya Pak Tarna itu pejabat di bagian yang berbeda dengan dirinya dan tidak pernah punya proyek pekerjaan yang sama. Wajar saja ia heran mengapa Pak Tarna mencarinya. Apa kali ini ia berbuat kesalahan? Tapi apa?
"Mana gue tahu!" jawab kakak seniornya yang ia lupa lagi siapa namanya.
Huh. Ingin mengumpat rasanya, karena ini mengesalkan. Perilaku menyebalkan yang ditampilkan seniornya ini adalah hal yang sangat familer semenjak ia masuk ke kantor ini tiga bulan lalu.
Entah mengapa sikap senioritas di kantor ini masih ada. Seperti masa-masa SMA dan kuliah saja, keluh Ayunda.
Tetapi karena ia junior, angkatan paling muda di antara semua pegawai di sini, Ayunda dan teman-teman satu angkatannya hanya bisa mengalah jika tidak ingin semakin mendapat masalah. Meskipun intimidasi kerap terjadi secara verbal, ia yakin lama-lama hal itu akan memudar juga. Semuanya memang hanya butuh waktu.
Sepeninggal kakak seniornya yang jutek itu, Ayunda berjalan menuju ruangan Pak Tarna. Masih terngiang pertanyaan kenapa dan ada apa di benaknya. Ia tidak mau punya masalah di kantor ini. Sejak pertama kali pun ia malah sudah berkeinginan untuk menjadi invisible saja di sini. Bukan artinya ia akan menjadi pegawai yang tak pernah tampak di kantor, tetapi sebisa mungkin ia tidak di-notice banyak orang.
Bukannya apa-apa, ia hanya tidak menyukai banyak interaksi. Tak pernah terpikirkan pula ia akan bekerja di kantor ini. Bahkan dari awal kepulangannya ke Jakarta pun ia tidak pernah terpikirkan untuk menetap di Jakarta apalagi sampai bekerja di sini. Banyak sekali keterbatasan yang dimilikinya sehingga ia tak punya pilihan lain selain menuruti permintaan papanya.
Sebelumnya, sejak memulai kuliah ia tinggal bersama Simbah Putrinya di Jogja, tujuh tahun lalu. Ia bahkan sudah memiliki pekerjaan di sana semenjak lulus kuliah dua tahun lalu. Namun, awal tahun ini Simbah Putri berpulang dan meninggalkannya sendirian. Hal tersebut akhirnya membuat papa dan mamanya memintanya pulang ke Jakarta. Karena tidak punya pilihan lain, tidak pula sanggup melawan keinginan papanya, dengan berat hati ia pulang ke Jakarta.