Begitu sampai di terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta, ia langsung menunggui bagasinya setelah melewati petugas imigrasi. Bersama rombongan umrah lainnya, ia mengantre di depan ban berjalan yang gerakannya menjadi terasa superlambat seolah ditimpa beban ribuan koper berisi oleh-oleh. Padahal kopernya hanya satu, itu pun ukurannya tidak sebesar koper milik ibu-ibu di sebelahnya yang tampak bisa memasukkan anak kecil berumur lima tahun ke dalamnya.
Saat ujung kopernya mulai terlihat mendekat, ia bersiap untuk mengangkut koper itu dan segera melesat keluar. Lima menit lalu Bapak menelepon bahwa ia dan Ibu sengaja menjemputnya di Bandara. Senyum Nando otomatis tersungging. Baru kali ini ia merasakan lagi seperti ketika ia kanak-kanak; dijemput Ibu dan Bapak. Tanpa terduga hal itu menyenangkan hatinya.
Baru beberapa langkah ia keluar dari pintu kedatangan terminal 3, tampak jelas lambaian tangan Ibu mengayun memanggil-manggil dirinya. Nando mempercepat langkahnya, memeluk ibu dan bapaknya.
“Kamu sehat, Sayang?” ucap Ibu pertama kali.
Nando mengangguk senang.
“Bapak emangnya lagi nggak terbang?” tanya Nando pada Bapak yang berprofesi sebagai pilot. Intensitas terbang ayahnya memang tidak sebanyak dulu. Menjelang masa pensiun begini, Bapak memang sudah tidak berambisi meraih apa pun di dalam kariernya.
“Ambil cuti dong demi jemput anak kesayangan.”
Nando tertawa sambil menggeleng.
Mirip seperti ayahnya, Nando pun sering terbang meskipun profesinya bukan pilot. Pekerjaannya selalu menuntutnya untuk mobile dari satu kota ke kota lain dengan intensitas yang tinggi untuk mendampingi Pimpinan Parlemen kunjungan kerja ke mana-mana.
Karena seringnya ia terbang, sering juga beberapa kali ia satu pesawat dengan Bapak sebagai pilotnya. Biasanya setelah landing di kota tujuan, Nando selalu menunggu agak lama supaya bisa bertemu dengan ayahnya sebelum lanjut bertugas. Menyenangkan sebenarnya, apalagi kesibukan masing-masing setiap harinya membuat mereka jarang bertemu. Tetapi justru momen seperti itu sangatlah tidak diinginkan oleh ibunya. Ibu kerap berdoa semoga Nando dan ayahnya tidak pernah lagi berada dalam satu pesawat yang sama. Bukannya apa-apa, tetapi ibunya ingin mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Setidaknya jika terjadi “apa-apa” pada pesawat yang mereka tumpangi, ia tidak akan kehilangan yang ia cintai dua orang sekaligus. Jika membayangkan hal tersebut, Ibu selalu langsung merinding.
“Bapak sama Ibu juga kangen umrah. Kamu sih kenapa berangkat duluan? Anak nggak sopan,” canda Bapak.