Yang Dikejar, Lari

Diana Mahmudah
Chapter #5

Bab 4 Tak Ada Obat yang Manis

Jamaah salat Isya berhamburan keluar secara bersamaan, membuat teras masjid berubah ramai. Dengan tertib orang-orang memakai alas kaki mereka lalu beranjak pulang.

Bapak berjalan beberapa langkah di depan Nando saat laki-laki itu baru saja mengenakan sandalnya. Rutinitas seperti ini menjadi hal yang langka bagi Nando dan Bapak. Tidak setiap hari Nando bisa berada di rumah sebelum Isya. Maka dari itu saat ada kesempatan, Nando dan Bapak selalu menyempatkan untuk salat berjamaah di masjid komplek rumah mereka ini.

Nando menatap punggung Bapak dari belakang. Punggung yang dulu tegap kini sedikit bungkuk dimakan usia. Nando tahu meskipun tubuh Bapak masih tampak bugar, tetapi usianya sudah lanjut. Tiga tahun lagi bahkan Bapak akan resmi pensiun. Sementara itu dirinya masih saja membuat Bapak kecewa. Ah, ia jadi teringat obrolan di meja makan siang tadi.

Ketika Priyo dan Nindi datang memenuhi undangan Bapak untuk sekadar syukuran kecil-kecilan berupa makan siang bersama di rumah, Bapak sempat menanyakan kondisi Nindi yang kini tengah mengandung.

“Makan yang banyak, Nindi, biar kuat,” ucap Bapak memulai menyendoki nasi dan lauk pauknya.

“Hehehe. Iya, Om.”

“Udah masuk bulan ke berapa sekarang, Ndi?” tanya Bapak.

“Jalan tiga bulan, Om. Tapi berat badan belum naik-naik lagi. Kata dokter sih harus naikin lagi berat badannya biar bayinya nggak kecil,” jawab Nindi.

“Cocok kan berarti kita undang makan sekarang. Makanan banyak tuh, Ndi. Dibungkus juga boleh nanti,” canda Nando.

Satu meja makan tertawa menanggapinya.

“Priyo, Nindi,” panggil Bapak dengan suara yang dalam. “Bapak senang lihat kalian akur-akur terus. Om tahu Priyo kecilnya gimana dulu. Tahu-tahu udah mau jadi ayah aja,” ujar Bapak tampak terharu, teringat Priyo adalah sahabat putra satu-satunya dari SMA yang sering sekali main di rumahnya. “Kalian harus saling menjaga satu sama lain. Apalagi sebentar lagi lahir buah hati kalian. Om yakin meskipun hal itu bisa menambah kebahagiaan, tetapi ujian pernikahan itu selalu bisa datang dari mana saja. Kalian harus tambah kuat. Jaga pernikahan kalian. Jangan kayak anak semata wayang Om ini.”

Suasana seketika sunyi. Priyo dan Nindi saling menatap dan merasa tak enak pada Nando. Sementara Nando sendiri hanya bisa menunduk menatap nasi di piringnya.

Nando tahu bahwa orang tuanya pasti kecewa pada dirinya pascaperceraiannya dengan Kia. Jangankan orang tuanya, dirinya saja kecewa pada diri sendiri. Namun, tidak pernah sekali pun Ibu dan Bapak menunjukkan kekecewaan mereka secara gamblang. Bahkan ini adalah kali pertama Bapak berbicara seperti itu.

“Eh, Nindi tambah lagi sayurnya, Nak,” ucap Ibu memecah keheningan sekaligus mengalihkan pembicaraan.

Lihat selengkapnya